Translate

Monday, September 25, 2017

Masjid Pusat Peradaban , oleh : Ustadz Toni Rosyid

                        PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM

                                            Masjid Pusat Peradaban
                                               Ustadz Toni Rosyid


                       Jum’at,  24 Dzulhijjah 1438H – 15 September 2017

  
Bismillahirrohmanirrohim,
Assalamu’alaikum wr.wb.,

Muslimin dan muslimah yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Sesungguhnya umat yang paling bersyukur adalah Umat Islam.  Pertama, karena umat Islam diberikan referensi yang autentik yang tidak dimiliki oleh umat lain. Referensi yang bisa dipertanggungjawabkan dari sisi manapun, memiliki nilai-nilai universal yang tidak dimiliki oleh umat yang lain. Itulah AlQur’an dan mendapatkan dukungan tehnis oleh Hadits.

Mengenal sedikit tentang AlQur’an. 
Pertanyaan yang paling sederhana adalah : Apa yang tidak dibicarakan oleh AlQur’an ? Contoh  kecil tentang AlQur’an, terkait dengan politik.  Misalnya Pilkada lihat Surat Al Ankabut ayat 39 :

Dan (juga) Qarun, Fir'aun dan Haman. dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu).

Ayat tersebut di awali dengan Qarun, Fir’aun dan Haman. Teori orang Barat mengatakan bahwa sebuah bangsa dimulai oleh tiga pihak : Penguasa – Pengusaha – Militer.  Bahwa suatu bangsa (negeri) dikuasai yang paling depan adalah oleh Pengusaha (Taipan). Bila bicara sebuah Negara, yang paling berkuasa adalah Pengusaha. (Pengusaha menjadi Penguasa). Bila penguasa baik maka Negara itu baik.

Dalam Hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Ada tiga perkara, ketika Allah menghendaki suatu negeri itu baik, maka dipilihlah para ulama yang bijak yang menjadi penegak hukumnya,  orang-orang yang mengerti akan hukum dan takut kepada Allah dan orang-orang yang  memberikan harta-benda oleh orang-orang yang dermawan.

Dalam AlQur’an disebutkan bahwa Qarun adalah pengusaha, Fir’aun adalah penguasa.  Fir’aun di nomor dua karena penguasa ditentukan oleh Qarun.  Qarun-lah yang menentukan Fir’aun. Pengusaha-lah yang paling menentukan terhadap Penguasa.    Dalam konteks sekarang,  dimanakah ada seorang Presiden yang tidak di-intervensi dan ditentukan nasibnya oleh Pengusaha ?  Itu berlaku di Negara manapun. Termasuk di Indonesia. Jangankan Presiden, manakah ada Gubernur, Walikota, Bupati yang nasibnya tidak ditentukan oleh pengusaha.

Maka muncullah Qarun-Qarun (Penjudi-Penjudi) demokrasi yang hadir di  dunia politik, Pilkada maupun Pileg dan Pilpres. Haman adalah ketua Ormas, Ustad, Intelektual, dst. Yaitu orang yang bisa men-stempel dengan ke-piawai-annya, kepandaiannya, ke-ilmuan-nya mencarikan teorinya, idiologinya. Dan itu berlaku sepanjang sejarah.  Karena ketika AlQur’an berbicara seperti itu adalah universal.
Maka dalam konteks sosial ada hukum keniscayaan, ada hukum perjuangan.  

Ibnu Khaldun telah membuat teori sejarah, juga Karl Marx membuat teori tentang sejarah yang dimonopoli dari sosialisme purba kemudian muncul feodalis-me, kapitalisme dan akhirnya komunisme. Tetapi akhirnya itu menjadi bumerang, yang bisa dibuktikan secara sejarah.  Ibnu Khaldun-pun tidak benar.

Demikian itu contoh kecil. Tentang teori konflik, yang demikian besar di Eropa, dan kemudian di  bawa ke Amerika.
Dalam AlQur’an hanya membicarakan keluarga (suami-isteri) dimana ketika suami-isteri konflik, kemudian ada teori rekonsiliasi konflik. Kata Al Qur’an ketika suami-isteri sedang bertengkar, maka keduanya hendaklah bermusyawarah.  Kalau tidak bisa, hendaknya mereka diam.  Kalau tidak selesai juga maka ambillah Wali untuk menengahi. Tidak juga selesai maka ditanya : Kamu mau damai (konsiliasi) atau cerai (talak) dengan cara yang baik.  

Sebenarnya teori demikian itu yang sudah dilaksanakan di Negara Barat, yaitu teori rekonsiliasi konflik AlQur’an men-contohkana dengan sangat sederhana, bagaimana menyelesaikan konflik itu.  Dan masih banyak sekali teori-teori dalam AlQur’an. Artinya, umat Islam punya teori itu.

