Translate

Thursday, January 2, 2014

Spirit Hijrah, oleh : Ustad Muhsin Saleh



 Spirit Hijrah
 Ustad Muhsin Saleh
 Jum’at,  6 Muharram 1433H – 2 Desember 2011


 Assalamu’alikum wr. wb.

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala, 
Secara bahasa kata “Hijrah” artinya pindah dari suatu tempat ke tempat lain.  Hijrah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat artinya pindah dari Makkah ke Madinah. Itulah Hirah dalam makna secara Syar’i.  Pertama, Hijrah Makaniyah artinya hijrah tempat. Dari satu tempat ke tempat lain. Hijrah Makaniyah inilah yang berlaku pada zaman Nabi Muhammad saw.  Dan tidak ada lagi Hijrah dalam arti tersebut seetelah Fat-hu Makkah.

Kedua Hijrah Maknawiyah,  adalah bagaimana orang pindah (berubah) dari kebiasaan buruk kepada kebiasaan yang baik.  Yang biasanya ghibah (membicarakan keburukan orang lain, sekaranag sudah hijrah (pindah, berubah) tidak lagi berbuat ghibah. Yang biasanya memfitnah tidak lagi berbuat seperti itu, dan seterusnya.  Hijrah yang ini harus dilakukan tidak terbatas waktunya, sampai orang itu mati.
Usaha kita  adalah bagaimana kita hijrah (berpindah) dari suatu kondisi yang tidak baik, kondisi yang munkar, maksiat dst, menuju kondisi dan situasi yang baik. Dari perilaku bangsa Indonesia yang tidak baik menjadi bangsa Indonesia yang berkepribadian baik.

Hijrah yang dilakukan oleh para sahabat, pertama-tama yang diperintahkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam  adalah  pindah ke negeri Habasyah (sekarang Ethiopia).  Karena situasi di Makkah sudah tidak memungkin lagi mereka hidup, tidak mungkin lagi menyebarkan nilai-nilai Islam.  Pendukungnya-pun masih sedikit. Sehingga umat Islam tidak mampu menghadapi kaum kafir Makkah yang sering berbuat kekarasan. Dan mereka sudah di luar batas peri kemanusiaan. Sehingga waktu itu ada perintah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam agar para pengikutnya pindah ke negeri Habasyah, karena di sana ada penguasa (Pendeta) yang baik. 
                                                                        

Pendeta tersebut masih murni menganut Dinul Hanif, agama Allah subhanahu wata’ala yang benar.  Masih menganut ajaran Nabi Isa Almasih yang murni.  Insya Allah akan aman.

Ternyata benar, setelah mereka berhijrah dan sampai di Habasyah, mereka diterima dengan baik.  Terjadi dialog antara raja Habsyah yang seorang pendeta Nasrani,  Mereka ditanya oleh raja mengapa mereka pindah ke Habasyah dan meninggalkan negeri Makkah ?  Mereka menjawab:   “Karena di Makkah orang-orangnya sudah tidak punya peri kemanusiaan. Dan kami ingin pindah ke sini karena kami tahu di sini (Habasyah) ada pemimpin yang adil, yang baik. Maka kami minta perlindungan”. 

Dan mereka dilindungi dan diterima di Habasyah, walaupun ketika itu ada orang-orang Quraisy yang membuntuti dan memprovokasi serta membawa hadiah untuk raja, yang mempengaruhi raja agar orang-orang Islam dari Makakah itu jangan diterima. Dikatakannya kepada raja bahwa orang-orang dari Makkah itu adalah penghianat, mereka menentang agama nenek-moyangnya, dst.   Setelah terjadi dialog panjang-lebar maka akhirnya orang-orang muslim yang hijrah itu diterima di Habasyah dan provokasi orang Quraisy itu ditolak oleh Raja Habasyah.
Itulah Hijrah pertama yang tidak disertai oleh Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam dalam rangka menyelamatkan dakwah Islam,  menyelamatkan Aqidah mereka.

