Translate

Wednesday, September 28, 2016

Fiqih Nafkah Dan Ekonomi Keluarga, Oleh : Ahmad Fihri, MA.



PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM

Fiqih Nafkah Dan Ekonomi Keluarga
Ahmad Fihri, MA.


Jum’at, 21 Dzulhijjah 1437H – 23 September 2016 

 
Assalamu’alaikum wr.wb.,

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Bahasan berikut adalah tentang Fiqih Nafkah dan Ekonomi Keluarga.  Berbicara tentang nafkah, maka konotasinya adalah suami.  Mengapa para suami harus mencari nafkah, ada beberapa permasalahan yang hari ini menjadi budaya dalam masyarakat kita tetapi bertolak-belakang dengan ajaran AlQur’an. Contoh : Penghasilan (harta) yang didapat oleh suami dari mencari nafkah, seluruhnya diberikan kepada isteri.

Lihat AlQur’an Surat An Nisaa’ ayat 34, Allah subhanahu wata’ala berfirman :

سُوۡرَةُ النِّسَاء

ٱلرِّجَالُ قَوَّٲمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٍ۬ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٲلِهِمۡ‌ۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰتٌ۬ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ‌ۚ وَٱلَّـٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِى ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّ‌ۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَڪُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡہِنَّ سَبِيلاً‌ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّ۬ا ڪَبِيرً۬ا (٣٤)

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.  Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Dalam ayat tersebut Allah subhanahu wata’ala memuliakan karakter orang laki-laki. Yaitu menjadikan orang laki-laki pemimpin, menjadi pilar-kokohnya isteri dan keluarganya. Maka laki-laki yang menjadi pemimpin keluarga menjadi pilar (soko-guru) sebuah rumahtangga. Menjadi penegaknya, pendirinya.  Maka laki-laki harus punya karakter sebagai Imam  (pemimpin, leader). Juga karakter laki-laki adalah sebagai pendidik.   Paling tidak di dalam keluarganya.

Dalam ayat tersebut ada tiga kata yang artinya pemimpin : Qawamuna (pemimpin), ‘Ala (di atas) dan Ba’dhohum ‘ala ba’dhin (melebihkan sebagian dari bagian yang lain).  Karena tiga kemuliaan tersebut, maka laki-laki harus (wajib) menafkahi keluarganya. Karena sebelumnya Allah sudah memberikan kekuatannya :

1.     Akalnya, maka para laki-laki, para suami, tinjauannya selalu berdasarkan akal (logika). Sifatnya selalu logis. Sementara perempuan tinjauannya selalu dengan rasa (perasaan). Maka para wanita tidak boleh menjadi pemimpin. Karena wanita ibadahnya lemah (sedikit). Sering libur-sholat (ketika haid, ketika nifas, dst).
2.     Kekuatan fisik,
3.     Kekuatan keberaniannya.

Maka seorang laki-laki tidak boleh menganggur (tidak bekerja mencari nafkah), dan sifat-sifat tersebut adalah firah, sudah Allah beri sejak awal kejadian manusia.
Maka kepada orangtua yang punya anak laki-laki, sejak anaknya itu masih kecil, berikan pendidikan dan ajaran bahwa ia akan menjadi pemimpin (leader). Paling tidak pemimpin dalam keluarganya kelak ketika sudah berumah-tangga. Didiklah anak laki-laki menjadi pemimpin.


Selanjutnya dalam ayat tersebut dikatakan bahwa suami menafkahi isterinya dari sebagian hartanya  (tidak seluruhnya). Maka dalam Islam tidak ada istilah harta Gono-gini (harta milik bersama suami-isteri). Dari segi kepemilikan harus jelas, mana harta suami dan mana harta isteri. Adapun dari segi pemanfaatannya dipakai bersama, silakan, tetapi dari kepemilikan harus jelas. 

Sehingga sering terjadi dalam masyarakat ketika suami atau isteri mati (meninggal) terjadi keributan dalam pembagian warisan. Itu dikarenakan antara lain karena kepemilikan harta antara suami dan isteri tidak jelas. Dalam Islam yang dikenal adalah harta bersama, yaitu harta yang didapat ketika sudah menjadi suami-isteri.

Nafkah.
Menurut Kitab Fiqih Sunnah yang ditulis oleh Imam Sayyid Sabiq yang dimaksud Nafkah adalah kewajiban pemenuhan kebutuhan isteri terhadap makanan, tempat tinggal, layanan, termasuk obat, sekalipun isterinya kaya raya. Hukumnya wajib bagi laki-laki (suami).

Maka dalam Surat An Nisaa’ para lelaki tidak boleh ada yang menganggur. Dan kekuatan laki-laki adalah memberi,  sedangkan wanita adalah menerima (diberi). Maka bila ada seorang perempuan dimana anak-anaknya masih kecil-kecil, belum baligh, sauminya meninggal (mati) maka kehidupan perempuan itu selanjutnya adalah menjadi tanggunjawab orangtuanya (ayah dari perempuan itu). Oleh karena itu seyogyanya wanita itu ter-cover dengan orang-orang walinya, termasuk ketika dalam proses pernikahan.