Tentang Hadits, Abraham Maslow punya teori tentang hirarkhi kebutuhan. Nabi Muhammad saw jauh sebelumnya mengenal Hierarkhi kebutuhan yang di awali dengan Al Amwal (paling rendah)  lalu Al ‘Aql (Akal), keatas lagi : An Nasl (Keturunan) diatas lagi : An Nafs (Nyawa). Dan di atas lagi (paling atas) An Nadin.

Jauh sebelumnya Taurat membicarakan bahwa manusia disebut juga sebagai  Anak Tuhan. Maka tidak mungkin orang yang belajar AlQur’an tidak cerdas. Tetapi dalam AlQur’an kita dianjurkan : Kalau belajar AlQur’an gunakan teori Ulul Albab. Yaitu orang-orang yang menggantungkan diri kepada Allah, ingat kepada Allah pada saat ia berdiri, duduk, dan berbaring.  Artinya, menggunakan hati, spiritualitas, barulah Akal.  Bila mempelajari AlQur’an dengan Akal saja maka akan menjadi manusia liberal, sesat dan tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan. Tidak akan berjumpa dengan Allah yang sesungguhnya.
Tetapi bila orang punya basis agama yang cukup baik, biasanya ia akan disadarkan oleh Allah subhanahu wata’ala. 

Kita punya Hadits, tentang sejarah ke-Nabian yang luar biasa.  Kalau dibandingkan dengan Nasrani yaitu Injil (Injil Mattius, Marcus, Lucas) ternyata dalam Injil Mattius, Marcus dan Lucas terdapat perbedaan yang tidak mungkin di damaikan.  Jumlah pasal-pasalnya berbeda. Dan dalam substansinya-pun berbeda.
Contoh: Tentang Kebangkitan Isa, yang datang di kuburan menurut Injil Mattius adalah Maria Magdalena.  Injil Marcus mengatakan : Ada dua Maria, Injil Lucas mengatakan : Ada tiga orang. dan Injil Johanes mengatakan : Ada lebih dari tiga orang.  Mana yang benar ?

Belum lagi dalam Injil Johanes dalam Mukadimahnya dijelaskan bahwa Johanes adalah sahabat Isa Almasih (Jesus Kristus). Artinya, mukadimahnya saja sudah meragukan terhadap sosok yang bernama Johanes.

Bandingkan dengan Hadits, yang ada Hadits Shahih, Hadits Dho’if, lalu Imam At Thirmidzy mengatakan  ada Hadits Hasan. Yang verifikasi-nya luar biasa. Hadits Dhoif ada tiga belas yang diverifikasi luar biasa.  Maka bila dibandingkan dengan Injil Mattius, Marcus, Lucas semua Injil itu tidak ber-verifikasi. 
Maka bersyukurlah menjadi umat Islam.  Kalau orang  tidak belajar Hadits, tidak belajar AlQur’an, maka orang itu berjalan hidup tanpa ilmu.

Masjid menjadi basis Peradaban.
Ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah maka di Madinah ada  sekitar 600 orang yang sudah masuk Islam, baik dari Muhajirin  maupun Anshor.   Ketika itu masjid dibangun dengan ukuran panjang 34 meter dan lebar 34 meter. Hanya dalam waktu 11 tahun masjid itu menjadi penuh jamaah lalu diperluas menjadi 100 X 100 meter, lalu masjid tersebut demikian besar mempengaruhi penduduk Madinah. Dan jumlah umat Islam ketika Fat-hu Makkah,  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam membawa umat Islam sejumlah tidak kurang dari 100 ribu orang.

Bila dibandingkan dengan  Masjid zaman sekarang, selama sepuluh tahun jamaah masjid itu tidak akan bertambah.  Itupun isinya adalah orang-orang pensiunan.

Dalam Hadits, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan di Akhirat kelak, diantaranya adalah pemuda yang hatinya selalu terpaut di masjid.
Kenapa pemuda ? Kenapa bukan orangtua ? Karena anak muda masih energik, kreatif, masih punya daya-juang yang tinggi.

Mengapa di zaman Rasulullah saw masjid menjadi penuh jamaah, dan masjid menjadi “magnet” bagi manusia untuk berbondong-bondong menuju masjid, karena Rasulullah saw sendiri secara emosional merupakan “magnet”. Disamping juga Masjid ketika itu ikut menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi da-lam masyarakat.  Itulah kuncinya.

