PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM
Membangun
Keluarga Islami (II)
Dr.
H.M.Soetrisno Hadi, SH,MM.
Jum’at, 28 Dzulqo’dah 1436H – 11 September 2015
Assalamu’alaikum
wr.wb.,
Muslimin
dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu
wata’ala,
Pada pengajian sebelum ini kita telah
membicarakan tentang Keluarga Islami secara umum yang berdasarkan AlQur’an dan
Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam. Untuk kali ini kita akan lebih memperdalam kajian, seperti apa
membangun Keluarga Islami itu. Dalam Al
Qur’an Surat At Tahrim ayat 6 Allah subhanahu wata’ala berfirman :
سُوۡرَةُ التّحْریم
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ
وَأَهۡلِيكُمۡ نَارً۬ا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡہَا
مَلَـٰٓٮِٕكَةٌ غِلَاظٌ۬ شِدَادٌ۬ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ
وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ (٦)
Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Berdasarkan ayat tersebut, para ilmuwan
Tafsir AlQur’an, antara lain Prof.Dr. Wahbah Az Zuhaily, mengatakan bahwa ayat tersebut merupakan perintah dari Allah subhanahu wata’ala secara resmi kepada
kita umat Islam, untuk menjaga diri kita dan keluarga (suami-isteri dan
anak-anak) dari ancaman api neraka. Berdasarkan ayat tersebut, setiap kepala
keluarga siapapun orangnya diwajibkan mem-proteksi (menjaga) diri dan keluarga
dari siksaan api neraka. Caranya :
1. Taat kepada Allah subhanahu wata’ala,
2. Mempelajari Islam
dengan baik, benar, tekun, teliti dan
cermat serta menyeluruh, jangan sepotong-sepotong, yang menyebabkan salah paham
sehingga di antara umat Islam sendiri saling selisih paham, bentrok, dan
bersengketa, hanya karena salah memahami Islam.
3. Kepala keluarga (suami)
wajib mengajar, mendidik, membimbing
anak dan isterinya agar taat kepada
Allah subhanahu wata’ala.
4. Menjauhi perbuatan
kufur dan maksiat misalnya : Judi, mabuk, zina, dusta gossip (ghibah), dst.
5. Memelihara diri
dari kejahatan, sekecil apapun kejahatan itu harus dijauhi.
Menurut para Ilmuwan Tafsir, bila 5 hal
tersebut dijalankan, dilaksanakan, maka kita dan keluarga akan selamat dunia
dan Akhirat.
Untuk bisa membangun keluarga yang Islami,
maka para pihak (isteri dan suami) harus punya adat (kebiasaan), aturan, etika
yang harus dibangun.
Menurut Surat Al Baqarah ayat 228 :
سُوۡرَةُ البَقَرَة
وَٱلۡمُطَلَّقَـٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ
ثَلَـٰثَةَ قُرُوٓءٍ۬ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ
فِىٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِۚ
وَبُعُولَتُہُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِى ذَٲلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَـٰحً۬اۚ
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِى عَلَيۡہِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡہِنَّ
دَرَجَةٌ۬ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٢٢٨)
Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' (tiga kali suci)
tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti (masa ‘Iddah) itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Maksudnya : Suami punya hak atas isteri
dan isteri punya hak atas suaminya. Dan laki-laki (suami) ada lebih haknya dibanding isteri.
Sebagaimana pesan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam
Hadits shahih bahwa masing-masing suami dan isteri mempunyai hak. Dengan kalimat lain : Adab bersuami-isteri
akan bisa berlangsung apabila antara suami dan isteri menjalankan hak dan
kewajibannya dengan baik.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam Hadits shahih bersabda : “Ingatlah bahwa bagimu ada hak atas isterimu
dan dan bagi isterimu ada hak atas kamu”.
Hak masing-masing orang itu harus
dipenuhi, dilaksanakan. Bila itu
dilaksanakan maka terjadilah harmonisasi hidup berkeluarga.
Dizaman Rasul, ada kejadian yang
menyangkut keharmonisan rumahtangga.
Ketika itu ada seorang sahabat yang bernama Abu Darda, seorang tergolong
pedagang besar ketika itu, ia sering bepergian berdagang ke luar negerinya :
Bahrain, Syiria, dan ke negeri Syam lainnya.
Abu Darda seorang yang sibuk berdagang tetapi ibadahnya rajin. Malam sholat Tahajud, siang harinya berpuasa
Sunnah.
