PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM
Masjid Pusat Peradaban
Ustadz Toni Rosyid
Jum’at, 24 Dzulhijjah 1438H – 15
September 2017
Bismillahirrohmanirrohim,
Assalamu’alaikum wr.wb.,
Muslimin dan muslimah yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Sesungguhnya
umat yang paling bersyukur adalah Umat Islam.
Pertama, karena umat Islam diberikan referensi yang autentik yang tidak
dimiliki oleh umat lain. Referensi yang bisa dipertanggungjawabkan dari sisi
manapun, memiliki nilai-nilai universal yang tidak dimiliki oleh umat yang
lain. Itulah AlQur’an dan
mendapatkan dukungan tehnis oleh Hadits.
Mengenal
sedikit tentang AlQur’an.
Pertanyaan yang
paling sederhana adalah : Apa yang tidak dibicarakan oleh AlQur’an ?
Contoh kecil tentang AlQur’an, terkait
dengan politik. Misalnya Pilkada lihat Surat Al Ankabut ayat 39 :
Dan
(juga) Qarun, Fir'aun dan Haman. dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. akan tetapi
mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang
luput (dari kehancuran itu).
Ayat tersebut di
awali dengan Qarun, Fir’aun dan Haman. Teori orang Barat mengatakan
bahwa sebuah bangsa dimulai oleh tiga pihak : Penguasa – Pengusaha – Militer. Bahwa suatu bangsa (negeri) dikuasai yang
paling depan adalah oleh Pengusaha (Taipan). Bila bicara sebuah Negara, yang
paling berkuasa adalah Pengusaha. (Pengusaha menjadi Penguasa). Bila penguasa
baik maka Negara itu baik.
Dalam Hadits
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Ada tiga perkara, ketika Allah menghendaki suatu negeri itu baik, maka
dipilihlah para ulama yang bijak yang menjadi penegak hukumnya, orang-orang yang mengerti akan hukum dan
takut kepada Allah dan orang-orang yang
memberikan harta-benda oleh orang-orang yang dermawan.
Dalam AlQur’an
disebutkan bahwa Qarun adalah
pengusaha, Fir’aun adalah
penguasa. Fir’aun di nomor dua karena
penguasa ditentukan oleh Qarun.
Qarun-lah yang menentukan Fir’aun. Pengusaha-lah yang paling menentukan
terhadap Penguasa. Dalam konteks
sekarang, dimanakah ada seorang Presiden
yang tidak di-intervensi dan ditentukan nasibnya oleh Pengusaha ? Itu berlaku di Negara manapun. Termasuk di
Indonesia. Jangankan Presiden, manakah ada Gubernur, Walikota, Bupati yang
nasibnya tidak ditentukan oleh pengusaha.
Maka muncullah
Qarun-Qarun (Penjudi-Penjudi) demokrasi yang hadir di dunia politik, Pilkada maupun Pileg dan
Pilpres. Haman adalah ketua Ormas,
Ustad, Intelektual, dst. Yaitu orang yang bisa men-stempel dengan
ke-piawai-annya, kepandaiannya, ke-ilmuan-nya mencarikan teorinya, idiologinya.
Dan itu berlaku sepanjang sejarah.
Karena ketika AlQur’an berbicara seperti itu adalah universal.
Maka dalam konteks
sosial ada hukum keniscayaan, ada hukum perjuangan.
Ibnu
Khaldun
telah membuat teori sejarah, juga Karl
Marx membuat teori tentang sejarah yang dimonopoli dari sosialisme purba
kemudian muncul feodalis-me, kapitalisme dan akhirnya komunisme. Tetapi
akhirnya itu menjadi bumerang, yang bisa
dibuktikan secara sejarah. Ibnu
Khaldun-pun tidak benar.
Demikian itu
contoh kecil. Tentang teori konflik, yang demikian besar di Eropa, dan kemudian
di bawa ke Amerika.
