Spirit Hijrah
Ustad Muhsin Saleh
Jum’at,
6 Muharram 1433H – 2 Desember 2011
Assalamu’alikum
wr. wb.
Muslimin dan muslimat yang dirahmati
Allah subhanahu wata’ala,
Secara bahasa kata “Hijrah” artinya pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Hijrah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat artinya pindah dari
Makkah ke Madinah. Itulah Hirah dalam makna secara Syar’i. Pertama,
Hijrah Makaniyah artinya hijrah
tempat. Dari satu tempat ke tempat lain. Hijrah Makaniyah inilah yang berlaku
pada zaman Nabi Muhammad saw. Dan tidak
ada lagi Hijrah dalam arti tersebut seetelah Fat-hu Makkah.
Kedua
Hijrah Maknawiyah, adalah bagaimana orang pindah (berubah) dari
kebiasaan buruk kepada kebiasaan yang baik.
Yang biasanya ghibah
(membicarakan keburukan orang lain, sekaranag sudah hijrah (pindah, berubah) tidak lagi berbuat ghibah. Yang biasanya
memfitnah tidak lagi berbuat seperti itu, dan seterusnya. Hijrah yang ini harus dilakukan tidak terbatas
waktunya, sampai orang itu mati.
Usaha kita adalah bagaimana kita hijrah (berpindah) dari
suatu kondisi yang tidak baik, kondisi yang munkar, maksiat dst, menuju kondisi
dan situasi yang baik. Dari perilaku bangsa Indonesia yang tidak baik menjadi bangsa
Indonesia yang berkepribadian baik.
Hijrah yang dilakukan oleh para sahabat,
pertama-tama yang diperintahkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah
pindah ke negeri Habasyah
(sekarang Ethiopia). Karena situasi di
Makkah sudah tidak memungkin lagi mereka hidup, tidak mungkin lagi menyebarkan
nilai-nilai Islam. Pendukungnya-pun
masih sedikit. Sehingga umat Islam tidak mampu menghadapi kaum kafir Makkah
yang sering berbuat kekarasan. Dan mereka sudah di luar batas peri kemanusiaan.
Sehingga waktu itu ada perintah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam agar para pengikutnya pindah ke negeri
Habasyah, karena di sana ada penguasa (Pendeta) yang baik.
Pendeta tersebut masih murni menganut Dinul Hanif, agama Allah subhanahu wata’ala yang benar. Masih menganut ajaran Nabi Isa Almasih yang
murni. Insya Allah akan aman.
Ternyata benar, setelah mereka berhijrah
dan sampai di Habasyah, mereka diterima dengan baik. Terjadi dialog antara raja Habsyah yang
seorang pendeta Nasrani, Mereka ditanya
oleh raja mengapa mereka pindah ke Habasyah dan meninggalkan negeri Makkah
? Mereka menjawab: “Karena di Makkah orang-orangnya sudah tidak
punya peri kemanusiaan. Dan kami ingin pindah ke sini karena kami tahu di sini
(Habasyah) ada pemimpin yang adil, yang baik. Maka kami minta
perlindungan”.
Dan mereka dilindungi dan diterima di
Habasyah, walaupun ketika itu ada orang-orang Quraisy yang membuntuti dan
memprovokasi serta membawa hadiah untuk raja, yang mempengaruhi raja agar
orang-orang Islam dari Makakah itu jangan diterima. Dikatakannya kepada raja
bahwa orang-orang dari Makkah itu adalah penghianat, mereka menentang agama
nenek-moyangnya, dst. Setelah terjadi
dialog panjang-lebar maka akhirnya orang-orang muslim yang hijrah itu diterima
di Habasyah dan provokasi orang Quraisy itu ditolak oleh Raja Habasyah.
Itulah Hijrah pertama yang tidak disertai oleh Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam dalam
rangka menyelamatkan dakwah Islam,
menyelamatkan Aqidah mereka.
