Translate

Thursday, June 19, 2014

Kaidah-Kaidah Memahami Islam, oleh : Ustad Salim Qibas



PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM

Kaidah-Kaidah Memahami Islam

Ustad Salim Qibas

 Jum’at,  1 Sya’ban 1435H – 30 Mei 2014.

 Assalamu’alaikum wr. wb.,
 
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Kaidah-Kaidah memahami Islam secara mudah ada lima dasar, yaitu:
Kaidah pertama, bahwa Islam adalah Agama Wahyu.  Kaidah ini adalah kaidah (frame, bingkai) yang tidak boleh keluar dari kaidah tersebut.  Lihat dalam masyarakat, kita ber-Agama satu (Islam) AlQur’annya satu, Sunnahnya (Haditsnya) satu, tetapi pemahamannya. cara beribadahnya berberbeda-beda.  Padahal Allah subhanahu wata’ala berkali-kali melarang kita jangan ber-ikhtilaf (berselisih), jangan berbeda-beda, cerai-berai atau terpecah-belah.

Kelima kaidah tersebut di atas adalah Kaidah Dasar. Maka para ulama terdahulu, yaitu Ulama Ahlussunnah berbeda dengan para ulama pengikut hawa nafsu.  
Ulama Ahlussunnah membuat Kaidah dari dalil.  Ketika ada dalil barulah membuat kaidah. Sementara para ulama pengikut hawa nafsu membuat kaidah, barulah sesudah itu lalu mencari dalilnya.

Lima Kaidah yang dimaksud adalah :
1.     Islam adalah agama Wahyu, bukan akal. Ini mutlak, tidak boleh dilanggar.
2.     Hukum asal dari Syariat adalah tidak ada sampai di syaria’t-kan, barulah boleh dijalani. Maka kalau sudah disyariatkan tidak boleh lalu mengada-ada,  karena syari’at adalah Wahyu.
3.     Apabila Syariat telah disyari’at-kan (dari Allah telah disyaria’tkan), maka mengikat kepada seluruh manusia, bukan hanya yang beriman saja.  Karena Allah subhanahu wata’ala membuat Syaria’t untuk seluruh manusia, bukan hanya untuk orang Islam saja. Orang bukan Islam akan masuk neraka kalau tidak mau masuk Islam. Berarti Islam itu mengikat, memaksa.   Karena hukum asalnya adalah : Agama untuk mengatur manusia. Maka Syari’at yang di-syari’atkan adalah bersifat mengikat (manusia sejak dari Nabi Adam sampai Hari Kiamat). Yang mengikutinya mendapat reward (pahala) dan yang mengingkarinya mendapat punishment (dosa, sanksi).
4.     Sami’na wa atho’na (Kami mendengar dan kami taat).  Cara mengikuti Islam adalah dengan cara sami’na wa atho’na (mendengar dan taat). Mendengar dalam arti sampai faham dan kalau sudah faham tidak boleh ngeyel (bertanya-tanya untuk mendebat kenapa begitu, kenapa begini, dst).
5.     Cara mentaati syari’at agama dengan Ittiba’ bukan Ibtida’. Artinya dengan mencontoh apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, bukan dengan cara mengada-ada dalam agama.  Terjadinya perpecahan dalam umat Islam adalah karena ada gagasan dan ide baru yang masuk dalam Islam yang datang dari akal manusia.

Sebenarnya untuk menjelaskan kaidah-kaidah tersebut diperlukan sekitar 300 ayat AlQur’an..  Tetapi untuk kali ini kita persingkat saja, secara sederhana dan akan kita bahas satu Kaidah saja, yaitu Islam adalah agama Wahyu.

Agama (Islam) adalah wahyu bukan akal manusia. Peran akal adalah mengikuti wahyu. Wahyu diturunkan untuk membimbing akal. Maka fungsi akal adalah memahami wahyu lalu mengikutinya. Bukan meng-akali-nya.

Maka kalau umpama ada ayat AlQur’an yang tidak dipahami akal, atau dianggap tidak masuk akal, bukan ayat (wahyu) itu yang salah, melainkan akal manusia yang bermasalah.

