PENGAJIAN DHUHA MASJID
BAITUSSALAM
Sejarah Tahun Hijriyah
Ustadz Arifin Nugroho, Lc.
Jum’at, 14 Muharram 1436 H – 7
Nopember 2014
Assalamu’alaikum
wr.wb.
Muslimin
dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu
wata’ala,
Berkaitan dengan bulan Muharram tahun
1436 Hijriyah (hari ini tanggal 14 Muharram 1436H). Orang banyak mengatakan Tahun Baru
Islam, yaitu tahun Hijriah yang dimulai
dengan bulan Muharram. Tahun Hijriyah
dalam sejarahnya terjadi di mana orang
Arab jaman dahulu tidak punya keahlian dalam hal penentuan tanggal
(kalender). Mereka tidak terlalu peduli
dengan tanggal.dan tahun.
Orang Arab zaman dahulu hanya menamakan
tahun dikaitkan dengan adanya suatu kejadian. Misalnya : Tahun Gajah, dikaitkan
ketika suatu saat ada penyerangan kepada Ka’bah oleh sepasukan yang mengendarai
Gajah. Ketika ditanya mereka tahun
berapa Nabi Muhammad shollallhu ‘alaihi
wasallam diutus menjadi Nabi ?
Mereka menjawab ketika beliau berusia 40 tahun. Masih mengikuti adanya
kejadian. Misalnya nama Tahun Kesedihan, yaitu di tahun ke-10 Kenabian beliau, ketika isteri beliau (Khadijah rodhiyallahu ‘anha) wafat. Tidak lama
kemudian paman beliau Abu Thalib yang sangat mengasihi dan melindungi beliau
wafat, maka tahun itu disebut dengan Tahun
Kesedihan (‘Aamul Huzn).
Sampai tahun wafat beliau Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yaitu di
tahun ke-23 Kenabian beliau, belum ada penanggalan. Sampai kapan ? Ada perbedaan pendapat di antara para
sejarawan, tetapi yang paling mendekati (autentik) adalah di zaman Khalifah Umar bin Khathab rodhiyaalalahu ‘anhu.
Ketika Umar bin Khathab rodhiyallahu ‘anhu menjadi Khalifah
kedua sesudah Khalifah Abubakar as Siddiq rodhiylallahu
‘anhu, Islam sudah mulai
berkembang, kaum muslimin sudah semakin banyak jumlahnya, maka dibutuhkan
penataan (administrasi) yang lebih
tertata rapih. Dengan penataan administrasi, tentu dibutuhkan catatan tentang waktu, yaitu penaggalan, hari,
bulan dan tahun.
Maka Khalifah Umar bin Khathab
bersama-sama dengan para sahabat-sahabat yang besar, berkumpul mengadakan
musyawarah untuk menentukan bahwa umat Islam harus punya kalender (penanggalan),
punya tahun. Dalam musyawarah itu ada beberapa sahabat yang mempunyai usul
tentang permulaan tahun. Bahwa yang
penting adalah menentukan permulaan tahun.
Semua mengusulkan permulaan tahun dimulai dari peristiwa-peristiwa
penting selama ini yang terjadi di masa Islam.
Ada yang mengusulkan permulaan tahun
dimulai dari lahirnya Nabi Muhammad shollallahu
‘alahi wasallam, karena kelahiran beliau sangat penting. Karena seandainya Nabi tidak terlahir, tentu
tidak ada Islam. Ada yang mengusulkan
permulaan tahun sejak Nabi diutus menjadi Nabi, karena peristiwa tersebut juga
penting. Kalau Nabi tidak diutus tentu
tidak ada Islam. Lalu ada yang
mengusulkan permulaan tahun dihitung dari sejak Hijrahnya Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam dari Mekkah
ke Madinah. Ada pula yang mengusulkan
dikaitkan dengan tahun wafatnya Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam.
Setelah dimusyawarahkan antara Khalifah
Umar bin Khathab rodhiyallahu ‘anhu
dengan para sahabat lainnya yang sangat ahli dan bijaksana, maka diputuskan
berdasarkan musyawarah dan mufakat, bahwa Tahun Islam dimulai sejak peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam.
Memang tidak ada catatan mengapa para
pembesar (sahabat) ketika itu memilih dan
memutuskan bahwa Hijrahnya Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam menjadi penentuan dasar hitungan Tahun Islam. Tetapi para
sejarawan melihat betapa pentingnya dan luar-biasanya peristiwa Hijrah Nabi
Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam.
