Translate

Thursday, January 30, 2014

Indikator Taqwa , oleh : Dr. Hendri Tanjung, Ph.D.


PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM
  
Indikator Taqwa

Dr. Hendri Tanjung, Ph.D.

Jum’at,  1 Dzulqo’dah 1434 H – 6 September 2013.

 
Assalamu’alaikum wr.wb.,

Bahasan kali ini adalah tentang Indikator orang yang ber-Taqwa.  Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam AlQur’an Surat Ali Imran ayat 133 – 134 :

133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Ayat tersebut menceritakan ciri-ciri orang yang bertaqwa. Banyak sekali ayat-ayat dalam AlQur’an yang isinya teentang orang yang bertaqwa, atau yang serupa dengan taqwa tidak kurang dari 124 ayat.  Yaitu tentang indikator orang-orang yang ber-taqwa, dimana orang yang ber-taqwa dijamin masuk surga.

Pada ayat 133 Surat Ali Imran sebagaimana tersebut diatas dikatakan : Bersegeralah (cepat-cepatlah) untuk menuju ampuinan Allah subhanahu wata’ala. Demikian pula bersegera menuju Surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

Tentang surga yang luasnya seluas langit dan bumi tidak hanya dalam satu ayat dalam AlQur’an, melainkan juga di ayat-ayat yang lain.  Misalnya Surat Al Hadid ayat 21 :

Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.

Maksudnya, jangan ragu-ragu, surga itu sangat luas, tidak usah khawatir tidak mendapatkan tempat di surga.   Yang penting berbuat amalan-amalan yang menuju ke surga, insya Allah kita akan masuk ke dalam Surga Allah subhanahu wata’ala.

Surga disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana disebutkan dalam ayat 134 di atas.   Adapun ciri-ciri orang ber-taqwa sebagaimana disebutkan dalam ayat 134 Surat Ali Imran adalah  :

1.Orang yang ber-infaq baik dalam keadaan lapang maupun sempit.

Kalau kita mendengar kata “infaq” maka ada hubungannya dengan materi.  Berbeda antara infaq dan shodakoh.  Infaq, bersifat materi, sedangkan shodakoh bisa berupa materi bisa juga non materi.  Ada Hadits, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tersenyum kepada saudaramu adalah shodakoh”.

Tersenyum dalam hal ini bukan memberi materi, tetapi memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Biasanya orang yang memberikan senyum kepada orang lain, pasti orang lain itu akan membalasnya dengan senyum.  Artinya  dengan senyum orang itu men-transfer kebahagiaan. Lalu terjadi saling berbalas kebahagiaan.  Maka tersenyum kepada saudara (orang lain) adalah shodakoh. Artinya,  bahwa senyum adalah disarankan oleh agama kita.

Sedangkan Infaq adalah memberi yang berupa materi. Artinya kita dianjurkan untuk ber-infaq meskipun dalam keadaan sempit.   Dalam keadaan sempit tetapi kita memberikan infaq kepada saudara kita yang kekurangan (memerlukan) itu adalah amalan yang luar biasa.

Besarnya infaq adalah dihitung dari prosentase kekayaan seseorang, bukan dinilai dari jumlah uang yang diinfaq-kan. 
Misalnya orang yang berpendapatan sebulan Rp 100 juta, maka mungkin ia akan berinfaq Rp 10 juta.  Yaitu 10% dari penghasilannya.  Kalau orang punya uang Rp 10 juta maka ia (mungkin) akan ber-infaq sebesar Rp 1 juta. Orang yang punya uang satu juta, maka ia akan ber-infaq sepuluh ribu rupiah.  Artinya, infaq itu yang dilihat adalah pada prosentase dari harta yang dimiliki, bukan dari besarnya jumlah infaq. 

Maka orang yang bisa (mampu) meng-infaq-kan hartanya adalah luar biasa. Dalam riwayat Umar bin Khothob ber-infaq sepertiga dari seluruh hartanya. Tidak dikatakan berapa jumlahnya, tetapi disebutkan “sepertiga dari jumlah hartanya”.  Demikian pula sahabat Abubakar Siddiq, meng-infaq-kan seluruh hartanya.  Artinya itu berbicara prosentase bukan berapa jumlahnya.
Keutamaan infaq adalah prosentase.  Semakin besar prosentase-nya maka semakin Allah cintai orang yang ber-infaq itu.