Penjelasannya adalah :
1.     Dengan Ke-Maha-Bijaksanaan Allah maka dalam urusan agama,  Allah tidak memberikan hak kepada kita manusia. Bayangkan, kalau agama diserahkan kepada amanusia, maka anda akan repot sekali. Satu sama lain akan berbeda dan bertabrakan, maka Allah tidak memberikan kewenangan urusan agama kepada akal.
2.     Sebaliknya, seandainya semua urusan termasuk urusan dunia itu diatur oleh wahyu tentu kita manusia akan repot sekali.  Misalnya anda hendak pulang kampung saja, harus bertanya apa kendaraannya dan bagaimana dalilnya. Maka ada dua wilayah dimana ada wilayah yang tidak boleh dimasuki akal yaitu agama di mana agama hanya mengikuti wahyu.  Sementara wilayah (urusan) dunia Allah serahkan kepada akal manusia.  Rasulullah  sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah Hadits shahih : “Urusan dunia kalian lebih tahu daripada aku”.
3.     Kalau perkara dunia harus tergantung wahyu, tentu akan sangat membeleng-gu akal.  Kita manusia menjadi tidak kreatif, tidak inovatif dan tidak berkembang akalnya.  Kalau semua sudah diprogram maka kita manusia hanya seperti robot.

Kenapa agama harus wahyu, bukan akal ?  Ada 12 alasan, tetapi disini disampai-kan cukup 3 alasan saja :

1.Agama berkaitan dengan perkara Ghaib.
Bila anda bertanya kepada seorang dokter, apakah itu mati ?  Maka ia akan menjawab : Mati adalah tidak berfungsinya batang otak belakang. Tanyakan lagi : Sesudah tidak berfungsinya otak belakang, kemana orang itu ?  Maka dokter itu tidak akan bisa menjawab.   Agama banyak berdimensi Akhirat,  dan Akhirat adalah perkara Ghaib. Dan manusia  tidak tahu akan perkara Ghaib itu. Maka perkara Ghaib harus melalui wahyu, tidak boleh dengan akal.   

Lihat Surat Al An’am  ayat 59  Allah subhanahu wata’ala berfirman :

وۡرَةُ الاٴنعَام

۞ وَعِندَهُ ۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَ‌ۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِى ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ‌ۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ۬ فِى ظُلُمَـٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٍ۬ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَـٰبٍ۬ مُّبِينٍ۬ (٥٩)

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"

Pahala, dosa, surga, neraka semuanya itu adalah Ghaib karena kita manusia tidak tahu.  Kita tidak tahu amal-amal apa saja yang bisa memasukkan kita ke neraka atau ke surga,  awalnya kita tidak tahu. Karena itu adalah perkara Ghaib, sebagaimana disebutkan dalam Ayat tersebut di atas.

Demikian pula dalam Surat An Naml ayat 65 Allah subhanahu wata’ala mengulang lagi :
سُوۡرَةُ الاٴنعَام

قُلۡ هُوَ ٱلۡقَادِرُ عَلَىٰٓ أَن يَبۡعَثَ عَلَيۡكُمۡ عَذَابً۬ا مِّن فَوۡقِكُمۡ أَوۡ مِن تَحۡتِ أَرۡجُلِكُمۡ أَوۡ يَلۡبِسَكُمۡ شِيَعً۬ا وَيُذِيقَ بَعۡضَكُم بَأۡسَ بَعۡضٍ‌ۗ ٱنظُرۡ كَيۡفَ نُصَرِّفُ ٱلۡأَيَـٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَفۡقَهُونَ (٦٥)

 
Katakanlah(Muhamma): "tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.

Lihat juga Surat Al Jin ayat 26 – 27 :

سُوۡرَةُ الجنّ

عَـٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ فَلَا يُظۡهِرُ عَلَىٰ غَيۡبِهِۦۤ أَحَدًا (٢٦) إِلَّا مَنِ ٱرۡتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ۬ فَإِنَّهُ ۥ يَسۡلُكُ مِنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ رَصَدً۬ا (٢٧)


26. (Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu.

27. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.

Maka kita manusia tidak ada yang tahu tentang perkara Ghaib sama sekali. Manusia yang diberi tahu perkara Ghaib hanya Rasul-Nya saja (yaitu Malaikat dan para Nabi).  Lihat Surat Fathir ayat 1 :



سُوۡرَةُ فَاطِر
بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ فَاطِرِ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ جَاعِلِ ٱلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةِ رُسُلاً أُوْلِىٓ أَجۡنِحَةٍ۬ مَّثۡنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَۚ يَزِيدُ فِى ٱلۡخَلۡقِ مَا يَشَآءُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ۬ (١)


Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Maka pada awalnya para malaikat tidak tahu misalnya kapan hujan turun sampai Allah memberitahu. Karena pada awalnya catatan ada di Lauhil Mahfudz.

Itulah sebabnya agama tidak diserahkan kepada akal manusia, karena akal tidak tahu tentang perkara Ghaib,  sementara agama berkaitan dengan perkara-perkara Ghaib.

2.Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling cerdas di seluruh muka bumi sejak Nabi Adam sampai Hari Kiamat. Namun demikian beliau juga tidak tahu tentang agama Islam ini, sampai Wahyu disampaikan kepada beliau.  Nabi Muhammad saw tahu agama adalah dari Wahyu, bukan dari akal beliau. Artinya beliau tahu setelah wahyu disampaikan kepada beliau, sebelumnya tidak tahu.  Apalagi kita manusia biasa.

Lihat Surat Asy Syuura ayat 52  Allah subhanahu wata’ala berfirman :
وۡرَةُ الشُّعَرَاء

۞ وَأَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنۡ أَسۡرِ بِعِبَادِىٓ إِنَّكُم مُّتَّبَعُونَ (٥٢)


Dan demikianlah Kami (Allah) wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

Sumber agama adalah Kitab (AlQur’an).  Azas agama adalah Iman. Yang membedakan antara orang Islam dengan orang kafir adalah Iman-nya. Maka agama diketahui sumbernya dari Kitab (AlQur’an). Dan agama itu tegak dengan lebih dahulu azas-nya (Iman). Nabi Muhammad saw saja belum tahu sebelumnya, sampai Allah memberitahu dengan Wahyu.

Akhir ayat tersebut mengatakan : Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Maksudnya, Nabi Muhammad saw memberitahukan apa yang beliau terima (wahyu) dari Tuhannya, lalu memberi petunjuk kepada kita jalan yang lurus. 

3.Akal tidak mengerti akan hakikat keburukan dan kebaikan.
Misalnya, ketika anda menentukan mana sekolah terbaik untuk anak anda saja,  anda berdebat dengan isteri anda sampai berhari-hari.  Apalagi perkara baik  untuk Akhirat, tentu anda lebih tidak tahu lagi.  Padahal banyak sekali dalil-nya.
Lihat Surat Al Baqarah ayat 216 :


سُوۡرَةُ البَقَرَة

كُتِبَ عَلَيۡڪُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٌ۬ لَّكُمۡ‌ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـًٔ۬ا وَهُوَ خَيۡرٌ۬ لَّڪُمۡ‌ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡـًٔ۬ا وَهُوَ شَرٌّ۬ لَّكُمۡ‌ۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ (٢١٦)


Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Maksudnya, bahwa akal manusia banyak tidak tahu tentang kebaikan.  Yang tahu hanya Allah subhanahu wata’ala. Maka pada akhir ayat tersebut disebutkan :
Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui – Maksudnya, bahwa yang tahu tentang kebaikan dan keburukan hanyalah Allah, anda tidak tahu.

Kita manusia hanya ber-ilmu sedikit (secuil) saja.  Lihat Surat Al Isra’ ayat 85 : 

سُوۡرَةُ بنیٓ اسرآئیل / الإسرَاء

وَيَسۡـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِ‌ۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنۡ أَمۡرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلۡعِلۡمِ إِلَّا قَلِيلاً۬ (٨٥)



Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".