Bila kita lihat sejarah perjuangan Nabi
Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam,
dakwah beliau bisa di bagi dua fase, yaitu fase
Makkah dan fase Madinah.
Fase Makkah selama 13 tahun dan fase
Madinah 10 tahun. Dari hitungan lamanya, fase Makkah lebih lama dibandingkan
fase Madinah. Tetapi kita bisa melihat perbedaannya, antara lain sebagai
berikut :
Di Makkah yang selama 13 tahun didakwahi
oleh Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi
wasallam, pengikutnya hanya sekitar puluhan sampai ratusan orang saja. Tidak bertambah/berkembang. Bahkan setelah tahun ke-10 Kenabian beliau,
banyak orang yang sudah mengikut Islam menjadi muslim, menunjukkan ke-Islam-an mereka, tetapi banyak
yang kembali kepada agama nenek-moyang mereka.
Bahkan ketika Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam kembali
dari Isra’ dan Mi’raj, di saat itu kaum
kafir Quraisy semakin gencar memberikan tekanan kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, bahkan beliau
sempat keluar dari Makkah menuju daerah Thaif,
dimana di sana banyak orang-orang yang masih merupakan kerabat keluarga ibunda
beliau. Tetapi ternyata kepergian beliau ke Thaif-pun tidak menghasilkan
apa-apa.
Artinya itu adalah titik-nadir, selama
13 tahun itu. Sampai suatu hari
ketika pulang dari Thaif beliau shollallahu ‘alaihi wasallam berdoa : “Ya Rabb, sudah selama lebih dari sepuluh
tahun aku berdakwah di Makkah ini, tetapi akhirnya hanya berakhir seperti
ini. Lalu kepada siapa aku harus mengadu
? Kepada orang yang jauh, yang menyiksaku, ataukah kepada orang yang dekat,
yang ia bahkan memecah-belah urusanku ?”.
Kalimat pertanyaan itu sungguh dalam
maknanya. Bukan berarti beliau mengeluh, akan tetapi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam ingin
menunjukkan kepada umatnya. Selama 13
tahun berdakwah di Makkah, secara kuantitas belum seberapa. Berbeda dengan ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berhijrah
ke Madinah.
Ketika beliau berhijrah ke Madinah,
perkembangan umat Islam menjadi berubah
drastis. Yang semula hanya sekitar puluhan sampai
ratusan orang umat Islam, setelah hijrah (pindah) ke Madinah, umat Islam
semakin capat bertambah bahkan sampai menjadi ratusan-ribu orang masuk menjadi
Muslim. Padahal waktunya jauh lebih
sedikit (10 tahun). Itu dilihat dari
segi waktu.
Bila dilihat dari segi ancaman, tekanan,
halangan dan gangguan (ATHG), di Makkah tidak seberapa besar. Di Makkah hanya satu penghalangnya, yaitu
kafir Quraisy saja, tetapi ketika beliau di Madinah jauh lebih banyak dan lebih
besar ATHG-nya. Kaum kafir Quraisy
Makkah mencoba menyerang beliau di Madinah, orang Yahudi Madinah, orang Munafiq,
belum lagi suku-suku di Madinah yang tidak suka dengan kedatangan Nabi Muhammad
shollallahu ‘alaihi wasallam, dll.
Berarti dari segi ancaman dan halangan di Madinah jauh lebih besar dibanding ketika
di Makkah. Bila ketika di Makkah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam ditekan, di-dzolimi, oleh kaum kafir
Quraisy sehingga tidak bisa melakukan sesuatu apapun, ternyata ketika di
Madinah intensitas tekanannya jauh lebih besar dan lebih kuat.
Tetapi mengapa dakwah beliau jauh lebih
berkembang ketimbang ketika di Makkah ?
Padahal di Makkah ketika itu dukungan lebih banyak, antara lain oleh
isteri beliau (Khadijah rodhiyallah ‘anha),
orang paling kaya di Mekkah ketika itu, paman
beliau Abu Thalib, orang paling terkemuka di Makkah, tidak ada orang yang
berani menyerang (melukai) Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi wasallam karena melihat paman beliau. Dukungan kurang apa ketika di
Makkah ?