Dalam AlQur’an
hanya membicarakan keluarga (suami-isteri) dimana ketika suami-isteri konflik,
kemudian ada teori rekonsiliasi konflik.
Kata Al Qur’an ketika suami-isteri sedang bertengkar, maka keduanya hendaklah
bermusyawarah. Kalau tidak bisa,
hendaknya mereka diam. Kalau tidak
selesai juga maka ambillah Wali
untuk menengahi. Tidak juga selesai maka ditanya : Kamu mau damai (konsiliasi)
atau cerai (talak) dengan cara yang baik.
Sebenarnya teori demikian
itu yang sudah dilaksanakan di Negara Barat, yaitu teori rekonsiliasi konflik AlQur’an men-contohkana dengan sangat
sederhana, bagaimana menyelesaikan konflik itu.
Dan masih banyak sekali teori-teori dalam AlQur’an. Artinya, umat Islam
punya teori itu.
Tentang Hadits, Abraham Maslow punya teori tentang hirarkhi kebutuhan. Nabi Muhammad saw
jauh sebelumnya mengenal Hierarkhi kebutuhan yang di awali dengan Al Amwal
(paling rendah) lalu Al ‘Aql (Akal),
keatas lagi : An Nasl (Keturunan) diatas lagi : An Nafs (Nyawa). Dan di atas
lagi (paling atas) An Nadin.
Jauh sebelumnya
Taurat membicarakan bahwa manusia disebut juga sebagai Anak
Tuhan. Maka tidak mungkin orang yang belajar AlQur’an tidak cerdas. Tetapi
dalam AlQur’an kita dianjurkan : Kalau belajar AlQur’an gunakan teori Ulul Albab. Yaitu orang-orang yang
menggantungkan diri kepada Allah, ingat kepada Allah pada saat ia berdiri,
duduk, dan berbaring. Artinya,
menggunakan hati, spiritualitas, barulah Akal.
Bila mempelajari AlQur’an dengan Akal saja maka akan menjadi manusia
liberal, sesat dan tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan. Tidak akan
berjumpa dengan Allah yang sesungguhnya.
Tetapi bila orang
punya basis agama yang cukup baik, biasanya ia akan disadarkan oleh Allah subhanahu wata’ala.
Kita punya Hadits,
tentang sejarah ke-Nabian yang luar biasa.
Kalau dibandingkan dengan Nasrani yaitu Injil (Injil Mattius, Marcus, Lucas) ternyata dalam
Injil Mattius, Marcus dan Lucas terdapat perbedaan yang tidak mungkin di damaikan. Jumlah pasal-pasalnya berbeda. Dan dalam substansinya-pun berbeda.
Contoh: Tentang
Kebangkitan Isa, yang datang di kuburan menurut Injil Mattius adalah Maria Magdalena. Injil Marcus mengatakan : Ada dua Maria, Injil Lucas mengatakan : Ada tiga orang. dan Injil Johanes
mengatakan : Ada lebih dari tiga orang.
Mana yang benar ?
Belum lagi dalam
Injil Johanes dalam Mukadimahnya
dijelaskan bahwa Johanes adalah sahabat Isa Almasih (Jesus Kristus). Artinya,
mukadimahnya saja sudah meragukan terhadap sosok yang bernama Johanes.
Bandingkan
dengan Hadits, yang ada Hadits Shahih, Hadits Dho’if, lalu Imam At Thirmidzy
mengatakan ada Hadits Hasan. Yang verifikasi-nya
luar biasa. Hadits Dhoif ada tiga belas yang diverifikasi luar biasa. Maka bila dibandingkan dengan Injil Mattius,
Marcus, Lucas semua Injil itu tidak ber-verifikasi.
Maka
bersyukurlah menjadi umat Islam. Kalau
orang tidak belajar Hadits, tidak
belajar AlQur’an, maka orang itu berjalan hidup tanpa ilmu.
Masjid
menjadi basis Peradaban.
