PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM
Konsep Pendidikan
Anak Mencintai Islam
Bendri Jaysurrahman
Jum’at, 17 Dzulhijjah 1438H – 8
September 2017
Assalamu’alaikum wr.wb.,
Muslimin dan muslimah yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Para ahli
mengatakan bahwa manusia terdiri dari tiga unsur : Jasad, Akal dan Ruh.
Masing-masing membutuhkan asupan “makanan” yang harus dipenuhi.
Akal
membutuhkan
asupan berupa pendidikaan dan pelajaran (ilmu). Bila akal tidak diberi asupan
maka manusia akan menjadi bodoh. Tidak tahu ilmu, bila diajak bicara tidak bisa
mengerti apa maksud bicara itu.
Jasad membutuhkan
asupan berupa makanan dan minuman serta supplemen tubuh lainnya. Jika tidak
diberikan asupan untuk badan (jasad) maka, tubuhnya menjadi tidak sehat, kurus,
tidak berkembang, akhirnya mati. Akal
dan jasad mudah di-deteksi ketika akal dan pertumbuhan badannya berkurang
(tidak normal).
Ruh
membutuhkan
asupan berupa Iman, Tausiah, Nasihat dari orang sholeh, dengan ibadah, membaca
buku-buku Agama (Islam)Jika tidak pernah mendapatkan asupan, maka ruh akan
sakit bahkan mati.
Jika seseorang
Ruh-nya sakit maka indikasinya : mudah galau, gamang, stress, depresi, ada
masalah sedikit, langsung menangis.
Bahkan tidak ada minat untuk hidup.
Maka tidak usah
kagum pada orang laki-laki yang bertubuh besar, gagah perkasa, tetapi
barangkali jiwanya kerdil, hatinya kecil. Baru mendapat masalah sedikit saja
langsung menangis. Ia mengatakan “Dunia kejam” langsung bunuh diri.
Apa sebab ?
Karena asupan Ruh-nya kosong. Maka jangan di-sepelekan orang berbadan kecil,
tetapi menghadapi masalah ia paling tegar. Maka bangsa Indonesia bersyukur,
karena badannya kecil tetapi ulet menghadapi berbagai masalah dunia.
Maka bila
didalam sejarah bangsa ini dahulu dijajah Belanda, justru para Ulama yang
badannya tidak begitu besar, yang berjuang mengusir penjajah. Tubuh mereka
tidak besar-besar amat, tetapi merekalah yang berdiri paling depan melawan
penjajah. Barangkali bila bangsa ini diserang musuh dari luar, bukan yang
bertubuh kekar dan besar itu yang akan berani melawan, justru orang-orang yang
berbadan kecil tetapi berjiwa militan seperti para santri yang akan berhadapan
langsung dengan pihak musuh, membela negeri ini.
Maka jangan
remehkan orang-orang sholih itu, sebab yang mampu menanggung beban bukan fisik
yang kuat melainkan jiwa yang kuat. Bagaimana menjadikan jiwa kuat adalah
melalui Majlis Iman. Maka “mengaji”
menjadi kebutuhan dasar. Orang yang sadar bahwa tiga unsur tersebut diatas
tidak boleh hilang, maka “mengaji” sudah menjadi kebutuhan dasar. Maka bila
beberapa hari seseorang tidak mengaji, maka ia akan resah, lalu mencari tempat
pengajian.
Thema kali ini
adalah Konsep pendidikan anak dalam
Islam, khususnya bagaimana menumbuhkan rasa cinta anak-anak kepada agamanya
sendiri (Islam). Terlebih di zaman sekarang, saat ini anak-anak tumbuh di suatu
zaman pusaran yang kuat, bisa-bisa anak menjadi korban dari salah satu
konsekuensi Akhir Zaman.
Apakah Akhir
Zaman ? Dalam sebuah Hadits Shahih
riwayat Ibnu Majah, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Akan
datang kepada manusia tahun-tahun
penuh kedustaan (sekarang : Hoax), yang
panjang”.
Sebagaimana kita
ketahui Hoax (kebohongan) melanda
segala bidang (politik, sosial, agama, budaya, dst). saat ini dan akan
berlangsung lama, sampai Hari Kiamat. Puncaknya adalah ketika muncul Dajjal.
Dan Dajjal adalah sebesar-besar Hoax.