Hijrah
kedua
adalah Hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam beserta para sahabat dan kaum muslimin
karena situasi di Makkah ketika itu sudah tidak kondusf dan sudah sangat membahayakan
keselamatan kaum muslimin, serta sudah tidak memungkinkan lagi beliau berdakwah
kepada orang-orang kafir Quraisy. Dan
tahun itu oleh para ahli sejarah disebut sebagai Tahun Hazm (Tahun Kesedihan). Karena tahun itu pula isteri Rasulullah saw
(Khadijah r.a.) wafat. Padahal selama ini beliaulah dengan hartanya membiayai
dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Paman beliau (Abu Thalib) yang selama ini melindungi keselamatan beliau,
juga wafat. Meskipun pamannya itu tidak masuk Islam.
Setelah kedua orang tersebut wafat, maka secara fisik tidak ada
lagi yang mendukung dakwah beliau. Kemudian Rasulullah saw hijrah ke Thaif. Daerah pegunungan yang sejuk dan subur. Ketika di
Thaif, semua orang yang di datangi dan diajak untuk masuk Islam menolak dan bahkan
memusuhi Rasulullah saw. Setelah berhari-hari di Tahif beliau memutuskan untuk
pulang ke Makkah karena di Thaif tidak ada lagi yang mau menerima dakwab beliau
masuk Islam. Lagi pula tidak ada lagi sahabat atau orang yang melindungi.
Dalam perjalanan pulang itu di tengah
jalan beliau dikejar-kejar dan dilempari batu oleh anak-anak muda yang memang
disuruh oleh orang-orang tua penduduk Tahif. Setelah tidak ada lagi yang
mengejar dan melempari batu, akhirnya
beliau istirahat duduk di bawah pohon
rindang, masih dengan badan yang berdarah-darah akibat luka dilempari dengan
batu. Kebetulan ketika itu ada seseorang
yang bekerja di kebun dekat beliau istirahat memberikan sekantung kurma untuk
bisa dimakan. Setelah menerima kurma itu
beliau mengambil sebutir kurma untuk di makan dengan mengucapakan “Bismillahirrahmanirrahim”. Rupanya ucapan itu terdengar oleh orang
pemberi kurma itu dan baginya ucapan itu belum pernah didengarnya selama ini.
Maka ditanyakanlah apa maksud ucapan
itu. Terjadilah dialog antara orang
tersebut dengan Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi wasallam dan akhirnya orang tersebut masuk Islam dengan mengucapkan
Dua Kalimah Syahadat. Itulah satu-satunya orang yang mau masuk
Islam ketika beliau Hijrah ke Thaif dan hanyalah seorang tukang berkebun.
Setelah kembali lagi ke Makkah beliau
mengadukan semua persoalan yang beliau hadapi kepada Allah subhanahua wata’ala.
Do’a
beliau
: “Ya Allah, hanya kepada Engkau aku mengadukan kelemahanku, kurangnya
kemampuanku, dan kerendahan diriku di hadapan manusia, wahai Dzat yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah
Pelindung bagi orang-orang yang lemah. Dan Engkau jua-lah pelindungku. Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan
kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang
akan mengusai diriku, jika Engkau tidak murka kepadaku. Semua itu tidak akan aku hiraukan”.
Maksudnya, ancaman, intimidasi dan gangguan yang
dilakukan oleh orang-orang Quraisy terhadap diri beliau dan para sahabat beliau
baik secara fisik ataupun mental, semua itu tidak beliau hiraukan asalkan Allah
subhanahu wata’ala tidak murka kepada beliau.
Maknanya beliau tidak takut lalu minta
maaf kepada orang-orang Quraisy, tetapi beliau benar-benar menyerahkan
sepenuhnya kepada Allah subhanahu
wata’ala.
Itulah salah satu pelajaran bagi kita,
ketika kita bermunajat kepada Allah subhanahu
wata’ala. Maknanya bahwa Hablumminallah
(Hubungan dengan Allah) tidak boleh berhenti, atau putus dalam kondisi
apapun. Berserah-diri kepada Allah subhanahu wata’ala adalah penting bagi
kita umat Islam, setelah kita berusaha dan berjuang semaksimal mungkin.
Para sahabat sudah berjuang sehingga
mereka hijrah ke Habasyah. Nabi Muhammad
saw juga hijrah ke Thaif untuk berusaha mendakwahkan nilai-nilai Islam. Dan
manusia Makkah dan Thaif tidak ada yang peduli dengan semua itu, tetapi
Rasulullah saw memberikan gambaran secara langsung bagaimana hubungan beliau
dengan Allah subhanahu wata’ala. Mengeluh
dan mengadu kepada Allah bukan kepada yang lain.