Ketika
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
hijrah ke Madinah maka di Madinah ada
sekitar 600 orang yang sudah masuk Islam, baik dari Muhajirin maupun Anshor. Ketika itu masjid dibangun dengan ukuran
panjang 34 meter dan lebar 34 meter. Hanya dalam waktu 11 tahun masjid itu
menjadi penuh jamaah lalu diperluas menjadi 100 X 100 meter, lalu masjid
tersebut demikian besar mempengaruhi penduduk Madinah. Dan jumlah umat Islam
ketika Fat-hu Makkah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam membawa
umat Islam sejumlah tidak kurang dari 100 ribu orang.
Bila
dibandingkan dengan Masjid zaman
sekarang, selama sepuluh tahun jamaah masjid itu tidak akan bertambah. Itupun isinya adalah orang-orang pensiunan.
Dalam Hadits,
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : Ada tujuh golongan manusia
yang akan mendapatkan naungan di Akhirat kelak, diantaranya adalah pemuda yang
hatinya selalu terpaut di masjid.
Kenapa pemuda ?
Kenapa bukan orangtua ? Karena anak muda masih energik, kreatif, masih punya daya-juang
yang tinggi.
Mengapa di zaman
Rasulullah saw masjid menjadi penuh jamaah, dan masjid menjadi “magnet” bagi
manusia untuk berbondong-bondong menuju masjid, karena Rasulullah saw sendiri
secara emosional merupakan “magnet”. Disamping juga Masjid ketika itu ikut menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi
da-lam masyarakat. Itulah kuncinya.
Maka pada masa
Rasulullah saw, dalam masjid ada ruangan
yang disediakan untuk orang-orang yang tidak punya rumah. Mereka dipersilakan
tidur di salah satu ruangan dalam Masjid. Juga di sediakan untuk para santri
yaitu ruangan (Suffah, Pavilyun) di masjid.
Bila ada problem
dalam masyarakat di bawa ke Masjid, diselesaikan di masjid. Artinya masjid
menjadi tempat musyawarah, untuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh
masyarakat.
Di dalam masjid ada pula orang-orang yang dididik
untuk menyelesaikan ekonomi masyarakatnya. Maknanya, Masjid benar-benar hadir
di tengah masyarakat dan ikut ber-partisipasi menyelesaikan problem nyata dalam
masyarakat. Sehingga masyarakat merasa bergantung, perlu dan butuh pada masjid.
Sementara masjid
di negeri kita adalah masjid yang menunggu kedatangan masyarakat, hendak sholat
silakan, tidak sholatpun silakan. Ada urusan-urusan dalam masyarakat bukan
urusan masjid. Ada anak terkena narkoba bukan urusan masjid. Ada
masalah-masalah lainnya bukan urusan masjid.. Urusan Masjid hanya urusan
sholat. Itulah kondisi masjid kita yang jauh dari visi dibangunnya masjid oleh
Rasulullah saw.
Masjid
di kita tidak hadir dalam masyarakat. Bisa dibuktikan, yaitu masjid tidak punya
data-data berapa orang yang sholat, kreteria orang-orang yang datang dimasjid,
berapa yang rajin sholat di masjid, berapa yang jarang sholat di masjid, dan
berapa yang hanya sesekali datang dimasjid, berapa orang yang datangnya di
Masjid hanya untuk sholat Jum’at saja, dst. Seharusnya masjid punya data itu.
Bagaimana
program masjid untuk mengatasi semua
itu, bgaimana agar masjid berkembang, bagaimana agar umat sadar,
dst.
Kondisi
strategis dan potensi masjid.
Bagaimana agar
masjid mendidik masyarakat, sehingga kemanapun orang bepergian akan selalu menanyakan di mana ada masjid. Sama dengan
bila seseorang lapar, sedang dalam perjlanan, lalu bertanya dimana rumah-makan.
Komunitas
yang homogeen serta Aqidah.