Banyak manusia tertipu oleh
Dajjal. Terutama para kaum wanita.
Disebutkan dalam Hadits bahwa kelak paling banyak pengikut Dajjal adalah para
wanita. Karena wanita mudah tersihir dengan kepandaian Dajjal menyebarkan
kebohongan. Dengan keajaiban (kebohongan) yang Dajjal miliki.
Dajjal
mampu
menghidupkan orang mati (dengan ijin Allah swt), Dajjal mampu menyihir tanah yang tandus
tiba-tiba menjadi subur, banyak tumbuhannya bahkan mengalir air di sungai yang
sudah bertahun-tahun mengering. Orang
banyak terperangah dan terpengaruh, sehingga banyak orang menjadi pengikut
Dajjal. Itulah sebesar-besar Hoax.
Di zaman
sekarang kita sedang diuji siapa yang tidak bisa membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk. Dan anak-anak kita
tumbuh di zaman ini. Maka dalam Hadits tersebut di atas (sambungan Haditsnya)
Rasulullah bersabda : Salah satu tanda (ciri) zaman kedustaan (Hoax) adalah
mereka percaya kepada orang yang berdusta, orang-orang yang membawa berita
kebohongan dianggap jagoan (pahlawan) dianggap hebat.
Bahkan berbicara
agama tanpa ilmu, yang penting cocok dengan akalnya, mantap, dan itu dianggap
hebat. Di masa itulah akan muncul orang-orang pendusta dan mereka
akan mendustakan orang-orang yang benar. Mendustakan para Alim-Ulama yang
berhujah dengan AlQur’an diremehkan.
Tafsir AlQur’an disampaikan, tetapi menurut dia (orang yang berhati
Dajjal) dianggap tidak cocok. Dia punya Tafsir sendiri, katanya. Padahal setelah diajak bicara bahasa Arab, ia
tidak mengerti bahasa Arab, hanya bisa
mengucap : Anna, antum, sukron.
Selebihnya tidak bisa bahasa Arab.
Di sinilah
anak-anak kita tumbuh dalam pusaran tersebut. Maka kalau umat Islam yang
dipersalahkan, berkaitan dengan umat
Islam Rohingnya yang menjadi korban perilaku Barbar di negeri tetangga kita,
ketika kita umat Islam berusaha menolong, karena kepedulian sesama umat Islam,
lalu kita dipersalahkan, mengapa peduli pada orang asing, sementara di negeri
kita masih banyak masalah. Karena hati mereka sudah mulai membenci kepada agama
sendiri (Islam). Tampilannya muslim tetapi jiwanya kafir.
Itulah yang kita
khawatirkan terhadap anak-anak kita saat ini. Anak-anak kita masuk dalam
pusaran tersebut. Mereka tidak bisa
membedakan mana Islam dan mana bukan Islam.
Mereka dilahirkan oleh orangtua muslim, tetapi terhadap agama Islam
membenci. Agama jauh dari mereka bahkan mereka membenci para Ustad. Mereka
berteman dengan anak-anak orang-orang yang liberal. Inilah yang yang paling
kita khawatirkan.
Maka dalam
Hadits, Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam berpesan : Islam itu pada awalnya dianggap aneh
(asing), dan di akhir zaman Islam juga dianggap aneh (asing), maka beruntunglah
orang yang dianggap aneh (asing) itu.
Ketika dizaman
Jahiliyah orang pada umumnya menyembah berhala, maka Rasulullah saw
melarangnya, orang-orang kaya mengkoleksi para wanita, karena ketika itu wanita
dianggap barang, bahkan dianggap hewan yang cantik. Bukan dianggap sebagai manusia. Kemudian
Rasulullah saw menyampaikan ajaran Islam, antara lain : Sebaik-baik kalian adalah orang yang berbuat baik kepada isterinya.
Rasulullah saw
mengingatkan kepada para laki-laki untuk berbuat baik kepada wanita, maka
itulah yang dianggap aneh oleh orang-orang Jahiliyah ketika itu. Islam dianggap
aneh. Saking pentingnya masalah itu, ketika Rasulullah saw dalam Haji
Wada’ mengingatkan kepada kita kaum Muslimin : Aku wasiatkan kepada kalian
untuk berbuat baik-lah kalian kepada wanita. Itulah wasiat terakhir Rasulullah
saw sebelum beliau wafat, wasiatnya yang sama dengan ketika di awal-awal masa
beliau berdakwah Islam.