Berkaitan dengan apa yang telah
diusahakan dan dirasakan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya, ternyata
Allah subhanahu wata’ala
mempersiapkan beliau dan para sahabatnya untuk menjalankan tugas yang lebih
besar. Allah memberikan ketangguhan, kekuatan spiritual Nabi dan para sahabat
dengan pendidikan langsung di lapangan (Tarbiyah Maidaniayah), beliau dan para
sahabat melihat dan merasakan secara langsung bagaimana cobaan, ujian, benturan
yang dihadapkan oleh Allah subhanahu
wata’ala kepada Nabi dan para sahabat dalam rangka mengukur dan menguji
keimanan mereka.
Apakah ancaman, tantangan dan gangguan
kaum Quraisy itu menjadikan semangat mereka surut atau melorot, atau kembali
menjadi kafir, ternyata tidak.
Semua itu tidak menyurutkan atau
melemahkan semangat Iman serta
prinsip-prinsip yang telah ditanamkan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat. Benar-benar Iman kepada
Allah dan Rasul-Nya sudah menjadi kebulatan tekad para sahabat dan kaum
muslimin pada waktu itu.
Secara pribadi ditarbiyahkan (diajarkan)
kepada Rasulullah saw langsung oleh Allah subhanahu
wata’ala. Diperlihatkan (saat Isra’
Mi’raj) gambaran masa depan, bagaimana keadaan nantinya orang-orang yang
berlaku baik, dan orang-orang yang
berperilaku dzolim.
Dan ketika Isra’ Mi’raj itulah diperintahkan langsung sholat lima waktu (Sholat Fardhu) kepada kita umat Islam. Maknanya,
agar manusia selalu mengadukan persoalan hidupnya langsung kepada Allah subhanahu wata’ala. Minimal dalam
waktu-waktu tertentu yaitu ketika sholat lima waktu itu dalam sehari-semalam.
Persoalan yang kita hadapi dan kita
geluti setiap hari adalah persoalan hidup.
Dan itu tidak seberapa bila dibandingkan persoalan yang dihadapi oleh
Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Bagi kita persoalan yang kita hadapi
dalam keseharian mungkin hanya kepetingan pribadi dan keluarga tetapi Nabi dan
para sahabat adalah persoalan bagaimana melihat ke depan nasib generasi yang
akan datang apabila kondisi dan situasi ke-Imanan umat ketika itu lemah. Pasti
generasi yang akan datangpun akan lemah.
Persoalan Iman dan Aqidah
itulah yang dikuatkan oleh Allah melalui pendidikan langsung di lapangan (Tarbiyah
Maidaniyah).
Ternyata setelah Rasulullah saw
mengadukan persoalan yang dihadapinya, kemudian Allah subhanahu wata’ala yang mengambil-alih semuanya. Dalam kondisi
dimana sudah tidak bisa berusaha, semua serba lemah, maka Allah yang mengambil
alih semua urusannya. Maka Rasulullah saw di-Mi’rajkan
ke langit adalah dalam rangka menguatkan kepribadian Rasulullah saw bahwa
sesudah itu Islamlah yang akan unggul dan orang-orang yang dzolim akan kalah.
Diperlihatkanlah gambaran masa depan oleh Allah subhanahu wata’ala ketika beliau Mi’raj ke langit.
Maka dalam kaitan hubungan umat dengan
Allah secara langsung, Allah subhanahu
wata’ala memberikan kepada kita manusia batasan waktu, minimal bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala adalah dengan sholat
lima waktu (Sholat Fardhu). Maksimalnya adalah dengan sholat-sholat Sunnah
(Sholat Dhuha, Rawatib, sholat Tahajud, dst). Yaitu untuk mengadukan persoalan
hidup kita kepada Allah subhanahu
wata’ala.
Seperti kita ketahui sholat adalah do’a.
Yaitu memohon pertolongan dan bantuan kepada Allah subhanahu wata’ala. Ketika
duduk antara dua sujud kita berdo’a
mohon diampuni, mohon di kasihani, mohon diangkat derajatnya, mohon
rezki, mohon sehat, dst. Semua itu kita mengadu kepada Allah subhanahu wata’ala, tidak kepada yang
lain. Dan semua itu pasti akan diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala. Tetapi
kadang kita manusia yang kurang memahami makna demi makna apa yang kita ucapkan
ketika sholat, menghadap Allah subhanahu
wata’ala.