Ketika ditanyakan kepada Abubakar Siddiq : Apa yang engkau tinggalkan untuk anak-isterimu, beliau menjawab bahwa yang ia tinggalkan adalah Allah dan Rasul-Nya  untuk mereka. Demkian luar biasa tingkat keimanan Abubakar Siddiq rodhiyallahu ‘anhu.

Infaq merupakan salah satu instrument untuk memutar kekayaan.  Kalau semua orang ber-infak bisa dibayangkan perputaraan kekayaan itu akan luar-biasa di tengah-tengah masyarakat.  Dan itulah yang akan menghidupkan ekonomi,   Bukan dengan system Riba yaitu per-bankan.  Seseorang punya uang, disimpan di bank, lalu mendapatkan bunganya,  yang demikian itu berarti menumpuk-numpuk harta.  Tidak memutar harta.  Dan yang punya harta orang-orang kaya, orang miskin tidak pernah kebagian.   Tetapi dengan Infaq, maka akan terjadi perputaran uang,  dan orang miskin bisa ikut menikmati manfaatnya. Dan itu sangat dianjurkan dalam agama kita (Islam).

Dalam AlQur’an Surat Al Baqarah ayat 261 – 263 Allah subhanahu wata’ala berfirman : 

261. Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.

262. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

263. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.

Jelas sekali disebutkan bahwa apabila infaq kita lakukan dengan ikhlas  karena Allah, maka akan dilipat-gandakan menjadi 700 kali.  Dan Allah akan melipat-gandakan lagi sekehendak-Nya tergantung kepada ke-ikhlasan orang yang ber-infaq. Infaq juga merupakan harta simpanan di Akhirat bagi yang ber-infaq. 

Dengan catatan bahwa yang ber-infaq tidak boleh sama sekali mengungkit-ungkit apa yang telah ia infaq-kan, dengan menceritakan pemberiannya itu (terutama kepada si penerima infaq).  Bila diungkit-ungkit maka hapuslah pahalanya di Akhirat, seperti debu di atas batu yang terkena air hujan, habis tidak berbekas.  Mengungkit-ungkit perbuatan baik adalah pekerjaan syaithan, agar pahala manusia menjadi hilang.
Perkataan yang baik dan memaafkan lebih bagus daripada mengungkit-ungkit (menyakiti hati si penerima infaq).

Infaq merupakan instrument dalam Islam yang bisa memutar perekonomian kita, dan di situ ada nilai ibadah. Maka berbicara Infaq, bukan saja maslahat bagi dunia, tetapi juga maslahat bagi Akhirat.    Maka yakinlah apabila kita melaksanakan ajaran AlQur’an, maka dunia akan baik dan Akhirat juga akan baik.
Maka hendaknya kita membiasakan ber-infaq setiap hari,, berapapun besarnya. Kalau itu sudah dibiasakan, maka menjadi ringan.  Kalau sehari tidak ber-infaq akan menjadi terasa ada yang kurang.  Ingat,  hendaknya infaq karena mengharap ridho Allah, bukan karena ingin dilihat (didengar) orang lain.

2.Tanda orang ber-Taqwa adalah Menahan marah.
Indikator kedua dari orang yang ber-Taqwa adalah menahan marah, meskipun mampu melam-piaskan.  Marah adalah pekerjaan syaithan. Biasanya orang marah itu ekspresi wajahnya tegang, matanya melotot, mukanya merah-padam, dst.  Seperti wajah syaithan.  Maka bila ingin melihat wajah syaithan, lihatlah wajah orang yang sedang marah.   Marah adalah sesuatu yang dilarang dalam ajaran Islam.   Indikasi orang ber-taqwa adalah bisa menahan marah.

 Dalam sebuah Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu ada seseorang yang datang dan berkata kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, berikan aku wasiat”.  Maka Nabi saw bersabda : “Jangan engkau marah”. Orang itu berkata lagi : “Ya Rasulullah beri aku wasiat” .  Maka Nabi saw berkata : “Jangan engkau marah”. Demikian berulang-kali dan dijawab oleh Nabi Saw “Jangan engkau marah” berkali-kali juga.

Maknanya, Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam memberikan wasiat kepada orang yang berkata itu dengan jawaban “Jangan engkau marah” dan berkali-kali bukan hanya sekali.
Wasiat artinya sesuatu yang penting dalam hidup. Maka ketika orang akan meninggal, ia menyampaikan wasiat, sesuatu yang sangat penting dalam hidup. Dalam kaitannya dengan Hadits di atas, bahwa ada orang yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang wasiat apa yang bisa diberikan kepadanya, Rasulullah saw menjawab : “Jangan engkau marah”, diulang sampai berkali-kali.  Artinya bahwa menahan marah adalah sangat penting dalam kehidupan.