Karena masalah
krusial di masa Jahiliyah adalah masalah
terkait dengan penindas-an terhadap wanita. Sejak awal Rasulullah saw sudah
menyatakana bahwa wanita ditindas oleh laki-laki. Maka Islam mengajarkan untuk
menempatkan wanita pada kedudukan yang benar, dihargai dan dimuliakan. Tetapi
tiba-tidak sekolompok orang yang mengatakan bahwa Islam menindas wanita. Padahal justru Islam menyelamatkan
wanita.
Seandainya Islam
tidak mendudukkan wanita pada porsinya, pasti ibu-ibu dan para wanita saat ini
tetap menjadi barang dagangan, dianggap sebagai barang, bahkan wanita dianggap sebagai warisan,
sebagaimana di zaman Jahiliyah. Ketika itu seorang laki-laki bisa beristeri
lebih dari 12 orang.
Maka AlQur’an
menyebutkan tentang wanita dalam Surat
An Nisaa’ ayat 3 :
وۡرَةُ النِّسَاء
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِى ٱلۡيَتَـٰمَىٰ
فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَۖ
فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٲحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَـٰنُكُمۡۚ
ذَٲلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ (٣)
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Berkaitan dengan
ayat tersebut, Dr Azami mengatakan
bahwa semangat ayat AlQur’an tersebut adalah mengurangi kemauan laki-laki untuk
beristeri, yaitu dibatasi paling banyak 4 orang.
Itulah yang
dimaksud “aneh” di zaman Jahiliyah. Karena biasanya laki-laki punya banyak
isteri bahkan lebih dari 12 orang isteri, kemudian Islam membatasi paling
banyak isteri hanya 4 orang.
Maka Rasulullah
saw mengingatkan bahwa kelak di akhir zaman Islam akan menjadi “aneh”
atau
“asing”. Sering terdengar, bahwa seseorang ibu yang memasukkan anak
perempuannya ke pesantren lalu dianggap aneh.
Karena saat ini orang tua banyak yang mengarahkan anaknya untuk menjadi
bintang sinetron, penyanyi terkenal. Itulah
yang “ngetren”. Kalau ada orang tua yang
memasukkan anaknya ke pesantren jutru dikatakan “aneh”. Orang sekarang bangga
dengan maksiat. Anak perempuan yang ber-cadar justru dikatakan “aneh” bahkan
dicurigai, anti peradaban. dst. Tetapi kalau ada anak berpakaian “Bikini” jutru dianggap bagus, ngetop,
hebat.
Tetapi anak-anak kita akan dianggap tegar kalau ia siap
dikatakan “aneh”. Siap berbeda, siap untuk meliwati masa-masa ini. Dan itu
hanya mungkin kalau anak-anak kita di-didik sesuai dengan ajaran agama
(Islam).
Rasulullah saw di
ujung Hadits tersebut bersabda : “Beruntung-lah
orang-orang yang aneh (terasing)”.
Maka kami himbau
kepada orang tua saat ini bagaimana mendidik anak-anak kita agar anak-anak kita
tertarik kepada agama. Terlebih zaman sekarang, beragama dianggap menyeramkan.
Bahkan bagi sebagian anak, agama sebagai
beban. Bisa kita lihat sikap mereka terhadap agama (Islam). Mereka tidak mau melakukan sholat. Kalaupun mau sholat, sholatnya terburu-buru.
Bahkan anak-anak itu menganggap pelajaran agama di sekolah membosankan. Tentu kita bukan sekedar menyalahkan anak,
tetapi juga terhadap orang tuanya. Juga untuk para pendidiknya (guru-guru).
Berbeda dengan
anak-anak sekolah (pemuda)-pemudi) zaman dahulu yang mereka Ghiroh-nya terhadap agama sangat
tinggi. Semangat keagamaan mereka bisa dilihat dalam Hadits, anak-anak muda
bertanya kepada Rasulullah saw : “Amalan apa yang paling utama, ya Rasulullah ?”. Itulah kebiasaan anak-anak
zaman Rasulullah saw. Bahkan Zaid bin Tsabit, anak remaja di zaman
itu bertanya kepada Rasulullah saw : “Ya
Rasulullah, amalan apa yang paling utama?”.