Dalam Islam harus jelas nasab-nya (garis keturunan laki-laki).  Apalagi anak perempuan, harus jelas siapa ayahnya (walinya). Maka letak kewajiban atas perempuan yang ditinggal mati suaminya masih pada ayah dari perempuan itu. Maka pada dasarnya, perempuan harus diberi, bukan memberi. Dan bila seorang suami memenuhi kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di atas, maka maka isterinya (wanita) tersebut sudah berada ditempat yang mulia. Yaitu mengabdi, melahirkan, menyusui, mendidik anak, semua itu adalah Peradaban Dunia.

Kenyataan hari ini banyak wanita yang tidak mau hamil, tidak mau punya anak. Apakah dengan demikian akan ada peradaban dunia di masa depan ?  Habislah dunia ini dan dunia akan diisi oleh orang-orang jahat. Termasuk apabila dari komunitas muslim tidak ada Imam yang bisa ditampilkan, karena disebabkan oleh kesibukan dunia yang pragmatis dan politiknya yang luar biasa.  Itu semua menjadi PR bagi kita kaum muslimin.
Ingat do’a kita yang diajarkan oleh Allah subhanahu wata’ala : Robbana hablana min azwajina wadzurriyatina qurrota a’yun waja’alina lil muttaqina imama.
(Ya Allah, ya Tuhan kami anugerahkan kepada kami  isteri-isteri dan keturunan  yang menyejukkan mata memandang (penyenang hati)  dan jadikanlah kami sebagai imam orang-orang yang bertakwa).

Pertanyaannya, adakah hari ini anak-anak kita sudah menjadi Qurrota a’yun (pandangan yang menyejukkan) di tengah-tengah masyarakat ? Ataukah anak-anak kita terjerumus pada narkoba-an, Gay, Lesbi, Homosex, dst ?

Padahal Allah subhanahu wata’ala menciptakan laki-laki dan perempuan, dua-duanya adalah mulia. Pada perempuan kemuliaan-nya adalah : Melahirkan kader-kader pemimpin umat dan itu akan berproses perputarannya, melahirkan anak-anak yang sholih dan mulia di muka bumi. Sementara laki-laki akan menjadi pemimpin dan pilar kokohnya (Imamnya) dan bila semua masyarakat paham dan meliput kewajiban seorang ayah (suami), maka wanita dengan mulia-nya akan melahirkan, menyusui serta mendidik anaknya, dan itulah pilar-pilar perdaban manusia yang luar-biasa di muka bumi.

Dalil dari memberi nafkah adalah AlQur’an Surat Ath Thalaq ayat 7 :

سُوۡرَةُ الطّلاَق

لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٍ۬ مِّن سَعَتِهِۦ‌ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُ ۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَٮٰهُ ٱللَّهُ‌ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَٮٰهَا‌ۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٍ۬ يُسۡرً۬ا (٧)


Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.

Atas dasar ayat tersebut, ketika seorang suami menafkahi isteri dan keluarganya, maka ‘izzah (wibawa) nya ada. Tetapi bila penghasilan (gaji) suami lebih kecil dibandingkan penghasilan (gaji) isterinya, maka suami itu ‘izzah-nya rendah. Karena suami adalah berkewajiban memberi rezkinya kepada isteri dan isteri menerima (bukan memberi) rezki atas suaminya. Isteri berhak untuk diberi, bukan meminta.
 
Syarat isteri diberi nafkah :

1.     Terjadinya akad nikah yang shahih. Calon suami harus bisa memberikan Mahar yang terbaik untuk calon isterinya. Dan calon isteri yang baik adalah : Jangan meringankan Mahar dari calon suami.  Suami yang tidak ideal (tidak diharapkan) adalah Mahar-nya kecil (nilainya rendah). Ketika sudah terjadi Akad-Nikah, maka Mahar adalah Hak isteri sepenuh-nya. Suami tidak boleh ikut campur pada Mahar yang telah diberikan kepada isterinya, kecuali seijin isterinya. Apabila si suami memakai (meminjam) harta mahar dari si Isteri, ketika terjadi Thalak satu, Thalak dua sampai Thalak tiga, maka mahar harus dikembalikan kepada si Isteri.
2.     Mau dan mampu melayani kebutuhan biologis secara umum, kecuali ada Udzur Syar’i. Misalnya karena penyakit, dsb. Tidak menentang (Nusyuz), tetapi kalau isteri berbuat Nusyuz, selingkuh, berzina dengan orang lain, dst., maka boleh suami menceraikan isterinya. Atau tidak mau tinggal bersama dengan suami, atau meninggalkan rumah tanpa ijin suami, maka suami boleh menceraikan isterinya itu.