Hijrah kedua adalah Hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabat dan kaum muslimin karena situasi di Makkah ketika itu sudah tidak kondusf dan sudah sangat membahayakan keselamatan kaum muslimin, serta sudah tidak memungkinkan lagi beliau berdakwah kepada orang-orang kafir Quraisy.  Dan tahun itu oleh para ahli sejarah disebut sebagai Tahun Hazm (Tahun Kesedihan).  Karena tahun itu pula isteri Rasulullah saw (Khadijah r.a.) wafat. Padahal selama ini beliaulah dengan hartanya membiayai dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw.  Paman beliau (Abu Thalib) yang selama ini melindungi keselamatan beliau, juga wafat. Meskipun pamannya itu tidak masuk Islam.

Setelah kedua orang  tersebut wafat, maka secara fisik tidak ada lagi yang mendukung dakwah beliau. Kemudian Rasulullah saw hijrah ke Thaif. Daerah pegunungan yang sejuk dan subur. Ketika di Thaif, semua orang yang di datangi dan diajak untuk masuk Islam menolak dan bahkan memusuhi Rasulullah saw. Setelah berhari-hari di Tahif beliau memutuskan untuk pulang ke Makkah karena di Thaif tidak ada lagi yang mau menerima dakwab beliau masuk Islam. Lagi pula tidak ada lagi sahabat atau orang yang melindungi.

Dalam perjalanan pulang itu di tengah jalan beliau dikejar-kejar dan dilempari batu oleh anak-anak muda yang memang disuruh oleh orang-orang tua penduduk Tahif. Setelah tidak ada lagi yang mengejar dan melempari batu,  akhirnya beliau istirahat  duduk di bawah pohon rindang, masih dengan badan yang berdarah-darah akibat luka dilempari dengan batu.  Kebetulan ketika itu ada seseorang yang bekerja di kebun dekat beliau istirahat memberikan sekantung kurma untuk bisa dimakan.  Setelah menerima kurma itu beliau mengambil sebutir kurma untuk di makan dengan mengucapakan “Bismillahirrahmanirrahim”.   Rupanya ucapan itu terdengar oleh orang pemberi kurma itu dan baginya ucapan itu belum pernah didengarnya selama ini.

                                                                         

Maka ditanyakanlah apa maksud ucapan itu.   Terjadilah dialog antara orang tersebut dengan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam dan akhirnya orang tersebut masuk Islam dengan mengucapkan Dua Kalimah Syahadat.  Itulah satu-satunya orang yang mau masuk Islam ketika beliau Hijrah ke Thaif dan hanyalah seorang tukang berkebun.

Setelah kembali lagi ke Makkah beliau mengadukan semua persoalan yang beliau hadapi kepada Allah subhanahua wata’ala.

Do’a beliau : “Ya Allah, hanya kepada Engkau  aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku, dan kerendahan diriku di hadapan manusia, wahai Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.  Engkaulah Pelindung bagi orang-orang yang lemah. Dan Engkau jua-lah pelindungku.  Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan mengusai diriku, jika Engkau tidak murka kepadaku.  Semua itu tidak akan aku hiraukan”.

Maksudnya,  ancaman, intimidasi dan gangguan yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy terhadap diri beliau dan para sahabat beliau baik secara fisik ataupun mental, semua itu tidak beliau hiraukan asalkan Allah subhanahu wata’ala  tidak murka kepada beliau.
Maknanya beliau tidak takut lalu minta maaf kepada orang-orang Quraisy, tetapi beliau benar-benar menyerahkan sepenuhnya kepada Allah subhanahu wata’ala.

Itulah salah satu pelajaran bagi kita, ketika kita bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala.  Maknanya bahwa Hablumminallah (Hubungan dengan Allah) tidak boleh berhenti, atau putus dalam kondisi apapun.  Berserah-diri kepada Allah subhanahu wata’ala adalah penting bagi kita umat Islam, setelah kita berusaha dan berjuang semaksimal mungkin.

Para sahabat sudah berjuang sehingga mereka hijrah ke Habasyah.  Nabi Muhammad saw juga hijrah ke Thaif untuk berusaha mendakwahkan nilai-nilai Islam. Dan manusia Makkah dan Thaif tidak ada yang peduli dengan semua itu, tetapi Rasulullah saw memberikan gambaran secara langsung bagaimana hubungan beliau dengan Allah subhanahu wata’ala. Mengeluh dan mengadu kepada Allah bukan kepada yang lain.