Maka pada masa Rasulullah  saw, dalam masjid ada ruangan yang disediakan untuk orang-orang yang tidak punya rumah. Mereka dipersilakan tidur di salah satu ruangan dalam Masjid. Juga di sediakan untuk para santri yaitu ruangan (Suffah, Pavilyun) di masjid. 
Bila ada problem dalam masyarakat di bawa ke Masjid, diselesaikan di masjid. Artinya masjid menjadi tempat musyawarah, untuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh masyarakat.

Di dalam  masjid ada pula orang-orang yang dididik untuk menyelesaikan ekonomi masyarakatnya. Maknanya, Masjid benar-benar hadir di tengah masyarakat dan ikut ber-partisipasi menyelesaikan problem nyata dalam masyarakat. Sehingga masyarakat merasa bergantung, perlu dan butuh pada masjid.

Sementara masjid di negeri kita adalah masjid yang menunggu kedatangan masyarakat, hendak sholat silakan, tidak sholatpun silakan. Ada urusan-urusan dalam masyarakat bukan urusan masjid. Ada anak terkena narkoba bukan urusan masjid. Ada masalah-masalah lainnya bukan urusan masjid.. Urusan Masjid hanya urusan sholat. Itulah kondisi masjid kita yang jauh dari visi dibangunnya masjid oleh Rasulullah saw.

Masjid di kita tidak hadir dalam masyarakat.  Bisa dibuktikan, yaitu masjid tidak punya data-data berapa orang yang sholat, kreteria orang-orang yang datang dimasjid, berapa yang rajin sholat di masjid, berapa yang jarang sholat di masjid, dan berapa yang hanya sesekali datang dimasjid, berapa orang yang datangnya di Masjid hanya untuk sholat Jum’at saja, dst. Seharusnya masjid punya data itu.
Bagaimana program masjid untuk mengatasi semua  itu, bgaimana agar masjid berkembang, bagaimana agar umat sadar, dst. 

Kondisi strategis dan potensi masjid.
Bagaimana agar masjid mendidik masyarakat, sehingga kemanapun orang bepergian akan selalu  menanyakan di mana ada masjid. Sama dengan bila seseorang lapar, sedang dalam perjlanan, lalu bertanya dimana rumah-makan.

Komunitas yang homogeen serta Aqidah.
Di dalam masjid, semua jamaah adalah satu Aqidah tidak heterogeen. Sholatnya, ruku’nya dan sujudnya sama, artinya lebih mudah untuk mengaturnya. Dan Masjid punya anggaran dasar yang kokoh. Misalnay sholat, dari dahulu sholat Dhuhur, Ashar dan Isa adalah sama yaitu 4 rokaat. Tidak pernah di amandemen.

Ketika sholat berjamaah, Imam sholat selalu di depan. Tidak pernah ada dua atau tiga orang di tempat Imam.  Imam selalu memberi aba-aba agar merapatkan shaf, setelah penuh lalu membentuk shaf di belakangnya dst. Dan aturan itu berlaku seumur hidup. Tidak pernah ada yang mempersoalkan. Sementara UUD 1945 pernah dipersoalkan dan di amandemen.  Pancasila-pun dulu pernah dipersoalkan.
Artinya Kaifiyah (Aturan) sholat berjamaah lebih kokoh dibandingkan aturan negara.

Ketika sholat berjamaah, ada Imam dan Ma’mum.  Tidak pernah dalam masjid ketika memilih seorang Imam dengan cara Voting (suara terbanyak). Tidak pernah.  Bahkan ketika suatu saat Imam Rawatib belum hadir, karena berhalangan, kemudian pengurus masjid segera menunjuk seseorang untuk menjadi Imam sholat, dicari orang yang panjang jenggotnya, orang yang berpeci  putih, didorong-dorong untuk maju menjadi Imam, tidak mau karena belum  pernah menjadi Imam, apalagi sholat Maghrib, Isa dan Subuh dimana Imam harus mengeraskan bacaannya, lalau ditunjuk lagi orang yang pantas untuk menjadi Imam dan sanggup, maka ia menjadi Imam sholat berjamaah itu.

Bila kejadian di masjid semacam itu (contoh semacam itu) dipraktekkan dalam kehidupana bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, maka akan indah sekali.  Sementara itu struktur sosial kita sering berbenturan dengan struktur politik.  Karena caranya tidak mengikuti cara memilih Imam Sholat dalam membentuk  struktur sosial, ada Imam ada Ma’mum.  Sementara itu dalam masyarakat orang akan berebutan menjadi Pemimpin (Imam).

Padahal Rasulullah saw jelas dan tegas dalam sebuah Hadits shahih bersabda : “Demi Allah aku tidak pernah akan memberikan jabatan kepada orang yang minta dan berambisi dalam jabatan itu”. 