Lihat AlQur’an Surat Al Baqarah ayat 233 : 


سُوۡرَةُ البَقَرَة

۞ وَٱلۡوَٲلِدَٲتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَـٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِ‌ۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ‌ۚ وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُ ۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُہُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِ‌ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَا‌ۚ لَا تُضَآرَّ وَٲلِدَةُۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُودٌ۬ لَّهُ ۥ بِوَلَدِهِۦ‌ۚ وَعَلَى ٱلۡوَارِثِ مِثۡلُ ذَٲلِكَ‌ۗ فَإِنۡ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ۬ مِّنۡہُمَا وَتَشَاوُرٍ۬ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡہِمَا‌ۗ وَإِنۡ أَرَدتُّمۡ أَن تَسۡتَرۡضِعُوٓاْ أَوۡلَـٰدَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا سَلَّمۡتُم مَّآ ءَاتَيۡتُم بِٱلۡمَعۡرُوفِ‌ۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ۬ (٢٣٣)

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Dan jika kamu ingin anakmu disusu-kan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Besaran Nafkah menurut para ulama Ahli Fiqih :  

1.     Besaran Nafkah harus disesuaikan  dan dilihat  dari kondisi si isteri.  Masing-masing orang berbeda-beda kondisinya, ada yang kaya, ada yang sederhana, ada pula yang pas-pasan. Demikian menurut pendapat Imam Malik bin Anas (Madzhab Maliki).
2.     Besaran Nafkah harus dilihat dari kondisi calon suami. Demikian menurut pendapat Imam Syafi’i.  Lihat Surat Ath Thalaq ayat 7 :


سُوۡرَةُ الطّلاَق

لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٍ۬ مِّن سَعَتِهِۦ‌ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُ ۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَٮٰهُ ٱللَّهُ‌ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَٮٰهَا‌ۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٍ۬ يُسۡرً۬ا (٧)

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.

3.     Besaran Nafkah ditentukan oleh kondisi kedua-belah pihak (pihak calon suami dan pihak calon isteri).  Demikian pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafiah).

Terhadap suami yang bakhil (kikir, pelit):
1.     Isteri bersabar, dan suami harus berusaha mencari nafkah sekuat tenaga.
2.     Isteri  boleh mengambil secukupnya untuk dia dan anak-anaknya. Demikian Hadits, Rasulullah saw bersabda karena seorang isteri sahabat bernama Hindun mengadukan suaminya yang kikir, maka sabda beliau : “Boleh engkau ambil secukupnya dan untuk anakmu dengan cara yang baik”.

Disamping memberi Nafkah, maka kewajiban suami adalah :  
1.     Menyediakan tempat tinggal bagi isteri dan anak-anaknya, termasuk alat-alat rumah tangga.  Demikian menurut Kitab Fiqih Islam yang ditulis oleh Dr. Wahbah Az Zuhaily, dari Universitas Islam Damaskus.
2.     Pengurusan rumah tangga adalah kewajiban suami. Termasuk menyediakan pembantu (pelayan) untuk isterinya bila ada kemampuan dan isteri membutuhkan.
3.     Bila ada kemampuan ada kewajiban imbal-balik nafkah tambahan kepada isteri.  Ada peran berbagi. Suami tidak boleh menyerahkan pekerjaan keluarga  sepenuhnya kepada isteri, melainkan harus bekerja-sama sesuai porsinya masing-masing suami dan isteri.
4.     Semua pekerrjaan rumahtangga di-akomodir oleh suami sebagai seorang Imam (Leader).

Hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, ketika ditanya tentang apa yang dilakukan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam di rumah beliau : “Beliau melakukan seperti yang kalian lakukan ketika membantu isteri kalian. Beliau menjahit sandal, menambal gamis beliau dan beliau juga mengangkat ember air untuk keperluan kami”.

Tetapi Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah ditegur oleh Allah subhanahu wata’ala, karena salah seorang isterinya (‘Aisyah r.a) cemburu terhadap salah seorang isteri beliau (Zainab r.a.) yang telah menghidangkan semangkuk madu. Maka Rasulullah saw bersabda bahwa beliau tidak meminum madu lagi (mengharamkan madu), untuk menyenangkan hati ‘Aisyah r.a.  Maka turunlah teguran dari Allah subhanahu wata’ala, Surat At Tahrim ayat 1 :

  
سُوۡرَةُ التّحْریم
بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّبِىُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَآ أَحَلَّ ٱللَّهُ لَكَ‌ۖ تَبۡتَغِى مَرۡضَاتَ أَزۡوَٲجِكَ‌ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ۬ (١)


Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Selanjutnya, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjadi suami teladan, jika datang waktu sholat maka beliau keluar rumah untuk melakukan sholat (Fardhu) berjamaah di masjid beliau.

Peran isteri dalam rumahtangga adalah mulia. Isteri melayani suami dengan baik, mengurus rumah tangga dengan baik, adalah tugas mulia seorang isteri. Termasuk menjaga/memelihara keturunan.



Sekian bahasan mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.
Wassalamu’alikum warohmatullahiu wabarokatuh.
                                                            ____________

No comments:

Post a Comment