Berkaitan dengan apa yang telah diusahakan dan dirasakan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya, ternyata Allah subhanahu wata’ala mempersiapkan beliau dan para sahabatnya untuk menjalankan tugas yang lebih besar. Allah memberikan ketangguhan, kekuatan spiritual Nabi dan para sahabat dengan pendidikan langsung di lapangan (Tarbiyah Maidaniayah), beliau dan para sahabat melihat dan merasakan secara langsung bagaimana cobaan, ujian, benturan yang dihadapkan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada Nabi dan para sahabat dalam rangka mengukur dan menguji keimanan mereka. 

Apakah ancaman, tantangan dan gangguan kaum Quraisy itu menjadikan semangat mereka surut atau melorot, atau kembali menjadi kafir,  ternyata tidak. 


                                                                       

Semua itu tidak menyurutkan atau melemahkan semangat Iman serta prinsip-prinsip yang telah ditanamkan oleh Rasulullah saw  kepada para sahabat. Benar-benar Iman kepada Allah dan Rasul-Nya sudah menjadi kebulatan tekad para sahabat dan kaum muslimin pada waktu itu.

Secara pribadi ditarbiyahkan (diajarkan) kepada Rasulullah saw langsung oleh Allah subhanahu wata’ala.  Diperlihatkan (saat Isra’ Mi’raj) gambaran masa depan, bagaimana keadaan nantinya orang-orang yang berlaku baik,  dan orang-orang yang berperilaku dzolim.   
Dan ketika Isra’ Mi’raj itulah diperintahkan langsung sholat lima waktu (Sholat Fardhu) kepada kita umat Islam. Maknanya, agar manusia selalu mengadukan persoalan hidupnya langsung kepada Allah subhanahu wata’ala. Minimal dalam waktu-waktu tertentu yaitu ketika sholat lima waktu itu dalam sehari-semalam.

Persoalan yang kita hadapi dan kita geluti setiap hari adalah persoalan hidup.  Dan itu tidak seberapa bila dibandingkan persoalan yang dihadapi oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Bagi kita persoalan yang kita hadapi dalam keseharian mungkin hanya kepetingan pribadi dan keluarga tetapi Nabi dan para sahabat adalah persoalan bagaimana melihat ke depan nasib generasi yang akan datang apabila kondisi dan situasi ke-Imanan umat ketika itu lemah. Pasti generasi yang akan datangpun akan lemah.  Persoalan Iman dan Aqidah itulah yang dikuatkan oleh Allah melalui pendidikan langsung di lapangan (Tarbiyah Maidaniyah).  

Ternyata setelah Rasulullah saw mengadukan persoalan yang dihadapinya, kemudian Allah subhanahu wata’ala yang mengambil-alih semuanya. Dalam kondisi dimana sudah tidak bisa berusaha, semua serba lemah, maka Allah yang mengambil alih semua urusannya. Maka Rasulullah saw di-Mi’rajkan ke langit adalah dalam rangka menguatkan kepribadian Rasulullah saw bahwa sesudah itu Islamlah yang akan unggul dan orang-orang yang dzolim akan kalah. Diperlihatkanlah gambaran masa depan oleh Allah subhanahu wata’ala ketika beliau Mi’raj ke langit.

Maka dalam kaitan hubungan umat dengan Allah secara langsung, Allah subhanahu wata’ala memberikan kepada kita manusia batasan waktu,  minimal bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala adalah dengan sholat lima waktu (Sholat Fardhu). Maksimalnya adalah dengan sholat-sholat Sunnah (Sholat Dhuha, Rawatib, sholat Tahajud, dst). Yaitu untuk mengadukan persoalan hidup kita kepada Allah subhanahu wata’ala. 

Seperti kita ketahui sholat adalah do’a. Yaitu memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah subhanahu wata’ala.   Ketika duduk antara dua sujud kita berdo’a  mohon diampuni, mohon di kasihani, mohon diangkat derajatnya, mohon rezki, mohon sehat, dst. Semua itu kita mengadu kepada Allah subhanahu wata’ala, tidak kepada yang lain. Dan semua itu pasti akan diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala.  Tetapi kadang kita manusia yang kurang memahami makna demi makna apa yang kita ucapkan ketika sholat, menghadap Allah subhanahu wata’ala.  
Maka dalam sholat kita mengucapkan : Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil ‘alamin ( Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan seluruh alam).