Makna menahan marah adalah:
1.      Bahwa kita mampu menahan diri dari sebab-sebab yang membuat kemarahan. Dan dicari apa yang menjadi sebabnya.
2.      Jangan berlebihan ketika marah. Artinya boleh marah tetapi proporsional. Misalnya ada orang menghina kepada agama kita, menginjak-injak AlQur’an, maka boleh kita marah, tetapi marah yang wajar, tidak berlebihan.

Bagimana cara menahan marah, agar tidak terpancing kepada kemarahan:
1.      Selalu menjaga Wudhu.  Artinya selalu dalam keadaan Wudhu, kalau batal ber-wudhu lagi.  Menjaga diri selalu dalam keadaan suci.
2.      Ketika terlanjur marah, kita harus ingat bila dalam keadaan berdiri, segera duduk.  Dengan duduk maka kemarahan akan reda. Atau ingatkan diri kita agar membaca Ta’awudz, memohon perlindungan dari pengarus syaithon, mengucapkan A’udzubillahiminasysyaithonirojim.

Syaithon selalu menggoda manusia dari segala arah.

1.      Dari depan (artinya Akhirat).  Syaithon menghalangi manusia untuk memikirkan Akhirat.  Maka marilah kita melakukan Akhirotisasi, yaitu selalu mengaitkan apa yang kita lakukan dengan Akhirat. (Akhiroti likulli sya’i). Kalau kita bisa melakukan Akhirotisasi dalam bidang ekonomi, maka ekonomi akan menjadi sehat. Selalu mengaitkan aspek Akhirat dalam Hukum, maka hukum kita akan sehat, tidak ada lagi kedzoliman. Keadilan pasti ditegakkan sesuai dengan hukum. Akhirat artinya pembalasan, perhitungan. Dan kita pasti akan menuju Akhirat.
2.      Dari belakang (artinya dunia).  Syaitho membuat manusia terlena pada dunia. Seolah-olah jabatan kita adalah seumur hidup, tidak mau melepaskan. Kalau sudah kaya, ingin kaya terus, tidak mau miskin, dst. Akhirnya orang akan terjatuh pada penyakit Wahn (cinta dunia, takut mati). Tidak mau lagi ber-jihad, tidak mau lagi bersusah-payah. Kalau sudah begini maka akan diturunkan Adzab (bencana) kepada kaum itu.  Itulah tipuan Syaithon, orang menjadi terlena kepada dunia.
3.      Dari Kanan (artinya kebaikan), maksudnya syaithon selalu menghalang-halangi manusia untuk berbuat baik.  Bahkan kadang ia berwujud manusia, menghalangi manusia lain untuk berbuat kebaikan. Siapa saja yang menghalangi orang untuk berbuat baik, ia adalah syaithon, meskipun wujudnya manusia.
4.      Dari kiri (artinya keburukan), syaithan selalu berusaha agar manusia berbuat buruk. Dalam Surat Al Baqarah dijelaskan bahwa syithan selalu membisikkan kepada manusia untuk tidak ber-infaq dan ia menyruh manusia untuk berbuat keji.  Dan kerja syaithon itu luar-biasa.  Syaithon bekerja menggoda manusia secara maksimal. Maka kalau kita tidak maksimal beribadah, mendekatkan diri kepada Allah, maka kita akan kalah dengan syaithan.

Itulah makna bahwa syaithon menggoda manusia dari depan, belakang, kanan dan kiri manusia. Kemauan syaithon adalah agar manusia ini masuk neraka semua.  Apapun akan ia lakukan. Karena syaithon sudah bersumpah di hadapan Allah subhanahu wata’ala : Demi kemuliaan-Mu ya Allah, aku akan menggoda semua manusia, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas.

Intinya : Bisa menahan marah.  Kalaupun marah, jangan sampai terlihat kemarahannya, dan ketika berkata-kata harus dengan perkataan yang sejuk.  Hati boleh panas tetapi kepala harus tetap dingin.

3.Memaafkan (kesalahan) orang.
Itulah kreteria yang ketiga dari orang yang ber-Taqwa dalam ayat 134 Surat Ali Imran sebagaimana disebutkan di atas, Orang yang bertaqwa bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah. Kita manusia pasti pernah berbuat salah. Maka kalau kita berbuat salah, segeralah Istighfar, memohon ampun kepada Allah subhanahu wata’ala. Itulah orang yang taqwa.