Maka dalam sholat kita mengucapkan : Inna
sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil ‘alamin ( Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup
dan matiku hanya untuk Allah Tuhan seluruh alam).
Bahwa sesungguhnya hidup ini adalah
pengabdian. Maka kalau kita kembali melihat kepada perjuangan Nabi Muhammad saw
dan para sahabatnya adalah pengabdian kepada Allah subhanahu wata’ala. Unsur
pengabdian ini harus tumbuh dalam setiap diri kita, sehingga tidak ada
ketergantungan kepada manusia. Dan rezki yang diberikan oleh Allah kepada kita
melalui pintu-pintu. Berbagai pintu yang
tidak kita duga dan ketahui. Karena
banyak pintu.
Bagi orang yang mencurahkan semua
kehidupannya semata-mata hanya untuk Allah subhanahu
wata’ala, maka Allah akan membuka
semua pintu, tidak terbatas. Pintu yang mana, hanya Allah yang tahu.
Semua yang direncanakan dan dikehendaki
oleh Allah subhanahu wata’ala bila
menurut Allah jadi, maka jadilah (Kun faya kun). Bila memang menurut Allah subhanahu wata’ala sesuatu itu mungkin, pasti jadi. Sudah banyak bukti
seseorang yang tidak mungkin bisa pergi Haji karena miskin, tetapi bila Allah subhanahu wata’ala menghendaki, maka
bisa saja ia pergi Haji (menunaikan ibadah Haji).
Kembali kepada Rasulullah saw ketika
beliau sudah ditarbiyah secara matang yaitu Isra’ dan Mi’raj, ternyata selanjutnya Allah subhanahu wata’ala memberikan tugas yang lebih besar lagi, yaitu Hijrah ke Madinah. Karena situasi Makkah ketika itu sudah tidak
memungkin lagi untuk dilakukan dakwah Islam.
Maka Hijrahlah beliau ke Madinah, sebelumnya dipersilakan
(diperintahkan) para sahabat dan kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah terlebih
dahulu. Hijrahnya tidak serentak
bersama-sama tetapi secara diam-diam, seorang demi seorang, sekeluarga demi
sekeluarga, serombongan demi serombongan.
Sebelum beliau berangkat Hijrah, terlebih
dahulu para sahabat, Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Ali bin Abi Thalib dll. berangkat terlebih
dahulu. semua itu orang kaya dan punya harta di Makkah. Dan semua harta benda,
rumah, tanah, kebun, toko, dll. ditinggalkan di Makkah, karena tidak mungkin
untuk membawanya ke Madinah ketika itu. Semua diikhlaskan, semua milik Allah,
semua Allah yang akan mengaturnya nanti. Itulah prinsip keimanan yang luar
biasa. Mereka tidak memikirkan bagaimana nantinya harta yang ditinggalkan di Makkah
akan diambil atau dijarah oleh orang-orang kafir Quraisy.
Dikisahkan ketika itu sahabat Umar bin Khathab rodhiyallahu ‘anhu yang
terkenal sifatnya yang keras, kalau
sahabat-sahabat dan kaum muslimin lainnya Hijrah ke Madinah dengan
sembunyi-sembunyi, tetapi Umar bin Khathab r.a. ber-hijrah
terang-terangan. Dan ia datang di
tengah-tengah banyak orang Quraisy, berkata : “Wahai orang-orang Quraisy,
siapa di antara kalian yang ingin berpisah dengan keluarganya, seorang
bapak atau seorang ibu yang ingin
berpisah dengan anak-anaknya, atau siapa
orang laki-laki yang ingin isterinya menjadi janda, dst, dst, , tunggulah aku
di ujung jalan ini, aku akan hijrah sekarang juga”.
Orang orang Quraisy yang mendengar
tantangan itu hanya terdiam, dan Umar bin Khathab dengan ke-Imanannya dan
ketangguhannya sudah pasrah kepada Allah subhanahu
wata’ala, karena kondisi dan situasi sudah tidak memungkin lagi, dan
pertolongan yang bisa diharapkan hanya satu yaitu dari Allah subhanahu wata’ala. serta ketaatannya kepada Allah dan
Rasul-Nya. yaitu mengikuti perintah untuk Hijrah, maka hijrah-lah ia ke
Madinah.