Sementara di Madinah tidak ada sama
sekali yang mendukung, karena beliau ketika itu sebagai orang pendatang. Yang
mendukung di Madinah hanya beberapa orang saja dari Suku Aus dan Suku Najran
yang disebut sebagai sahabat Anshor. Dan dari mereka tidak banyak yang punya
kekuasaan atau harta. Tetapi ternyata kemajuan dan perkembangan dakwah Nabi
Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam justru ada di Madinah.
Itulah yang perlu ditelaah lebih dalam
lagi, sehingga spirit Hijrah bisa
merasuk kepada setiap kita umat Islam,
dengan tujuan kesuksesan yang telah disunnahkan oleh Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, juga bisa kita dapatkan.
Itulah yang disebut dengan “Management
Langit”. Maksudnya, Allah subhanahu wata’ala telah memberikan Sunatulllah-Nya,
memberikan aturan-Nya, dimana aturan tersebut sudah bisa kita baca ketika kita
membaca sejarah para Nabi dan Rasul.
Juga sudah bisa kita baca pada sejarah
Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi
wasallam, sehingga kita bisa mengambil pelajaran : Beginilah Allah subhanahu
wata’ala menentukan Kaidah-Nya. Yang terkadang banyak orang tidak
menyandarkan kepada Kaidah tersebut. Lebih banyak orang menyandarkan kepada
kaidah-kaidah yang lain. Bahkan kaidah duniawi lebih dikedepankan.
Kalau kita berfikir dengan kaidah
duniawi (kaidah akal) seharusnya perjuangan dakwah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam fase Makkah
lebih berhasil, lebih besar kesempatan untuk sukses dibanding dengan fase
Madinah. Karena dari segi tekanan (ancaman) hanya satu : Kafir Quraisy.
Dari segi dukungan banyak sekali
keluarga (kerabat) Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi wasallam di Makkah. Dari segi lokasi (tempat), Makkah adalah
pusat segalanya ketika itu. Madinah
kalah jauh kondisinya dibanding Makkah.
Maka sahabat beliau yang paling dekat
yaitu Abubakar as Siddiq rodhiyallahu ‘anhu ketika bertanya kemana
hendak Hijrah, dijawab oleh Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi wasallam : Yatsrib
(sebutan untuk Madinah ketika itu),
Abubakar as Siddiq dalam hatinya setengah tidak percaya, bertanya lagi :
“Yatsrib?”. Nabi menjawab : “Iya”. Dengan jawaban itu Abubakar as Siddiq diam,
meskipun dalam hatinya masih terheran-heran, kenapa Yatsrib ?.
Dalam hati Abubakar Siddiq, Yatsrib bisa
memberi apa ? Karena sebelumnya Nabi shollallahu
‘alaihi wasallam pernah mengutus beberapa sahabat untuk hijrah ke Habasyah
(sekarang Ethiopia) dua kali. Perlu
diketahui bahwa negeri Habasyah pada zaman itu adalah negeri Adidaya ketiga,
setelah Romawi dan Persia. Begitulah dunia, “diputar” oleh Allah subhanahu wata’ala. Sekarang Habasyah
menjadi negeri termiskin ketiga di dunia.
Ketika itu Persia menguasai Asia Kecil
dan Asia Timur, Romawi menguasai Eropa,
maka Habasyah menguasai Afrika dan selatan Jazirah Arab. Ketika itu Nabi
Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam
pada Hijrah pertama dan Hijrah kedua sudah mengutus para sahabatnya ke Habasyah
Negara Adidaya ketiga yang ketika itu rajanya secara politis pro (berpihak)
kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi
wasallam.
Oleh Raja Habasyah dipersilakan para
sahabat Nabi datang ke Habasyah, dakwah-lah di Habasyah, dibuka pintu
selebar-lebarnya. Tetapi dua kali Hijrah
ke Habasyah ternyata tidak membuahkan hasil yang signifikan. Padahal didukung oleh Raja Habasyah. Tidak boleh ada yang menggangu. Pernah ada juga orang kafir Quraisy yang
datang ke Habasyah meminta beberapa sahabat untuk dipulangkan ke Makakah,
ditolak oleh Raja. Artinya, dukungan Habasyah luar-biasa. Tetapi itu semua tidak memberikan dampak
keberhasilan dakwah.