                                                                        

Bahwa sesungguhnya hidup ini adalah pengabdian. Maka kalau kita kembali melihat kepada perjuangan Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya adalah pengabdian kepada Allah subhanahu wata’ala.  Unsur pengabdian ini harus tumbuh dalam setiap diri kita, sehingga tidak ada ketergantungan kepada manusia. Dan rezki yang diberikan oleh Allah kepada kita melalui pintu-pintu. Berbagai pintu  yang tidak kita duga dan ketahui.   Karena banyak pintu. 
Bagi orang yang mencurahkan semua kehidupannya semata-mata hanya untuk Allah subhanahu wata’ala,  maka Allah akan membuka semua pintu, tidak terbatas. Pintu yang mana, hanya Allah yang tahu.

Semua yang direncanakan dan dikehendaki oleh Allah subhanahu wata’ala bila menurut Allah jadi, maka jadilah  (Kun faya kun).  Bila memang menurut Allah subhanahu wata’ala sesuatu  itu mungkin, pasti jadi. Sudah banyak bukti seseorang yang tidak mungkin bisa pergi Haji karena miskin, tetapi bila Allah subhanahu wata’ala menghendaki, maka bisa saja ia pergi Haji (menunaikan ibadah Haji).

Kembali kepada Rasulullah saw ketika beliau sudah ditarbiyah secara matang yaitu Isra’ dan Mi’raj, ternyata selanjutnya Allah subhanahu wata’ala memberikan tugas yang lebih besar lagi, yaitu Hijrah ke Madinah.  Karena situasi Makkah ketika itu sudah tidak memungkin lagi untuk dilakukan dakwah Islam.  Maka Hijrahlah beliau ke Madinah, sebelumnya dipersilakan (diperintahkan) para sahabat dan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah terlebih dahulu.  Hijrahnya tidak serentak bersama-sama tetapi secara diam-diam, seorang demi seorang, sekeluarga demi sekeluarga, serombongan demi serombongan.

Sebelum beliau berangkat Hijrah, terlebih dahulu para sahabat, Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf,  Ali bin Abi Thalib dll. berangkat terlebih dahulu. semua itu orang kaya dan punya harta di Makkah. Dan semua harta benda, rumah, tanah, kebun, toko, dll. ditinggalkan di Makkah, karena tidak mungkin untuk membawanya ke Madinah ketika itu. Semua diikhlaskan, semua milik Allah, semua Allah yang akan mengaturnya nanti. Itulah prinsip keimanan yang luar biasa. Mereka tidak memikirkan bagaimana  nantinya harta yang ditinggalkan di Makkah akan diambil atau dijarah oleh orang-orang kafir Quraisy.

Dikisahkan ketika itu sahabat Umar bin Khathab rodhiyallahu ‘anhu  yang terkenal sifatnya yang keras,  kalau sahabat-sahabat dan kaum muslimin lainnya Hijrah ke Madinah dengan sembunyi-sembunyi, tetapi Umar bin Khathab r.a. ber-hijrah terang-terangan.  Dan ia datang di tengah-tengah banyak orang Quraisy, berkata : “Wahai orang-orang Quraisy,  siapa di antara kalian yang ingin berpisah dengan keluarganya, seorang bapak atau seorang ibu  yang ingin berpisah dengan anak-anaknya,  atau siapa orang laki-laki yang ingin isterinya menjadi janda, dst, dst, , tunggulah aku di ujung jalan ini, aku akan hijrah sekarang juga”.

Orang orang Quraisy yang mendengar tantangan itu hanya terdiam, dan Umar bin Khathab dengan ke-Imanannya dan ketangguhannya sudah pasrah kepada Allah subhanahu wata’ala, karena kondisi dan situasi sudah tidak memungkin lagi, dan pertolongan yang bisa diharapkan hanya satu yaitu dari Allah subhanahu wata’ala.  serta ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. yaitu mengikuti perintah untuk Hijrah, maka hijrah-lah ia ke Madinah. 