Setelah kaum muslimin tiba semua di
Madinah maka oleh Rasulullah saw dilakukan persaudaraan antara Muhajirin (orang yang berhijrah) dengan
Anshor (penduduk asli Madinah). Ketika di Madinah yang dijadikan markas
adalah Masjid. Ternyata umat Islam adalah Umatan
Wahidah (Umat yang satu). Dipersatukan oleh Allah subhanahu wata’ala atas dasar Aqidah (keimanan), prisnsip-prinsip
ke-Islaman. Bahwa setiap orang Islam adalah saudara. Bukan atas dasar hubungan darah, golongan,
partai atau organisasi. Persaudaraan muslim ibarat satu tubuh. Bila ada bagian anggota tubuh yang sakit,
maka semua ikut merasakan sakitnya. Ibarat satu bangunan antara bagian satu
menguatkan bagian yang lain.
Bersatunya umat Islam tidak bisa
dikalahkan oleh siapapun. Dan itu sudah
dibuktikan. Itulah spirit Hijtrah,Yang saat ini spirit bersatunya umat Islam tersebut sudah hampir hilang di
kalangan kaum muslimin.
Yang ada sekarang adalah Egoisme
organisasinya, partainya atau faham-fahamnya. Sibuk dengan saling menyalahkan,
antara yang Qunut dan yang tidak Qunut dst, karena diracuni atau diprovokasi
oleh pihak-pihak orang yang tidak suka dengan umat Islam. Karena bila Umat
Islam bersatu, itulah yang ditakuti oleh orang-orang non Islam. Karena bila
semua kekuatan umat Islam dikerahkan, baik harta ataupun jiwanya, akan
merupakan kekuatan yang luar biasa.
Dana
umat ini
bila dihimpun dengan benar, sampai-sampai Dompet Dhuafa saja hampir-hampir
kewalahan menampung dana umat Islam. Menyalurkannya-pun bingung. Karena banyak
orang yang tidak bisa dipercaya. Itu baru bidang dana (uang) bagaimana pula
bila dibentuk Baitul Mal yang
betul-betul amanah, tentu akan luar biasa kekuatannya. Umat Islam Indonesia
adalah mayoritas. Kalau setiap muslim
mengeluarkan (sodakoh) Rp 10 ribu perbulan, Maka akan terkumpul dana yang besar
sekali, cukup untuk membiayai anak-anak sekolah seluruh Indonesia. Sehingga tidak ada lagi kemiskinan, tidak ada
lagi anak Indonesia yang tidak bisa sekolah karena tidak punya biaya. Tidak ada
lagi orang sakit yang tidak bisa berobat. Karena kekuatan muslim yang bersatu
akan menjadi kekuatan yang luar biasa. Itulah yang sebenarnya dibutuhkan oleh
umat saat ini.
Seperti yang diperlihatkan umat Islam
yaitu kaum Anshor dan Muhajirin baru saja datang di Madinah. Orang Anshor Madinah berkata : “Wahai orang
Muhajirin, jangan khawatir anda di sini tidak makan. Jangan khawatir anda tidak
ada tempat tinggal. Jangan khawatir anda tidak punya ladang, tidak punya toko.
Siapa yang ahli berdagang, kami punya dua toko, ambillah yang satu untuk anda,
berdaganglah. Siapa yang ahli berladang,
kami masih punya ladang silakan separuhnya untuk anda tanami untuk makan anda.
Demikian seterusnya kaum Anshor siap membantu orang-orang Muhajirin dengan
ikhlas. Demikianlah yang terjadi karena
kaum Muhajirin sudah dipersatukan(dipersaudarakan) dengan kaum Anshor.
Sementara itu kita umat Islam di
Indonesia terpecah-pecah, masing-masing membanggakan kelompoknya, tidak
bersatu, individualism. Yang demikian
itu menjadi kelemahan umat. Bukan kekuatan umat. Yang kita inginkan adalah dengan Spirit
Hijrah ini kita bagaimana kekuatan umat ini bisa terbangun.