Kenapa Hijrahnya ke Yatsrib (Madinah)? Yatsrib ketika itu sebuah daerah
(kota) yang sama sekali tidak terkenal,
daerah yang tidak disukai orang,
kalau bukan suatu yang penting sekali, orang tidak mau berkunjung ke
sana ketika itu. Karena kota Yatsrib ketika itu terkenal dengan kota yang penuh
wabah penyakit. Ketika itu bila orang
datang di Yatsrib, maka pulangnya pasti membawa penyakit. Maka bila orang
pulang dari Yatsrib harus dikucilkan terlebih dahulu (dikarantina). Saking
menakutkannya kota Yatsrib.
Maka ketika itu para sahabat berfikir,
kenapa ke Yatsrib ? Kenapa tidak ke Habasyah saja yang sudah jelas-jelas
didukung oleh Rajanya ?. Tetapi ke Yatsrib. Dari segi duniawi, tidak mungkin
Islam akan bisa berkembang menjadi besar.
Tetapi
ternyata Islam berkembang pesat di Yatsrib (Madinah). Ternyata Allah subhanahu wata’ala balikkan semua teori duniawi (akal manusia) dan
menyadarkan kepada kita bahwa Teori
Ukhrowi jauh lebih mumpuni dibanding dengan sekedar teori-teori
duniawi. Itulah latar belakang.
Kemudian dimulailah Hijrah. Kita bisa
memahami ketika berbicara masalah Hijrah terlebih dahulu, bagaimana point-point
Managemen Allah subhanahu wata’ala yang sudah disampaikan melalui lisan atau
perbuatan Rasul-Nya, itulah ternyata
yang menjadi salah satu benih
(penarik) pertolongan atau ridho Allah subhanahu
wata’ala, sehingga Islam bisa sampai ke Nusantara (Indonesia). Mulai dari mana ? Dari Madinah.
Pelajaran
dari Hijrah Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam.
Pertama, ketika
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
melaksanakan Hijrahnya dengan perintah Allah subhanahu wata’ala, di tahun ke-13 kenabian. Beberapa tahun
sebelumnya (sebelum Hijrah) telah terjadi semacam “negoisasi” antara Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam dengan
para tokoh kafir Quraisy. Dan negoisasi-nya diabadikan oleh Allah dalam
AlQur’an.
Salah satunya adalah negoisasi awal
(pertama), ketika Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam diminta oleh
para tokoh kafir Quraisy karena mereka sudah putus asa untuk mencegah dakwah
beliau. Mereka menawarkan ke-sepakat-an : Bagaimana kalau damai saja, kita bagi-bagi
waktu, suatu saat (masa) pihak kaum Quraisy melaksanakan keyakinan mereka (
Jahiliyah) dan kaum muslimin ikut melaksanakan keyakinan kaum Quraisy yang
musyrik itu. Lalu di masa beriktunya
melaksanakan ajaran Islam dan mereka akan mengikutinya, secara berganti-ganti.
Dengan adanya tawaran negosiasi
tersebut, maka turunlah ayat AlQur’an surat Al Kafirun : “Qul (katakanlah) : Wahai orang-orang kafir,
bahwasanya aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah dan kalian tidak
akan bisa menyembah apa yang aku sembah” . . . . . dst sampai akhir ayat.
Maksudnya, kalau negoisasinya berkaitan
dengan Aqidah, maka tegas-tegas
ditolak.
Kemudian ada tawaran negoisasi kedua :
Bila kamu (Muhammad ) ingin sesuatu jabatan (raja) maka kami bersedia
mengangkat engkau menjadi raja.
Bila kamu ingin harta sebanyak-banyaknya
sehingga kamu menjadi orang terkaya, maka akan kami sediakan harta
sebanyak-banyaknya untuk kamu dan kamu menjadi orang paling kaya. Kalau kamu
ingin wnita yang paling cantik, akan kami kumpulkan wanita paling cantik
se-jazirah Arab ini, dengan syarat kamu hentikan dakwah ajaran agamamu.
Dengan tawaran negosiasi kedua tersebut
Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab dan menjelaskan : “Seandainya engkau letakkan matahari di tanganku
dan bulan engkau letakkan di tangan kiriku untuk meninggalkan dakwahku ini,
maka sama sekali tidak akan aku tinggalkan dakwahku ini, sampai Allah
turunkan putusan-Nya antara dua : Aku
sukses dengan dakwah ini atau aku mati”.