Suatu hari saudaranya yang bernama Salman
Al Farisi datang ke rumah Abu Darda,
tetapi hanya ditemui oleh isterinya karena Abu Darda sedang pergi
berdagang. Salman Al Farisi agak heran
ketika bertemu dengan isteri Abu Darda, karena ia terlihat kusut, pakaiannya sangat tidak rapih, penampilannya
seperti orang yang sedang murung. Padahal dahulunya, ia terlihat cantik, ceria,
berdandan dengan rapih. Maka Salman Al Farisi bertanya tentang diri isteri Abu
Darda itu, kenapa tidak seceria dulu, dan kenapa berpakaiannya cenderung kusut,
dan wajah-nya seperti sering murung?.
Maka isteri Abu Darda berkata : “Wahai
Salman Al Farisi, sekarang saudaramu (Abu Darda) sudah tidak tertarik kepadaku
lagi, entahlah mengapa, kalau malam ia
sibuk Sholat malam, siangnya puasa sunnah terus menerus setiap hari. Kepadaku ia sudah tidak cinta lagi”.
Sore harinya Abu Darda pulang dan senang
hatinya karena bertemu dengan Salman Al Farisi, saudaranya yang sudah lama
tidak bertemu. Abu Darda menyuruh isterinya menyediakan makan untuk tamunya
(Salman Al Farisi) tetapi Salman Al Farisi menolak dan berkata : “Wahai
saudaraku Abu Darda, aku tidak akan makan di rumahmu, kalau kamu tidak makan bersamaku”. Maka Abu Darda
melepas puasa-sunnahnya dan kemudian makan bersama dengan Al Farisi,
sambil berbincang-bincang sebagaimana
saudara yang sudah lama tidak bertemu.
Malam harinya, Abu Darda berkata kepada
Salman Al Farisi agar ia jangan pulang tetapi menginap di rumah Abu Darda.
Maka Salman Al Farisi menjawab: “Tidak, aku tidak akan menginap di
rumahmu kalau kamu tidak tidur bersama isterimu”.
Maka ketika malam harinya Abu Darda tidur
bersama isterinya, yang selama ini sudah jarang sekali ia lakukan. Dan Salman Al Farisi bersedia menginap di
rumah Abu Darda.
Esok harinya ketika sholat Subuh, mereka
sholat di masjid Nabawi, berjamaah bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang menjadi Imam sholat. Selesai sholat mereka (Abu Darda dan Salman
Al Farisi) menemui Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam, Abu Darda melapor : “Ya Rasulullah, karena dia (Salam Al
Farisi) datang dan menginap di rumahku maka kemarin aku tidak puasa sunnah dan
tadi malam aku tidak Tahajud”.
Rasulullah saw bertanya : “Apakah kamu
menggauli isterimu semalam?”. Abu Darda menjawab: “Benar, ya Rasulullah,
sehingga aku tidak sholat Malam”.
Rasulullah saw bersabda : “Salman Al
Farisi benar, kamu Abu Darda yang
terlalu, punya istri tidak kamu pergauli
dengan semestinya”.
Maksudnya, seorang suami tidak boleh
karena menjalankan ibadah demikian rajin sehingga melupakan isterinya. Karena
di situ ada hak isteri. Demikian pula
seorang isteri tidak boleh menolak ajakan suami untuk berhubungan suami
isteri. Harus ada keseimbangan antara
hak isteri dan hak suami.
Indikator
Keluarga Islami.
Ada Hadits shahih, Rasulullah shollalalahu ‘alaihi wasallam bersabda
: Keluarga bahagia mempunyai 4 ciri :
1.
Mempunyai rumah
yang luas.
Maksudnya : Rumah yang luas dengan rahmat dan kasih-sayang Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda dalam
Hadits Shahih ; Terangilah rumahmu dengan
bacaan ayat-ayat AlQur’an dan sholat berjamaah.
2.
Pasangan yang
taat. Dalam
keluarga itu terdiri dari suami-isteri yang taat kepada Allah subhanahu wata’ala, rajin beribadah.
3.
Anak yang sholeh. Rumahtangga
(keluarga) akan merasa berbahagia kalau
punya anak sholeh/sholihah.
4. Kendaraan yang indah. Maksudnya, menjadi Islam sebagai “kendaraan”
sehari-hari. Berperilaku, bekerja, makan, minum, tidur dst. dengan cara Islam, bertetangga dan bergaul
dengan siapapun dengan cara Islam. Itulah yang disebut keluarga Islami.
Interaksi
sosial yang harmonis.
Interaksi sosial yang harmonis akan terjadi
bila suami bergaul dengan isteri dan anak dengan baik. Dalam diri suami ada hak
isteri, dalam diri isteri ada hak suami, dalam diri anak ada hak orangtua dan
dalam diri orangtua ada hak anak, dst.
Bila hal tersebut berjalan dengan serasi,
maka keluarga itu akan berbahagia. Jadi sesungguhnya sederhana dalam usaha keluarga Islami, kalau masing-masing orang
mem-fungsikan hak dan kewajibannya dengan baik.