Ketika dijawab
oleh Rasulullah saw : “Amalan yang paling
utama adalah Jihad fissabilillah”,
maka anak-anak kecil seperti Zaid bin Tsabit, Samuroh bin Jundab,
beramai-ramai mendaftarkan diri kepada Rasulullah saw untuk berjihad (perang)
membela agama Allah swt. Ketika itu
Rasulullah saw menolak mereka karena mereka masih terlalu kecil untuk maju ke
medan perang. Karena panjang pedangnya yang dibawa mereka masih lebih panjang
dibanding tinggi badan anak-anak itu. Mereka dianggap belum pantas untuk
berperang dan disuruh pulang.
Reaksi Zaid bin
Tsabit ketika itu menangis dan pulang kepada umi-nya (ibundanya) bercerita
bahwa ia ditolak oleh Rasulullah saw untuk ikut berperang. Maka kata umi-nya :
“Nak, kalau kamu tidak bisa berjihad
dengan berperang, kamu bisa berjihad dengan pena. Kamu bisa belajar baca-tulis,
bahkan kamu bisa hafalkan AlQur’an.
Itupun termasuk Jihad fissabilillah”. Maka diikuti nasihat umi-nya langsung
ia belajar. Dalam waktu singkat ia langsung bisa baca-tulis dan hafal
AlQur’an. Ia sangat mencintai Islam.
Dalam riwayat disebutkan : Zaid bin Tsabit ketika turun AlQur’an dalam sepekan
17 Juz, lalu dihafalkan oleh Zaid bin Tsabit hanya dalam dua hari.
Kemudian laporlah
ibunda (umi-nya) Zaid bin Tsabit kepada Rasulullah saw bahwa Zaid bin Tsabit
sudah belajar baca tulis dan sudah hafal
17 Juz AlQur’an. Mendengar laporan itu
Rasulullah saw. ta’ajub kepada Zaid bin Tsabid, langsung beliau menugaskan
kepada Zaid bin Tsabit : “Bisakah engkau membantu
aku dalam aku berdakwah, tolong pelajari
bahasa asing (Bahasa Ibrani, dan bahasa asing lainnya) karena mereka
orang-orang Yahudi sering berbicara asing itu dan aku tidak memahami bicara
mereka”.
Kemudian Zaid bin
Tsabit mempelajari bahasa asing (Ibrani) dalam dua pekan langsung bisa
mengauasai bahasai itu. Dan sejak itu Zaid bin Tsabit membantu Rasulullah saw
dalam berdakwah. Dasarnya karena cinta
Islam. Maka anak-anak yang mencintai Islam, gairah untuk belajar sangat tinggi.
Anak-anak demikian itu tidak usah ditanya oleh orang tuanya : “Sudah sholat,
belum?”. Anak akan marah bila ditanya demikian karena itu dianggap pelecehan
bagi mereka.
Dalam Hadits,
tidak pernah ada orangtua menanyakan kepada anaknya : Sudah sholat,
belum?. Pertanyaan demikian hanya
terjadi di zaman sekarang. Zaman sekarang anak sudah berumur 20 tahun masih
ditanya sudah sholat apa belum?. Bangun Subuh saja masih harus dibangunkan oleh
orangtuanya. Padahal sudah dewasa bahkan sudah punya isteri. Itulah anak zaman
sekarang.
Itu menandakan
tidak ada kecintaan terhadap agama. Yang
mereka tanyakan : Amalan apa yang paling ringan.
Maka ketika bulan
Romadhon mereka akan mencari masjid-masjid yang sholat Tarawihnya paling cepat
selesai. Itu karena mereka tidak ada kecintaan kepada Islam. Itu dikarenakan
kesalahan orangtuanya, yang sejak awal (usia Balita) anak-anak tidak dididik
cinta Islam). Anak sekarang tahu agama
tetapi tidak suka kepada agama. Bisa sholat tetapi segan sholat, Bisa membaca AlQur’an tetapi tidak mau
membaca AlQur’an. Maka begitu pisah dengan orangtua, misalnya karena kost di
kota lain untuk kuliah, mereka merasa bebas. Tidak lagi sholat apalagi membaca AlQur’an. Sebabnya : Karena tidak cinta agama.