Itulah tekad dan ajaran beliau sebelum
Hijrah dan faktor itulah yang bisa mendatangkan kekuatan dari Allah subhanahu wata’ala. Pelajaran yang bisa
kita ambil dari sumpah dan jawaban tersebut adalah : Ketika kita hendak melakukan sesuatu hendaknya yang diperhatikan adalah
Niat.
Terlihat di sini bahwa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam berdakwah
bukan sekedar untuk harta, tahta dan wanita, tetapi Niat karena Allah subhanahu
wata’ala. Apapun keadaannya,
dilarang atau tidak, cocok atau tidak, senang atau tidak, diikuti atau tidak, beliau tetap akan
berdakwah menyampaikan Islam, menyampaikan Tauhid.
Bahkan ada Hadits yang masyhur sekali
yang berkaitan dengan Hijrah : Inna a’malu biniyat – Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung
niatnya, kalau hijrahnya ini untuk Allah maka ia akan mendapatkan balasan dari
Allah. Tetapi bila hijrahnya karena urusan dunia, atau untuk mendapatkan wanita
yang ingin dinikahi, maka itulah yang akan didapatkan dari hijrahnya itu.
Itulah dasar-niat yang luar-biasa, untuk kita “hijrah” dalam aktivitas
kerja. Bila seseorang bekerja niatnya mencari nafkah karena memenuhi kebutuhan
keluarga, untuk mendapatkan gaji, dst, maka itu tidak salah. Tetapi akan
menjadi lebih baik bila niat yang mendasari kerjanya itu untuk betul-betul
ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam ketika mendasari niat beliau
semata-mata karena Allah Ta’ala,
maka itulah yang memberikan keberkahan dalam perjalanan Hijrah beliau dari
Makakah ke Madinah dan keberhasilannya di Madinah.
Bila seseorang bekerja dilandasi niat
untuk mencukupi kebutuhan hidup semata, maka akan terlalu besar kebutuhan hidup
ini dibanding dengan pendapatan hasil kerjanya.
Akan tetapi ketika seseorang bekerja
dilandasi niat untuk ibadah kepada Allah subhanahu
wata’ala, maka Allah subhanahu
wata’ala yang akan mencukupi semua kebutuhan hidupnya.
Demikian itu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sudah
ajarkan di awal Hijrah beliau. Bahwa
beliau akan melakukan suatu momentum
besar dalam Islam dan beliau pindah dari Makkah ke Madinah bukan karena
takut mati, tidak sama sekali. Bukan karena sudah ditinggalkan oleh orang-orang
yang mendukung beliau, sehingga beliau harus lari dari Makkah, tidak. Tetapi beliau melakukan Hijrah karena Lillahi Ta’ala. Bukan karena yang lain.
Pelajaran untuk kita adalah : Setiap
aktivitas yang kita jalani dengan niat karena Allah subhanahu watala, insya Allah semua kebutuhan akan tercukupi.
Banyak terjadi seseorang dengan
penghasilan pas-pasan tetapi bisa menyekolahkan anaknya sampai menjadi sarjana
semua. Hidup ini memang tidak bisa
dihitung secara matematika. Salah satu sebabnya mungkin orang ini dalam setiap
aktivitas hidupnya selalu disandarkan kepada Allah dan bagaimana ia bisa beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.
Kembali kepada Hijrah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam perjalanan
yang cukup jauh ketika itu antara Makkah – Madinah sekitar 500 km, dengan
berjalan kaki (mengendarai onta). Ketika
itu strategi Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam berangkat dari
Makkah tidak langsung menuju utara (Madinah) tetapi pergi dulu ke Jabal Tsur sebelah tenggara Makkah, dan
tinggal di Gua Tsur.
Selama dalam perjalanan Hijrah yang
sulit itu Rasulullah shollalalahu ‘alaihi
wasallam tidak pernah mengeluh, tetapi bahkan selalu berbicara yang
menyenangkan. Demikian diceritakan oleh
Abubakar as Siddiq. Lama perjalanan hijrah sekitar 60 hari. Bahkan dalam riwayat dikatakan perjalanan
hijrah itu selama dua bulan lebih. Berangkat bulan Muharram sampai di Madinah
bulan Rabi’ul Awal (2 bulan).
Perjalanan hijrah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah
perjalanan di bawah tekanan (ancaman).