Sholat merupakan miniatur dalam kehidupan sosial kita. Dan kita tidak pernah berambisi kepada jabatan apapun. Rasulullah saw bersabda ketika Abu Hurairah minta jabatan : “Wahai Abu Huraiarah, kamu lemah, kalau kamu diberi jabatan ketahuilah dihari Akhirat orang-orang para pejabat itu adalah orang-orang yang menyesal dan orang-orang yang sedih”.

Orang sholat berjamaah di masjid, ketika suatu saat si Imam melakukan kesalahan, maka ada mekanismenya, tidak kemudian menjatuhkan, melainkan salah seorang aggota jamaah yang dibelakang Imam menegur dengan ucapan : Subhanallah. Maka si Imam kemudian meluruskan kesalahannya, sholat diteruskan sampai selesai.
Kalau struktur masyarakat kita dibangun  berdasarkan struktur sholat, maka struktur sosial kita akan menjadi indah. Tidak ada rebutan menjadi pemimpin, tidak ada Pilkada atau Pilpres yang hiruk-pikuk. Tatanan sosial masyarakat akan menjadi indah.

Ketika sholat berjamaah di masjid, tidak ada orang yang berebut menjadi Imam.  Imam sudah ditentukan, dan bila suatu saat Imam berhalangan maka pihak pengurus masjid menunjuk salah  seorang dari anggota jamaah untuk menggantikan menjadi Imam. Biasanya bahkan banyak yang tidak bersedia menjadi Imam. Bila Imam sholat melakukan kesalahan, maka jamaah mengucap sebagaimana disebutkan diatas. Bukan dijatuhkan atau diberhentikan atau didemo, dst.

Dalam hal pembangunan sebuah masjid, kepercayaan jamaah (masyarakat) tinggi. sekali . Seluruh lapisan masyarakat ingin menyumbang  baik dana, tenaga atau apapun. Bahkan orang lain desa/kampung ingin juga menyumbangkan dana.  Tidak semua orang yang menyumbang dana itu mendengar laporan pertanggungjawaban keuangan dari pembangunan masjid itu.

Di pinggir jalan banyak masjid-masjid dibangun, dengan menghabiskan dana milyaran rupiah. Dan masjid tidak membangun Mall, sehingga para kapitalis tidak bisa mempengaruhi atau mempermainkan Islam.  Sekarang banyak Masjid yang surplus dana.  Sementara di dekaat masjid itu ada yang minim jamaah, sehingga tidak punya dana.  Kenapa masjid yang surplus dana itu tidak membantu masjid  yang ada di dekatnya yang minim dana ? Mana ukhuwahnya ?   Ukhuwah antara sesama masjid inilah yang tidak menjadi tradisi para pengurus (pengelola) masjid.

Padahal mestinya masjid-masjid yang besar yang surplus dana membantu masjid yang tidak punya dana.   Atau bisa juga masjid yang surplus dana itu membangun  masjid-masjid di daerah-daerah.  Kenapa umat Islam tidak berfikir ke sana ?

Kondisi Obyektif Masjid saat ini.

1.Masjid dalam posisi sebagai obyek (politik dan kebijaksanaan), bukan sebagai subyek

Setiap ada Pilkada banyak orang datang  ke masjid. Semua calon Pilkada banyak mendatangi masjid-masjid, Majlis Ta’lim dsb. Sambil membawa sumbangan, kadang berupa  karpet, uang dst, dan minta diumumkan. Bahkan ketika tidak terpilih, sumbangan ditarik kembali. Padahal yang  demikian merupakan penghinaan terhadap masjid. Melibatkan masjid ke dalam politik adalah menghan-curkan nilai filosofis masjid.

Padahal seharusnya masjid itu kaya, punya banyak dana, orang tidak akan pernah menjadi Bupati, atau anggota Legislatif kalau tidak disetujui oleh masjid.
Masjid menyodorkan nama orang yang punya integritas dan kapasitas, punya komitment kuat terhadap Islam, dan masjid punya jaringan masa yang kuat,  masjid ikut membiayai operasional orang tersebut, Peraturan-peraturan di DPR hendaknya masjid (umat) yang membuat.

Itulah yang dilakukan oleh orang-orang yang banyak duit. Ketika seseorang akan maju mencalonkan diri sebagai calon Gubernur, maka ia membiayai calon-calon anggota  DPR setempat, agar mereka mendukung-nya. Calon-calon pejabat baik sipil maupun militer dibiayai ketika sekolah. Para peserta Sesko Militer dibiayai oleh calon Gubernur yang dibeking para cukong. Coba kalau seandainya itu dilakukan oleh masjid (umat), Negara tidak akan seperti sekarang ini.