Maka sejak awal, hendaknya
orang tua mendidik anak-anaknya menjadi
cinta agama. Maka Jundub bin Junabah salah seorang sahabat Rasulullah saw mengkritik
kebiasaan Tabi’in (Generasi kedua setelah Sahabat), dimana Rasulullah saw
bersabda : Sebaik-baik manusia adalah manusia zamanku, sesudahnya, kemudian
sesudahnya dan sesudahnya. Generasi Tabi’in termasuk terbaik, tetapi dikritik
oleh Jundub bin Junabah. Generasi
Tabiian hafalan AlQur’annya banyak tetapi dikritik dan kritikannya dimuat dalam
Hadits riwayat Abu Daud, kata Jundub : “Kami
lebih dahulu mempelajari Iman sebelum mempelajari AlQur’an. Pada saat kami
memulai mempelajari AlQur’an, maka Iman kami semakin bertambah. Karena sebelumnya Iman telah ada dalam diri
kami. Sementara kalian (generasi Tabi’in) lebih dahulu belajar AlQur’an tetapi
belum belajar tentang Iman”.
Karena antara Iman
dan AlQur’an dibedakan. Menurut Syaikh
Utsaimin : Mengenal Allah dengan Sifat Rahman dan Rahim-Nya lebih
diutamakan sebelum memperkenalkan perintah-perintah-Nya.
Maka bila zaman
sekarang orangtua mendidik anak belajar agama dengan mengemukakan
perintah-perintahnya dari Sifat-sifat Allah,
maka anak akan mengatakan : Kenapa Allah demikian tega menyuruh,
memerintahkan ini dan itu kepada umatnya
?. Oleh karena itu kita perhatikan
AlQur’an, setiap surat selalu diawali dengan : Bismillahirrohmanirrohim (Dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Maknanya : Kenali terlebih
dahulu Allah dengan sifat Rahman dan Rahimnya. Agar anak sadar bahwa Allah
demikian besar cinta kasih-Nya terhadapnya.
Sehingga muncul
cinta yang tidak bertepuk sebelah tangan.
Selama ini cinta anak kepada Allah (kepada Agama) adalah cinta bertepuk sebelah
tangan. Allah mencintai tetapi si anak tidak mencintai Allah swt. Buktinya si anak malas beribadah. Oleh karena itu pendidikan agama hendaknya
diusahakan agar tidak bertepuk sebelah tangan.
Jangan sampai Allah dengan cinta kasih sayang, Rahman dan Rahim tetapi
tidak dicintai oleh anak-anak kita.
Kenapa anak tidak cinta
Allah ? Bisa jadi orangtuanya pada awal-awal pendidikan anak tidak
memperkenalakan melalui wajahnya yang berupa Rahman dan Rahim.
Sebagaimana dalam
AlQur’an Surat An Nahl ayat 78 :
سُوۡرَةُ النّحل
وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمۡ
لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ
وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَۙ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ (٧٨)
Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Ayat tersebut
diulang beberapa kali dalam Surat lain. Urutannya selalu : Pendengaran – Penglihatan – Hati. Tetapi sayangnya, pada umumnya si bayi begitu
keluar (lahir) pada awalnya tidak pernah diperdengar Cinta oleh orangtuanya.
Tetapi lebih banyak kalimat Tauhid. Maka begitu lahir agar anak di-Adzan-kan.
Ulama Ibnul Qoyyim mengatakan Haditsnya shahih. Meskipun banyak orang
mengatakan Haditsnya Dho’if. Kalaupun tidak di-Adzankan, hendaknya minimal Kalimat
Allah selalu disebut-sebut didekat telinga si bayi. Misalnya : Alhamdulillah, atau Allahu Akbar, atau Subhanaallah,
dst. Agar pendengaran awalnya selalu tertanam Asma
Allah subhanahu wata’ala.
Selanjutnya, pada
bayi Penglihatan mulai aktif, yaitu setelah 6 bulan sejak lahir. Menurut
penelitian jarak penglihatan bayi sejak lahir sampai 6 bulan adalah 0 – 60
cm. Maka ketika bayi berumur seperti
tersebut, ajaklah bicara Face to face lebih dekat, sebagaimana
dilakukan oleh Rasulullah saw ketika cucunya baru lahir beberapa bulan beliau
menimang cucunya dengan mendekatkan wajah beliau dekat sekali muka bertemu muka
dengan cucu beliau.
Dan bila kita
ingin menunjukkan wajah kita kepada bayi hendaklah wajah yang manis penuh Rahman dan Rahim Allah subhanahu wata’ala. Jangan menunjukkan
wajah yang masam.