Di dalam masjid,
semua jamaah adalah satu Aqidah tidak heterogeen. Sholatnya, ruku’nya dan
sujudnya sama, artinya lebih mudah untuk mengaturnya. Dan Masjid punya anggaran
dasar yang kokoh. Misalnay sholat, dari dahulu sholat Dhuhur, Ashar dan Isa adalah
sama yaitu 4 rokaat. Tidak pernah di amandemen.
Ketika sholat
berjamaah, Imam sholat selalu di depan. Tidak pernah ada dua atau tiga orang di
tempat Imam. Imam selalu memberi aba-aba
agar merapatkan shaf, setelah penuh lalu membentuk shaf di belakangnya dst. Dan
aturan itu berlaku seumur hidup. Tidak pernah ada yang mempersoalkan. Sementara
UUD 1945 pernah dipersoalkan dan di amandemen.
Pancasila-pun dulu pernah dipersoalkan.
Artinya Kaifiyah
(Aturan) sholat berjamaah lebih kokoh dibandingkan aturan negara.
Ketika sholat
berjamaah, ada Imam dan Ma’mum.
Tidak pernah dalam masjid ketika memilih seorang Imam dengan cara Voting
(suara terbanyak). Tidak pernah. Bahkan
ketika suatu saat Imam Rawatib belum hadir, karena berhalangan, kemudian
pengurus masjid segera menunjuk seseorang untuk menjadi Imam sholat, dicari
orang yang panjang jenggotnya, orang yang berpeci putih, didorong-dorong untuk maju menjadi
Imam, tidak mau karena belum pernah
menjadi Imam, apalagi sholat Maghrib, Isa dan Subuh dimana Imam harus
mengeraskan bacaannya, lalau ditunjuk lagi orang yang pantas untuk menjadi Imam
dan sanggup, maka ia menjadi Imam sholat berjamaah itu.
Bila kejadian di
masjid semacam itu (contoh semacam itu) dipraktekkan dalam kehidupana bernegara,
berbangsa dan bermasyarakat, maka akan indah sekali. Sementara itu struktur sosial kita sering
berbenturan dengan struktur politik.
Karena caranya tidak mengikuti cara
memilih Imam Sholat dalam membentuk
struktur sosial, ada Imam ada Ma’mum. Sementara itu dalam masyarakat orang akan
berebutan menjadi Pemimpin (Imam).
Padahal
Rasulullah saw jelas dan tegas dalam sebuah Hadits shahih bersabda : “Demi Allah aku tidak pernah akan memberikan
jabatan kepada orang yang minta dan berambisi dalam jabatan itu”.
Sholat merupakan
miniatur dalam kehidupan sosial kita. Dan kita tidak pernah berambisi kepada
jabatan apapun. Rasulullah saw bersabda ketika Abu Hurairah minta jabatan : “Wahai Abu Huraiarah, kamu lemah, kalau kamu
diberi jabatan ketahuilah dihari Akhirat orang-orang para pejabat itu adalah
orang-orang yang menyesal dan orang-orang yang sedih”.
Orang sholat
berjamaah di masjid, ketika suatu saat si Imam melakukan kesalahan, maka ada
mekanismenya, tidak kemudian menjatuhkan, melainkan salah seorang aggota jamaah
yang dibelakang Imam menegur dengan ucapan : Subhanallah. Maka si Imam kemudian meluruskan kesalahannya, sholat diteruskan sampai
selesai.
Kalau struktur
masyarakat kita dibangun berdasarkan
struktur sholat, maka struktur sosial kita akan menjadi indah. Tidak ada
rebutan menjadi pemimpin, tidak ada Pilkada atau Pilpres yang hiruk-pikuk.
Tatanan sosial masyarakat akan menjadi indah.
Ketika sholat
berjamaah di masjid, tidak ada orang yang berebut menjadi Imam. Imam sudah ditentukan, dan bila suatu saat
Imam berhalangan maka pihak pengurus masjid menunjuk salah seorang dari anggota jamaah untuk
menggantikan menjadi Imam. Biasanya bahkan banyak yang tidak bersedia menjadi
Imam. Bila Imam sholat melakukan kesalahan, maka jamaah mengucap sebagaimana
disebutkan diatas. Bukan dijatuhkan atau diberhentikan atau didemo, dst.