                                                                         

Setelah kaum muslimin tiba semua di Madinah maka oleh Rasulullah saw dilakukan persaudaraan antara Muhajirin (orang yang berhijrah) dengan Anshor (penduduk asli Madinah).  Ketika di Madinah yang dijadikan markas adalah Masjid. Ternyata umat Islam adalah Umatan Wahidah (Umat yang satu). Dipersatukan oleh Allah subhanahu wata’ala atas dasar Aqidah (keimanan), prisnsip-prinsip ke-Islaman. Bahwa setiap orang Islam adalah saudara.   Bukan atas dasar hubungan darah, golongan, partai atau organisasi. Persaudaraan muslim ibarat satu tubuh.  Bila ada bagian anggota tubuh yang sakit, maka semua ikut merasakan sakitnya. Ibarat satu bangunan antara bagian satu menguatkan bagian yang lain.
Bersatunya umat Islam tidak bisa dikalahkan oleh siapapun.  Dan itu sudah dibuktikan. Itulah spirit Hijtrah,Yang saat ini spirit bersatunya umat Islam tersebut sudah hampir hilang di kalangan kaum muslimin.

Yang ada sekarang adalah Egoisme organisasinya, partainya atau faham-fahamnya. Sibuk dengan saling menyalahkan, antara yang Qunut dan yang tidak Qunut dst, karena diracuni atau diprovokasi oleh pihak-pihak orang yang tidak suka dengan umat Islam. Karena bila Umat Islam bersatu, itulah yang ditakuti oleh orang-orang non Islam. Karena bila semua kekuatan umat Islam dikerahkan, baik harta ataupun jiwanya, akan merupakan kekuatan yang luar biasa.

Dana umat ini bila dihimpun dengan benar, sampai-sampai Dompet Dhuafa saja hampir-hampir kewalahan menampung dana umat Islam. Menyalurkannya-pun bingung. Karena banyak orang yang tidak bisa dipercaya. Itu baru bidang dana (uang) bagaimana pula bila dibentuk Baitul Mal yang betul-betul amanah, tentu akan luar biasa kekuatannya. Umat Islam Indonesia adalah mayoritas.  Kalau setiap muslim mengeluarkan (sodakoh) Rp 10 ribu perbulan, Maka akan terkumpul dana yang besar sekali, cukup untuk membiayai anak-anak sekolah seluruh Indonesia.  Sehingga tidak ada lagi kemiskinan, tidak ada lagi anak Indonesia yang tidak bisa sekolah karena tidak punya biaya. Tidak ada lagi orang sakit yang tidak bisa berobat. Karena kekuatan muslim yang bersatu akan menjadi kekuatan yang luar biasa. Itulah yang sebenarnya dibutuhkan oleh umat saat ini.


Seperti yang diperlihatkan umat Islam yaitu kaum Anshor dan Muhajirin baru saja datang di Madinah.  Orang Anshor Madinah berkata : “Wahai orang Muhajirin, jangan khawatir anda di sini tidak makan. Jangan khawatir anda tidak ada tempat tinggal. Jangan khawatir anda tidak punya ladang, tidak punya toko. Siapa yang ahli berdagang, kami punya dua toko, ambillah yang satu untuk anda, berdaganglah.  Siapa yang ahli berladang, kami masih punya ladang silakan separuhnya untuk anda tanami untuk makan anda. Demikian seterusnya kaum Anshor siap membantu orang-orang Muhajirin dengan ikhlas.  Demikianlah yang terjadi karena kaum Muhajirin sudah dipersatukan(dipersaudarakan) dengan kaum Anshor.

Sementara itu kita umat Islam di Indonesia terpecah-pecah, masing-masing membanggakan kelompoknya, tidak bersatu, individualism.  Yang demikian itu menjadi kelemahan umat. Bukan kekuatan umat.  Yang kita inginkan adalah dengan Spirit Hijrah ini kita bagaimana kekuatan umat ini bisa terbangun.
                                                                           

Yang  oleh para pemimpin kita tidak pernah dibangkitkan, kekuatan Islam tidak dibangun.  Sehingga kita sering saksikan di TV-TV disiarkan adanya orang-orang fakir miskin yang tidak bisa berobat karena tidak punya biaya, ada yang tidak sekolah, terjadi gizi buruk di daerah-daerah.  Padahal kekuatan umat Islam Indonesia ini luar-biasa kalau dihimpun.