Ibunya-pun
dianjurkan ketika menyusui bayi, hendaklah sambil memandang anaknya (bayinya)
dengan penuh kasih sayang, jangan memandang kemana-mana, jangan sambil main
Gadget, dst. Sehingga hati anak dan
ibunya akan terikat dalam jalinan
kasih-sayang, cinta kasih dari Allah subhanahu
wata’ala.
Awal pengasuhan
kepada anak (bayi) ikatlah hatinya, yang akan banyak men-stimulan pendengaran
dan penglihatan si bayi. Orang tua yang jauh dari anak, ketika dewasa si anak
itu tidak akan punya perhatian kepada kedua orangtuanya.
Seorang ibu yang
menyusui hendaklah selalu menyebut-nyebut Sifat Kasih-sayang Allah: Bismillah
ya nak, ini anugerah Allah kepada kita. Ibu diamanati Allah untukmu.
Ketika anak Balita mendapat oleh-oleh dari ayahnya yang baru pulang,
katakanlah bahwa ini dari Allah lewat
ayahmu.
Supaya anak tahu
bahwa karena nikmat Allah yang meng-anugerahkan cinta-kasih. Manusia manapun
bila diberitahu tentang kebaikan-kebaikan seseorang tentu ia akan menaruh cinta-kasih kepada
orang itu. Maka bila dikatakan bahwa semua ini dari
Allah, maka anak akan punya rasa cinta
kepada Allah subhanahu wata’ala.
Jangan sekali-kali
ketika orangtua marah kepada anaknya lalu menyebut-nyebut Nama Allah, hindari itu. Karena akan tertanam pada anak,
bila orangtua marah pasti akan keluar Nama Allah. Seolah-olah Allah adalah lambang kemarahan.
Maka Allah swt
berfirman dalam AlQur’an : Tidaklah
engkau di utus, Muhammad, kecuali memberikan berita kabar gembira kepada
manusia.
Maka hindari
mengucapkan ancaman kepada anak.
Hindari kalimat “Neraka” kepada anak. Sebaliknya sampaikan “Surga” ketika
orangtua menyuruh ibadah kepada anak-anaknya.
Rasulullah saw selalu mengingatkan ketika ada sahabat yang marah-marah :
Jangan marah, jangan marah, bersabarlah.
Bagimu Surga.
Kenyataannya,
banyak dan sering orangtua marah-marah kepada anaknya dengan ancaman “Neraka”. Bandingkan dengan Rasulullah saw ketika hendak
berangkat perang melawan musuh (Jihad fissabilillah) tiba-tiba melihat ada
seseorang yang sedang santai duduk bersandar sambil mengunyah kurma. Beliau
bersabda : “Ayo, bersegeralah menuju Surga dengan Jihad fissabilill”. Sahabat itu bertanya : “Apa betul bahwa Surga itu seluas langit dan bumi ?”. Rasulullah saw
menjawab : “Benar”. Maka segera bangkitlah sahabat itu sambil
mengambil pedangnya dan memuntahkan kurma yang sedang dalam mulutnya. Ia anggap
terlalu lama mengunyah kurma, ia tidak sabar karena ingin segera ke Surga.
Demikian nikmat
agama muncul, karena ditanamkan rasa keagamaan, nikmatnya akan bertemu dengan
Allah subhanahu wata’ala.
Itulah kata kunci
pertama, menanamkan rasa agama kepada anak, maka diperkenalkan Nikmat Allah kepada anak-anak. Misalnya ketika anak minta sesuatu, jangan
langsung diberi, tetapi katakan : “Cobalah
kamu minta kepada Allah”, dan ketika orangtua akan memberi sesuatu yang
diminta anak, katakan : “Ini dari Allah,
nak”. Maka anak akan tertanam nilai kasih-sayang Allah subhanahu wata’ala.
Cinta anak kepada
agama (Islam) itupun pertama-tama dipelajari anak dari orangtuanya. Sebagaimana
sifat anak yang suka meniru, terutama meniru perilaku kedua orangtuanya. Bila orangtuanya taat
beragama, rajin membaca AlQur’an dst, niscaya anak akan meniru rajin beribadah
dan membaca AlQur’an.
Sebaliknya bila
orangtuanya tidak pernah beribadah, tidak pernah sholat, pasti anaknya-pun
tidak mau mengerjakan ibadah, sholat, dst.