Dalam hal
pembangunan sebuah masjid, kepercayaan jamaah (masyarakat) tinggi. sekali .
Seluruh lapisan masyarakat ingin menyumbang
baik dana, tenaga atau apapun. Bahkan orang lain desa/kampung ingin juga
menyumbangkan dana. Tidak semua orang
yang menyumbang dana itu mendengar laporan pertanggungjawaban keuangan dari
pembangunan masjid itu.
Di pinggir jalan
banyak masjid-masjid dibangun, dengan menghabiskan dana milyaran rupiah. Dan
masjid tidak membangun Mall, sehingga para kapitalis tidak bisa mempengaruhi
atau mempermainkan Islam. Sekarang
banyak Masjid yang surplus dana.
Sementara di dekaat masjid itu ada yang minim jamaah, sehingga tidak
punya dana. Kenapa masjid yang surplus
dana itu tidak membantu masjid yang ada
di dekatnya yang minim dana ? Mana ukhuwahnya ? Ukhuwah antara sesama masjid inilah yang
tidak menjadi tradisi para pengurus (pengelola) masjid.
Padahal mestinya
masjid-masjid yang besar yang surplus dana membantu masjid yang tidak punya
dana. Atau bisa juga masjid yang
surplus dana itu membangun masjid-masjid
di daerah-daerah. Kenapa umat Islam
tidak berfikir ke sana ?
Kondisi
Obyektif Masjid saat ini.
1.Masjid
dalam posisi sebagai obyek (politik dan kebijaksanaan), bukan sebagai subyek.
Setiap ada
Pilkada banyak orang datang ke masjid.
Semua calon Pilkada banyak mendatangi masjid-masjid, Majlis Ta’lim dsb. Sambil
membawa sumbangan, kadang berupa karpet,
uang dst, dan minta diumumkan. Bahkan ketika tidak terpilih, sumbangan ditarik
kembali. Padahal yang demikian merupakan
penghinaan terhadap masjid. Melibatkan masjid ke dalam politik adalah
menghan-curkan nilai filosofis masjid.
Padahal seharusnya
masjid itu kaya, punya banyak dana, orang tidak akan pernah menjadi Bupati,
atau anggota Legislatif kalau tidak disetujui oleh masjid.
Masjid
menyodorkan nama orang yang punya integritas dan kapasitas, punya komitment
kuat terhadap Islam, dan masjid punya jaringan masa yang kuat, masjid ikut membiayai operasional orang
tersebut, Peraturan-peraturan di DPR hendaknya masjid (umat) yang membuat.
Itulah yang
dilakukan oleh orang-orang yang banyak duit. Ketika seseorang akan maju
mencalonkan diri sebagai calon Gubernur, maka ia membiayai calon-calon
anggota DPR setempat, agar mereka
mendukung-nya. Calon-calon pejabat baik sipil maupun militer dibiayai ketika
sekolah. Para peserta Sesko Militer dibiayai oleh calon Gubernur yang dibeking
para cukong. Coba kalau seandainya itu dilakukan oleh masjid (umat), Negara
tidak akan seperti sekarang ini.
Kalau kita
(umat, masjid) segera ambil-alih, maka Negara ini akan berubah. Kita (umat) yang berpesan, memberikan
aturan-aturan yang gratis, baik itu berupa Perda
atau Pergub sekalipun. Karena semua
itu ber-bayar. Fenomena Meikarta, fonomena Reklamasi (terlepas dari
kontroversi yang ada), semua itu
melibatkan tradisi sebagaimana tersebut di atas.