Tetapi tidak pernah sekalipun beliau mengeluh atau bersedih hati. Yang
ada (menurut Abubakar as Siddiq) adalah senyuman dan perkataan yang baik-baik.
Dasarnya adalah niat. Inilah yang
membedakan.
Ternyata bila mengerjakan sesuatu karena
Allah subhanahu wata’ala, akan
memberikan kekuatan luar-biasa. Berbeda bila menjalankan sesuatu, di sana tidak
ada Allah sama sekali, maka yang ada hanyalah ke-galauan dan kebimbangan.
Perjalanan Hijrah Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam dicatat oleh para ahli sejarah sebagai Perjalanan Terbaik
Manusia.
Pelajaran
kedua,
bahwa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi
wasallam adalah orang yang paling dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala. Tetapi ketika beliau melakukan Hijrah harus
berjalan kaki. Jarak tempuhnya jauh (kira-kira 500 km). Tidak ada fasilitas
yang beliau kendarai kecuali di beberapa tempat saja karena ada orang yang
membantu. Di bawah tekanan (ancaman) hendak di bunuh. Berapa kali saja ayunan pedang musuh menghampiri
beliau, nyawanya hampir saja hilang, berkali-kali hampir terbunuh selama dalam
perjalanan.
Padahal beliau manusia yang paling
dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala.
Kenapa Allah subhanahu wata’ala
“membiarkan” beliau seperti itu ?. Membiarkan beliau berjalan sejauh itu,
tersiksa sejauh itu, tidak ada bantuan sama sekali.
Padahal dengan “Kehendak” Allah bisa
saja beliau diperjalankan dalam waktu singkat, misalnya satu-dua detik. Seperti ketika perjalanan Isra’ dan Mi’raj
yang beliau lakukan 3 tahun sebelumnya, yaitu ketika beliau diperjalankan dari
Makkah ke Masjidil Aqsha lalu naik ke langit (Sidratul Muntaha) dalam waktu
tidak sampai semalam sudah kembali ke bumi.
Maka sangat mungkin perjalanan Makkah – Madinah hanya beberapa detik
saja.
Atau bisa saja beliau diberikan
fasilitas kendaraan “khusus” sehingga tidak terlalu kelelahan berjalan Makkah –
Madinah selama 2 bulan. Bisa saja Allah
memberikan perlindungan dengan mengirim malaikat selama dalam perjalanan beliau
shollallahu ‘alaihi wasallam. sehingga
beliau tidak usah khawatir dibunuh musuh.
Itu semua sangat mungkin dan sangat bisa, bila Allah subhanahu wata’ala menghendaki. Tetapi ternyata fasilitas-fasilitas tersebut
tidak diberikan oleh Allah subhanahu
wata’ala.
Demikianlah Allah subhanahu wata’ala “memperlakukan” kepada Rasul-Nya. Apakah Allah tidak mencintai Rasul-Nya ? Justru cinta dan kasih-sayang Allah subhanahu wata’ala kepada Rasul-Nya
sedang “memuncak” ketika itu. Karena
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
yang baru saja diberikan “fasilitas” bisa berjalan dari bumi menuju langit
Sidratul Muntaha dalam waktu kurang dari satu malam, ketika diperintahkan untuk berjalan dari
Makkah ke Madinah yang penuh bahaya itu tidak ada keluhan sama sekali.
Beliau tetap husnudzon kepada Allah subhanahu
wata’ala. Inilah salah satu spirit Hijrah. Dan mungkin itu yang
bisa mengundang rahmat Allah sehingga ketika beliau di Madinah, Islam dengan cepat sekali berkembang dan
menyebar ke seluruh Madinah. Karena memang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sudah menjalankan ikhtiarnya.
Pelajaran yang bisa kita ambil adalah :
Bahwa Allah subhanahu wata’ala
sesayang-apapun kepada seorang hamba tetap men-sunnah-kan ikhtiar. Ketika kita
ingin mendapatkan sesuatu, maka satu yang harus dikerjakan : Ikhtiar.
Kadang seseorang baru ber-ikhtiar belum
seberapa, belum berhasil, lalu sudah mengeluh, putus asa, dsb. Padahal Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berjalan- kaki selama dua bulan dari
Makkah ke Madinah, fisik dan mental semua dikorbankan, ternyata Allah subhanahu wata’ala memberikan hasil yang
luar biasa.