Hak
suami atas isteri.
1.
Suami berhak ditaati oleh isteri. Maka menjadi kewajiban seorang isteri mentaati
suaminya. Dalam Hadits dikatakan : Tidak
boleh seorang isteri menolak “ajakan” suami, meskipun si isteri sudah diatas
pelana unta. Tidak boleh seorang isteri
menolak “ajakan” suami meskipun si isteri sedang disamping tungku dapur.
2.
Suami berhak dijaga kemuliaan dan kehormatannya. Tidak
boleh seorang isteri menjatuhkan martabat dan kehormatan suami di depan orang
lain.
3.
Suami berhak memerintahkan isteri untuk taat kepada
suami. (Hadits Shahih).
Hak
isteri atas suami :
1. Isteri berhak atas suami untuk digauli. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam
AlQur’an : “Pergaulilah isterimu dengan
baik”. Atas dasar ayat AlQur’an tersebut,
seorang suami berkewajiban menggauli isterinya. Karena bergaul-nya itu
merupakan Hak Isteri. Maka berikanlah
haknya.
2. Isteri berhak
untuk diajarkan Islam. Maka suami berkewajiban untuk mengajarkan Islam kepada istrinya. Kalau tidak mampu (bisa), maka suami mengajaklah mengaji (belajar)
ilmu-ilmu Islam. Atau mengundang guru ke
rumah untuk mengajarkan Islam.
3. Isteri berhak
mendapatkan bimbingan dari suami tentang cara-cara beragama, cara ibadah,
membaca AlQur’an, ber-akhlak dan bersopan-santun.
4. Isteri berhak
diperlakukan adil. Terutama bila suaminya berpoligami. Adil dalam tiga hal :
Dalam nafkah (proporsional), dalam hal menginap (mabit), dan dalam mencintai.
5. Isteri berhak
dijaga rahasianya. Suami tidak boleh menceritakan kepada orang lain tentang
kelemahan, ketidak sempurnaan isterinya atau kelebihan isterinya.
Hak
anak.
Ada hak anak terhadap orangtuanya:
1. Anak berhak
mendapatkan nama yang baik. Orangtua memberi nama kepada anak hendaknya
nama yang baik dan bagus, sehingga bila disebut, anak yang bersangkutan senang
dan bangga.
2. Di-‘Aqiqah-kan
(menyembelih kambing) pada hari ke-tujuh sejak kelahirannya. ‘Aqiqah yang benar
adalah pada hari ke-tujuh sejak kelahiran anak.
3. Anak berhak untuk
dihitan.
4. Anak berhak di
kasihi dan disayangi, tidak boleh disakiti (didzolimi).
5. Anak berhak
mendapatkan nafkah yang baik dan halal.
6. Anak berhak
mendapatakan pendidikan yang baik. Maka
bila ada anak yang tidak mengerti Islam, tidak mendapatkana ajaran Islam, maka
yang berdosa adalah orangtuanya. Serta anak mendapatkan pendidikan Akhlak.
7. Anak berhak untuk
dicarikan jodoh dan dinikahkan. Orangtua harus mencarikan jodoh untuk anaknya
dan menikahkannya. Bila anak menolak,
maka tidak boleh dipaksa.
Selanjutnya masih banyak yang harus
dibahas tentang Keluarga yang Islami, tetapi karena keterbatasan waktu, sampai
di sini bahasan kali ini, insya Allah akan dilanjutkan pada pertemuan yang akan
datang.
Sebelum diakahiri marilah kita membaca
do’a untuk kita dan keluarga.
Al
Fatihah.
Do’a :
Bismillahirrohmanirrohim,
Allahumma bi
haqqil Qur’an,
Wabi kalamikal
qodim,
Wabi Muhammadin
khotaminnabiyyin
Wabi haqqi ummil
Qur’an,
‘Allimnal
Qur’an, ‘Alimnal Qur’an,
Wafaqihna fiddin,
wa’alimna ta’wil,
Wahdina
ilassawa-issabil.
Allahumma inna
nas-aluka imanan kamilan,
Wayaqinan
shodiqon, warizqon wasi’an,
Waqolban
khosyti’an, Walisanan dzakiron,
Wabadanan
shobiron, Wal’afwa ‘indal hisab,
Wannajata
minannaar.
Allahummakhtimlana
bi husnil khotimah,
Wala takhtim
‘alaina bi su’il khotimah,
Robbana atina
fiddun-ya hasanah,
Wafil akhiroti
hasanah waqina ‘adzabannar.
Walhamdulillahirobbil
‘alamin.
Wassalamu’alikum
wr.wb.
______________
No comments:
Post a Comment