Di negeri kita belum ada wadah yang bisa menyatukan umat,  dengan misi dan visi yang jelas serta pendidikan yang jelas terhadap umat, didasarkan pengabdian kepada Allah sebagai pengabdian yang utama. Disamping kita melaksanakan juga tugas-tugas sebagai Hablumminannasnya , sesuai dengan lapangan pengabdiannya dan dasarkan jiwa yang amanah.
Dengan demikian umat Islam Indonesia menjadi kuat, sehingga kita mampu melawan musuh-musuh Islam yang hendak merusak dan memecah-belah serta menguasai kita umat Islam.
Karena sudah dibuktikan dalam sejarah kita mampu melawan penjajah Belanda dan  Jepang serta mengusir mereka dari negeri tercinta ini, karena umat Islam ketika itu bersatu-padu melawan penjajah.

Maka memahami Hijrah untuk saat ini adalah Hijrah dari sisi Maknawiyah.  Yaitu Hijrah dari perilaku tidak baik menjadi perilaku yang baik. Dari pemikiran buruk kepada pemikiran yang baik. Itulah yang harus dibangun sesuai dengan Spirit Hijrah. Dan kepribadian kita sudah terbangun dengan misi dan visi Islam itu sendiri.  Yaitu bagaimana Rukun Iman sudah menanncap dalam jiwa kita, bagaiamana Rukun Islam  sudah kita laksanakan dalam keseharian kita,   bagaimana Ihsan (Akhlak)  kita yang masih belum seperti yang diharapkan.

Karena inti ajaran Islam ada tiga : Aqidah – Syari’ah – Ihsan (Akhlak). 
Aqidah (Iman kepada Allah tidak musyrik).  Syari’ah (Melaksanakan syari’ah : Sholat, shiam, zakat, dst). Ihsan (Akhlak, seorang muslim harus mencerminkan akhlak mulia). Akhlak yang dicontoh adalah akhlak Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Dan menjadikan AlQur’an sebagai pedoman hidup dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan aturan (yang dikehendaki) Allah subhanahu wata’ala.

Maka dengan ini disarankan pula kepada anda, kecuali AlQur’an dan Hadits, maka dalam setiap rumah tangga (keluarga) kita perlu memiliki Kitab Sirrah Nabawiyah (sejarah Nabi Muhammad saw dan perjuangannya), insya Allah kita semua akan bisa memahami dan memaknai perjuangan Rasulullah saw dan para sahabatnya, dan akan bisa lebih menguatkan ke-Islaman kita.  Kitab Sirrah Nabawiyah sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan harganyapun tidak mahal, bisa terjangkau oleh kita semua.  

Terakhir, dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka dengan spirit Hijrah, marilah kita merenung dan meng-evaluasi diri kita masing-masing, dalam usia yang sudah sekian lama ini apa yang kita lakukan tahun-tahun lalu yang tidak baik (kurang baik) maka kita perbaiki di masa-masa yang akan datang sebagai pertanda Hijrah hati kita. Terutama bila kita menghadapi persoalan-persoalan hidup yang berkembang di masyarakat, misalnya perkara-perkara yang mubadzir, tidak bermanfaat, sudah harus dihindari dan dihilangkan.

Misalnya petasan, bergadang semalaman, apalagi mabuk-mabukan, harus kita cegah dan hindari. Kita kaum muslimin punya kewajiban mengarahkan dan melaksanakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Menyuruh kepada kebaikan dan mencegah yang mungkar).

Terutama kepada anak-anak kita, anggota keluarga kita, serta tetangga kita ingatkan agar tidak berlaku Mubadzir, melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya, sia-sia dan menghambur-hamburkan uang yang tidak ada gunanya. Lebih baik uang itu digunakan untuk membantu fakir-miskin dan seterusnya. Justru itu lebih bermanfaat. Sesuai dengan Akhlak seorang  muslim.

Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIORUKA WA ATUBU ILAIK.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

No comments:

Post a Comment