Jangankan manusia biasa, Nabi-pun pernah berbuat salah.  Tetapi Allah segera menegur dan meluruskan dan memberi maaf.  Lihat AlQur’an Surat At Taubah ayat 43 Allah subhanahu wata’ala berfirman :

Semoga Allah mema'afkanmu (Muhammad). mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?

Ketika itu Nabi Muhammad saw mengijinkan beberapa sahabat untuk tidak ikut berperang dengan alasan macam-macam, bahkan ada yang berdusta. Yang demikian itu maka Allah menegur kepada beliau. Dan Allah memaafkan beliau.
Artinya, bahwa pemaaf adalah salah satu Sifat Allah subhanahu wata’ala.  Allah Maha Pengampun (Pemaaf).  Dan Nabi-pun pernah berbuat salah, tetapi langsung Allah menegur dan memaafkan.

 Maka kita harus bisa memaafkan sesama, sebagaimana Allah memaafkan kepada hamba-Nya. Memaafkan sesama adalah meniru Sifat Allah subhanahu wata’ala.

Dan menjadi pemaaf akan berguna bagi kesehatan tubuh.  Orang pemaaf tidurnya nyenyak. Sedangkan orang pendendam pasti sering tidak bisa tidur.  Lalu kesehatannya terganggu. Apa yang diperintahkan oleh Allah dalam AlQur’an kepada manusia pasti bagus bagi manusia.
Dan pada ujung ayat tersebut (Ayat 134 Surat Ali Imran) disebutkan : Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (kebajikan).

Karena ada sifat pemaaf, maka terjadilah perdamaian dan persaudaraan antara sesama manusia.
Contoh : Buya Hamka pernah dijebloskan ke dalam penjara pada zaman rezim Sukarno (Bung Karno), tetapi ketika Bung Karno di akhir hidupnya meminta agar kelak bila beliau meninggal Buya Hamka yang menyolati,   maka Buya dengan ikhlas menyolati  jenazah Bung Karno ketika beliau wafat.  Buya Hamka yang pemaaf itu menyolatkan orang yang pernah memenjarakannya. Itulah sifat pemaaf dari seorang Buya Hamka. 

Itulah inti dari Surat Ali Imran ayat 133 dan 134,  bahwa ciri orang yang bertaqwa adalah :

1.      Orang yang suka ber-infaq baik di waktu lapang maupun di waktu sempit.
2.      Orang yang mampu menahan marah.
3.      Orang yang memaafkan orang lain.

Maknanya adalah : Kita ber-muamalah adalah mendidik orang, bukan menghukum orang. Yang menghukum orang adalah Allah subhanahu wata’ala kelak di Akhirat.

Tanya-Jawab.

Pertanyaan:
Hampir setiap hari di rumah kami di datangi pengemis (pengamen) dan selalu kami beri uang sekedarnya.   Apakah dibenarkan tindakan kami yang selalu memberi uang kepada pengemis (pengamen) setiap hari ?

Jawaban :
Bila niat anda bersedekah, inya Allah berpahala dan sampai dan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala.  Karena setiap perbuatan tergantung niatnya. Niat anda adalah bersedekah karena Allah.  Maka insya Allah sedekah anda sampai dan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Namun demikian bila itu dilakukan terus-menerus dalam jangka panjang,  maka tindakan anda itu tidak mendidik, orang (pengemis) itu selamanya akan datang ke rumah anda dan tidak mau bekerja.  Padahal ajaran Islam adalah mendidik orang untuk bekerja keras, bukan meminta-minta.

Pertanyaan:
Ada keterangan bahwa ada kreteria-kreteria dalam ber-infaq yaitu bagi yang mengharap balasan sepuluh kali lipat, tujuhratus kali lipat dan balasan yang tanpa batas dari Allah subhanahu wata’ala.   Mohon penjelasan.

Jawaban:
Benar. Kretria itu memang ada .  Siapa yang ber-infaq akan dibalas oleh Allah subhanahu wata’ala dengan sepuluh kali lipat, tujuhratus kali lipat, bahkan ada  yang balasannya tidak terbatas, dibalas dengan sebanyak-banyaknya sebagaimana Allah Kehendaki, yaitu kepada siapa saja yang ber-infaq dengan ikhlas.

Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

                                                                _____________       







No comments:

Post a Comment