Bila kita kembali kepada sejarah, kita
lihat Ka’bah. Sejak ribuan tahun
sampai saat ini orang dari segala penjuru dunia selalu berduyun-duyun,
mengunjungi Ka’bah. Ada apa dengan Ka’bah ?
Bukan semata-mata bangunan Ka’bah-nya, tetapi karena Allah subhanahu wata’ala telah memberikan berkah
kepada Ka’bah. Karena orang yang membangunnya (keluarga Nabi Ibrahim ‘alaihissalam) adalah orang yang sudah
menunjukkan Ikhtiar luar biasa,
mem-praktek-kan ke-Takwa-annya di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Maka Allah berikan keberkahan yang luar-biasa
di tempat Ka’bah berada.
Pelajaran berikutnya adalah : Dalam hidup ini kita diperintahkan untuk ber-Ikhtiar sebanyak dan sebaik
mungkin. Khususnya dalam menunjukkan ke-Takwa-an kita. Dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh, maka
Allah subhanahu wata’ala akan
memberikan sesuatu yang luar-biasa.
Demikian itu masuk dalam Kaidah bahwa : Ibadah yang paling besar
pahalanya adalah disesuaikan dengan beratnya seseorang ber-Ikhtiar.
Contoh:
Dari sekian banyak sholat-sholat Sunnat yang paling utama adalah sholat Tahajud, apalagi dilakukan dengan rutin
(istiqomah). Disebut utama (paling besar pahalanya) karena Sholat Tahajud itu berat,
yaitu dilakukan di waktu tengah malam (sepertiga akhir malam), sedang
enak-enaknya orang tidur. Sungguh berat kalau orang sedang enak tidur disuruh
bangun untuk sholat. Tetapi tetap lebih di ikhitiarkan agar bisa
melakukannya. Maka Ikhtiar-lebih itulah yang dinilai oleh Allah subhanahu wata’ala sehingga sholat Tahajud menjadi lebih utama
dibanding sholat-sholat sunnat yang lain.
Dan Allah subhanahu wata’ala tidak pernah lalai dengan ikhtiar hamba-Nya
sekecil apapun. Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Faman ya’mal mitsqola dzarrotin khoiron
yaroh. Waman ya’mal mitsqola dzarrotin
syarron yaroh. (Sekecil
apapun perbuatan anda, baik atau buruk, pasti akan dibalas oleh Allah subhanahau wata’ala).
Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam ketika melakukan Ikhtiar (Hijrah) beliau sangat senang dan bahagia. Karena beliau
yakin setelah Ikhtiar yang luar-biasa itu Allah akan memberikan sesuatu yang
luar-biasa.
Ternyata terbukti : Kota
Yatsrib (Madinah) yang ketika itu merupakan tempat yang tidak disukai orang
karena sering terjadi wabah penyakit di sana, tempat di mana tidak ada
kekuatan, yang mendukung juga belum pasti, tidak punya saudara, tidak ada
kekuatan sama sekali, semua kelemahan ada di Yatsrib, ternyata dengan segala
kelemahan itu oleh Allah subhanahu
wata’ala dikuatkan, sehingga dakwah di Yatsrib (Madinah) jauh lebih sukses
(berhasil) dibanding ketika di Makkah.
Dengan “Semangat Hijrah”, kita melakukan
segala kegiatan termasuk datang di Majlis Dhuha ini yang utama adalah Niat karena Allah subhanahu wata’ala. Maka silakan bertanya pada diri anda, benarkah
yang anda lakukan saat ini adalah niat karena Allah atau karena yang lain ?
Karena bila ada sedikit saja terbersit ada niat lain, maka Allah tidak akan
anda dapatkan. Tetapi bila niat karena Allah dengan sebenar-benarnya, maka
justru akan lebih banyak lagi yang anda dapatkan.
Maka jagalah Niat, karena bisa saja beribadah bukan Niat karena Allah, tetapi
karena ada sebab lain. Itu yang berbahaya. Niatnya harus karena Allah, yang
penting Allah subhanahu wata’ala ridho,
maka kekuatan seperti yang diberikan kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam akan diberikan kepada anda. Insya
Allah.
Dan kedua, adalah Ikhtiar dengan sungguh-sungguh.
Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA
WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA,
ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.
Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
______________
No comments:
Post a Comment