Demikian pula Nabi Ibrahim ‘alaihissalam terhadap anak beliau Ismail, yang dengan penuh ke-ikhlasan untuk disembelih, bagaimana
mendidik anak bisa bersifat taat, padahal Nabi Ibrahim ‘alaihissalam selama ini jauh dari anaknya (Ismail). Karena sejak
semula (sejak zaman dahulu) Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai orang yang sangat
taat merespons perintah Allah subhanahu
wata’ala. Maka anaknya-pun punya semangat merespons perintah Allah subhanahu wata’ala.
Maka perilaku
orangtua sangat diperhatikan oleh anak-anaknya. Anak akan tahu orangtuanya
rajib beribadah atau tidak. Anak akan tahu seberapa jauh keimanan orangtuanya.
Bayangkan orangtuanya tidak pernah ibadah, tiba-tiba ingin memasukkan anaknya
ke pondok pesantren. Pasti anaknya tidak akan mau masuk pondok pesantren. Maka
dalam pendidikan anak, terpenting adalah akhlak kedua orangtuanya. Bila
orangtuanya ber-Akhlak Islami, niscaya anaknya akan lebih Islami lagi. Dan
orangtua yang baik akan selalu mendo’akan kepada anak-anaknya menjadi orang
yang sholih dan sholihah.
Nabi
Ibrahim
‘alaihissalam dalam do’anya selalu
mendo’akan anaknya dan keturunanya. Lihat Surat
Ibrahim ayat 35 :
سُوۡرَةُ إبراهیم
وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٲهِيمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَـٰذَا
ٱلۡبَلَدَ ءَامِنً۬ا وَٱجۡنُبۡنِى وَبَنِىَّ أَن نَّعۡبُدَ ٱلۡأَصۡنَامَ (٣٥)
Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
(Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah
aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.
Juga dalam Surat At Tahrim ayat 6 :
سُوۡرَةُ التّحْریم
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ
وَأَهۡلِيكُمۡ نَارً۬ا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡہَا
مَلَـٰٓٮِٕكَةٌ غِلَاظٌ۬ شِدَادٌ۬ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ
وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ (٦)
Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Maka sebenarnya
anak akan melihat orangtuanya selalu mengadakan perbaikan, yang semula tidak
pernah mengaji sekarang rajin mengaji.
Semula suka merokok, sekarang tidak pernah merokok lagi. Itulah yang dilihat anak kepada orangtuanya yaitu : Perbaikan keluarga.
Melihat itu
anaknya semangat, ia akan rajin mengaji, rajin sholat, rajin ke masjid, dst. Sebaliknya
bila orangtuanya tidak pernah sholat, tidak pernah mengaji, maka dalam diri anaknya tidak akan muncul sifat
Cinta Agama. Tidak muncul Ghiroh kepada Agama. Maka lihatlah diri kita sebagai orangtua,
apakah kita sudah punya rasa Cinta Agama, maka anak akan meniru orangtuanya.
Untuk menjadikan
anak cinta Agama, dimulai dari kedua orangtuanya. Kalau anak sudah cinta agama,
maka mereka akan ketagihan, minta lagi, minta lagi untuik melakukan ibadah.
Salah satu tanda kita cinta Agama, adalah :
Dengarlah pembicaraan anak kita dengan teman-temaannya.
Salah satu thesis Ibnu Jarir Ath Thobari,
hipothesis beliau adalah : Dialog
antar rakyat mencerminkan fisik asli pemimpinnya. Beliau memberikan hipothesis bahwa kalau
rakyat sering berbicara sesuatu pasti
karena pemimpinnya juga begitu.
Maka kalau ingin
melihat keadaan suatu keluarga, lihat
pembicaraan antara anak-anak mereka.
Kalau anak-anaknya suka berbicara
soal agama, pasti orangtuanya orang yang cinta agama. Kalau anaknya suka bicara tentang materi,
pasti orangtuanya orang yang selalu memikirkan materi (dunia) saja. Maka
berhati-hatilah orang tua. Kalau ingin menumbuhkan cinta agama pada anak,
mulailah dari orangtuanya, tunjukkan bahwa orngtua adalah orang yang Cinta Agama.
Sekian bahasan,
mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA
WABIHAMDIUKA, ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.
Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
____________
No comments:
Post a Comment