Kalau kita (umat, masjid) segera ambil-alih, maka Negara ini akan berubah.  Kita (umat) yang berpesan, memberikan aturan-aturan yang gratis, baik itu berupa Perda atau Pergub sekalipun. Karena semua itu ber-bayar. Fenomena Meikarta, fonomena Reklamasi (terlepas dari kontroversi  yang ada), semua itu melibatkan tradisi sebagaimana tersebut di atas.

Maka seharusnya menyelesaikan sejak di hulu, bukan hanya di hilir seperti KPK mengadakan OTT.  Sebab dengan menyelesaikan di hilir, maka keadaan negeri ini tidak akan berubah.  Tidak akan bisa berubah, kalau di hulunya tidak lakukan perubahan. Dan umat mempunyai tanggungjawab untuk melakukan perubahan itu.

2.Lemahnya organisasi dan kelembagaan Masjid.  
Karena masjid dikelola jauh dari kebutuhan.  Banyak masjid yang pengurusnya diangkat sampai meninggal tidak pernah diganti. Sangat tidak professional.

3.Program dan kegiatan Masjid lebih dominan pada aspek ritual dan miskin dalam keterlibatan masalah-masalah sosial.

4.Ketidak-mandirian  dan keterlibatan ekonomi yang menghambat proses kemajuan  posisi masjid di tengah masyarakat. Padahal mestinya masjid membeli sebuah tempat atau Ruko, tentunya dengan  sumbangan umat, yang di posisikan sebagai Waqaf, lalu dikelola sebagai Ruko atau tempat usaha. Banyak orang-orang Islam yang ahli dalam  me-manage itu. Sehingga masjid punya kemandirian ekonomi. Banyak umat Islam ingin membuat Waqaf dengan segala ke-ilmuannya. Dan ini merupakan potensi besar. Kenapa tidak kita manfaatkan.

5.Minimnya sinergi antar-masjid. Cobalah masjid itu membuat dana sosial dan kerjasama dengan masjid-masjid yang lain, akan dahsyat sekali dampaknya.

Maka Fungsi masjid bukan hanya tempat ibadah.  Harus diubah. Masjid harus berfungsi sosial, fungsi ekonomi, dst. Orang  yang tidak punya rumah bisa dibelikan rumah. Ada musafir datang tidak perlu menginap di hotel tetapi diakomodir oleh masjid, dst.  

Masjid di zaman Rasulullah saw .
Masjid adalah tempat musyawarah, menyelesikan masalah-masalah sosial, ekopnomi, politik bahkan menghadapi peperangan dibahas di masjid.

Lihat Surat At Taubah ayat 18 :

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

Paling tidak,  sudah diberi-tahukan oleh ayat tersebut tentang pembinaan mental keimanan dan masjid sebagai tempat untuk menjalankan ibadah Mahdhoh, dan menunaikan zakat untuk membangun program sosial. Menjadikan masyarakat  hanya takut kepada Allah swt, dan masjid adalah tempat yang potensial untuk merawat hidayah dari Allah subhanahu wata’ala.

Maka semestinya di setiap masjid ada Lembaga Amal Zakat Infaq dan Shodakoh (LAZIS).  Sehingga Masjid bisa berfungsi sosial.  Bila di sekitar masjid kebetulan ada orang sakit, yang membutuhkan operasi di rumah sakit,  sementara orang itu tidak punya uang  dan tidak punya BPJS, sehingga tidak bisa membiayai pengobatan dan operasi di rumah sakit, maka pihak Masjid yang membiayai.

Sehingga masjid dekat dengan masyarakat. Dan masyarakat yang pernah dibantu oleh masjid, meskipun mungkin ia tidak pernah datang ke masjid, pasti ia akan datang ke masjid, untuk sholat di masjid.  Karena Masjid hadir untuk masyarakat.

Masjid juga bisa menyewakan aula untuk kepentingan masyarakat, apalagi masjid juga mengadakan usaha-usaha yang lain, dampaknya akan luar-biasa.
Kalau masjid bisa membuat suatu usaha yang berhasil, maka tidak usah meminta-minta di jalan, untuk pembangunan atau renovasi masjid.

Maka bagaimana masjid yang biasanya hanya untuk ritual ibadah, diubah menjadi : Masjid Pusat Peradaban. Caranya ialah dengan Pemberdayaan masjid sebagai-mana disampaikan di atas.

Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ULAIK.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

                                                        ______________ 

No comments:

Post a Comment