Yang
oleh para pemimpin kita tidak pernah dibangkitkan, kekuatan Islam tidak dibangun. Sehingga kita sering saksikan di TV-TV
disiarkan adanya orang-orang fakir miskin yang tidak bisa berobat karena tidak
punya biaya, ada yang tidak sekolah, terjadi gizi buruk di daerah-daerah. Padahal kekuatan umat Islam Indonesia ini
luar-biasa kalau dihimpun.
Di negeri kita belum ada wadah yang bisa
menyatukan umat, dengan misi dan visi
yang jelas serta pendidikan yang jelas terhadap umat, didasarkan pengabdian
kepada Allah sebagai pengabdian yang utama. Disamping kita melaksanakan juga
tugas-tugas sebagai Hablumminannasnya ,
sesuai dengan lapangan pengabdiannya dan dasarkan jiwa yang amanah.
Dengan demikian umat Islam Indonesia
menjadi kuat, sehingga kita mampu melawan musuh-musuh Islam yang hendak merusak
dan memecah-belah serta menguasai kita umat Islam.
Karena sudah dibuktikan dalam sejarah
kita mampu melawan penjajah Belanda dan Jepang serta mengusir mereka dari negeri
tercinta ini, karena umat Islam ketika itu bersatu-padu melawan penjajah.
Maka memahami Hijrah untuk saat ini
adalah Hijrah dari sisi Maknawiyah.
Yaitu Hijrah dari perilaku tidak baik menjadi perilaku yang baik. Dari
pemikiran buruk kepada pemikiran yang baik. Itulah yang harus dibangun sesuai
dengan Spirit Hijrah. Dan kepribadian kita sudah terbangun dengan misi dan visi
Islam itu sendiri. Yaitu bagaimana Rukun
Iman sudah menanncap dalam jiwa kita, bagaiamana Rukun Islam sudah kita laksanakan dalam keseharian
kita, bagaimana Ihsan (Akhlak) kita yang masih belum seperti yang
diharapkan.
Karena inti ajaran Islam ada tiga : Aqidah – Syari’ah – Ihsan
(Akhlak).
Aqidah
(Iman
kepada Allah tidak musyrik). Syari’ah (Melaksanakan syari’ah :
Sholat, shiam, zakat, dst). Ihsan
(Akhlak, seorang muslim harus mencerminkan akhlak mulia). Akhlak yang dicontoh
adalah akhlak Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam. Dan menjadikan AlQur’an sebagai pedoman hidup dijalankan
dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan aturan (yang dikehendaki) Allah subhanahu wata’ala.
Maka dengan ini disarankan pula kepada
anda, kecuali AlQur’an dan Hadits, maka dalam setiap rumah tangga (keluarga)
kita perlu memiliki Kitab Sirrah
Nabawiyah (sejarah Nabi Muhammad saw dan perjuangannya), insya Allah kita
semua akan bisa memahami dan memaknai perjuangan Rasulullah saw dan para
sahabatnya, dan akan bisa lebih menguatkan ke-Islaman kita. Kitab
Sirrah Nabawiyah sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
harganyapun tidak mahal, bisa terjangkau oleh kita semua.
Terakhir, dalam menyambut tahun baru
Hijriyah, maka dengan spirit Hijrah, marilah kita merenung dan meng-evaluasi
diri kita masing-masing, dalam usia yang sudah sekian lama ini apa yang kita
lakukan tahun-tahun lalu yang tidak baik (kurang baik) maka kita perbaiki di
masa-masa yang akan datang sebagai pertanda Hijrah hati kita. Terutama bila
kita menghadapi persoalan-persoalan hidup yang berkembang di masyarakat,
misalnya perkara-perkara yang mubadzir,
tidak bermanfaat, sudah harus dihindari dan dihilangkan.
Terutama kepada anak-anak kita, anggota
keluarga kita, serta tetangga kita ingatkan agar tidak berlaku Mubadzir, melakukan sesuatu yang tidak
ada gunanya, sia-sia dan menghambur-hamburkan uang yang tidak ada gunanya.
Lebih baik uang itu digunakan untuk membantu fakir-miskin dan seterusnya. Justru
itu lebih bermanfaat. Sesuai dengan Akhlak
seorang muslim.
Sekian bahasan, mudah-mudahan
bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN
LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIORUKA WA ATUBU ILAIK.
Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
No comments:
Post a Comment