Maka seharusnya
menyelesaikan sejak di hulu, bukan
hanya di hilir seperti KPK
mengadakan OTT. Sebab dengan
menyelesaikan di hilir, maka keadaan negeri ini tidak akan berubah. Tidak akan bisa berubah, kalau di hulunya tidak lakukan perubahan. Dan
umat mempunyai tanggungjawab untuk melakukan perubahan itu.
2.Lemahnya
organisasi dan kelembagaan Masjid.
Karena masjid dikelola
jauh dari kebutuhan. Banyak masjid yang
pengurusnya diangkat sampai meninggal tidak pernah diganti. Sangat tidak
professional.
3.Program dan kegiatan Masjid lebih
dominan pada aspek ritual dan miskin dalam keterlibatan masalah-masalah sosial.
4.Ketidak-mandirian dan keterlibatan ekonomi yang menghambat
proses kemajuan posisi masjid di tengah
masyarakat. Padahal mestinya masjid membeli sebuah tempat atau Ruko, tentunya dengan sumbangan umat, yang di posisikan sebagai Waqaf, lalu dikelola sebagai Ruko atau
tempat usaha. Banyak orang-orang Islam yang ahli dalam me-manage
itu. Sehingga masjid punya kemandirian ekonomi. Banyak umat Islam ingin membuat
Waqaf dengan segala ke-ilmuannya. Dan ini merupakan potensi besar. Kenapa tidak
kita manfaatkan.
5.Minimnya
sinergi antar-masjid. Cobalah masjid itu membuat dana sosial
dan kerjasama dengan masjid-masjid yang lain, akan dahsyat sekali dampaknya.
Maka Fungsi
masjid bukan hanya tempat ibadah. Harus
diubah. Masjid harus berfungsi sosial, fungsi ekonomi, dst. Orang yang tidak punya rumah bisa dibelikan rumah.
Ada musafir datang tidak perlu menginap di hotel tetapi diakomodir oleh masjid,
dst.
Masjid
di zaman Rasulullah saw .
Masjid adalah
tempat musyawarah, menyelesikan masalah-masalah sosial, ekopnomi, politik
bahkan menghadapi peperangan dibahas di masjid.
Lihat Surat At Taubah ayat 18 :
Hanya
yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang
yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.
Paling tidak, sudah diberi-tahukan oleh ayat tersebut tentang
pembinaan mental keimanan dan masjid sebagai tempat untuk menjalankan ibadah
Mahdhoh, dan menunaikan zakat untuk membangun program sosial. Menjadikan
masyarakat hanya takut kepada Allah swt,
dan masjid adalah tempat yang potensial untuk merawat hidayah dari Allah subhanahu
wata’ala.
Maka semestinya di
setiap masjid ada Lembaga Amal Zakat
Infaq dan Shodakoh (LAZIS). Sehingga
Masjid bisa berfungsi sosial. Bila di sekitar
masjid kebetulan ada orang sakit, yang membutuhkan operasi di rumah sakit, sementara orang itu tidak punya uang dan tidak punya BPJS, sehingga tidak bisa
membiayai pengobatan dan operasi di rumah sakit, maka pihak Masjid yang
membiayai.
Sehingga masjid dekat dengan masyarakat. Dan masyarakat
yang pernah dibantu oleh masjid, meskipun mungkin ia tidak pernah datang ke
masjid, pasti ia akan datang ke masjid, untuk sholat di masjid. Karena Masjid hadir untuk masyarakat.
Masjid juga bisa
menyewakan aula untuk kepentingan masyarakat, apalagi masjid juga mengadakan
usaha-usaha yang lain, dampaknya akan luar-biasa.
Kalau masjid bisa
membuat suatu usaha yang berhasil, maka tidak usah meminta-minta di jalan,
untuk pembangunan atau renovasi masjid.
Maka bagaimana
masjid yang biasanya hanya untuk ritual ibadah, diubah menjadi : Masjid Pusat Peradaban. Caranya ialah
dengan Pemberdayaan masjid sebagai-mana disampaikan di atas.
Sekian bahasan,
mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA
WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ULAIK.
Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
______________
No comments:
Post a Comment