Maksudnya, bahwa manusia tidak diberi ilmu kecuali hanya sedikit tentang hakikat kehidupan, sehingga manusia membutuhkan panduan, di luar akal, yaitu dengan wahyu.  

Kebenaran adalah bias, lihat Surat Al Mu’minun ayat 71 :

سُوۡرَةُ المؤمنون

وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلۡحَقُّ أَهۡوَآءَهُمۡ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَـٰوَٲتُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهِنَّ‌ۚ بَلۡ أَتَيۡنَـٰهُم بِذِڪۡرِهِمۡ فَهُمۡ عَن ذِكۡرِهِم مُّعۡرِضُونَ (٧١)

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.

Maksudnya, kalau kebenaran itu mengikuti akal manusia, maka alam ini akan rusak.   Contohnya, untuk membentuk satu Undang-undang saja di Republik ini, masing-masing orang punya persepsi.  Sebanyak tidak kurang dari 500 Anggota DPR membuat satu undang-undang, setelah jadi terbentuk, akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Menunjukkan bahwa kebenaran (Agama) tidak bisa diserahkan kepada akal manusia.

Pertanyaannya, bagaimana fungsi akal ?
Pertama, agama diturunkan untuk membimbing akal.  Maka Allah menamakan agama adalah Hudan (Petunjuk, pembimbing akal manusia). Maka setiap Hudan (hidayah), selalu disandarkan kepada wahyu, bukan akal.

Lihat Surat Al Baqarah ayat 185 :

سُوۡرَةُ البَقَرَة

شَہۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدً۬ى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَـٰتٍ۬ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِ‌ۚ فَمَن شَہِدَ مِنكُمُ ٱلشَّہۡرَ فَلۡيَصُمۡهُ‌ۖ وَمَن ڪَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ۬ فَعِدَّةٌ۬ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَ‌ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِڪُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِڪُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُڪۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُڪَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَٮٰكُمۡ وَلَعَلَّڪُمۡ تَشۡكُرُونَ (١٨٥)


 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

Dan sesuatu yang paling tinggi dan paling urgent pada diri manusia adalah akal. Maka wahyu diturunkan untuk membimbing akal manusia.  Maka AlQur’an adalah pembimbing.

Banyak lagi dalil semacam itu, misalnya Surat 10 ayat 57 :

سُوۡرَةُ یُونس

هُوَ يُحۡىِۦ وَيُمِيتُ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ (٥٦) يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَتۡكُم مَّوۡعِظَةٌ۬ مِّن رَّبِّڪُمۡ وَشِفَآءٌ۬ لِّمَا فِى ٱلصُّدُورِ وَهُدً۬ى وَرَحۡمَةٌ۬ لِّلۡمُؤۡمِنِينَ (٥٧)


Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Maksudnya, bahwa AlQur’an (wahyu) diturunkan untuk membimbing (memberi petunjuk) kepada akal dan  rahmat kepada orang yang beriman. Jadi akal di bawah wahyu, bukan sebaliknya. Akal harus mengikuti apa kata wahyu.

Kedua, tidak mungkin wahyu bertentangan dengan akal.  Contoh, tidak mungkin seorang guru menerangkan sesuatu pelajaran yang tidak dipahami oleh muridnya.  Kalau seorang guru saja ingin sekali memudahkan memahami apa yang diajarkan,  maka mustahil Allah subhanahu wata’ala mengajarkan agama yang sulit dipahami oleh umat-Nya.

Lihat Surat Ar Rahman ayat 1 – 3 :

   سُوۡرَةُ الرَّحمٰن
بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

ٱلرَّحۡمَـٰنُ (١) عَلَّمَ ٱلۡقُرۡءَانَ (٢) خَلَقَ ٱلۡإِنسَـٰنَ (٣)

1. (Tuhan) yang Maha pemurah,
2. Yang telah mengajarkan Al Quran.
3. Dia menciptakan manusia.

Maksudnya, Allah yang Maha Pemurah mengajarkan AlQur’an dengan mudah dipahami oleh umat-Nya.  Allah Maha Penyantun, Menciptakan manusia dan Mengajarkan AlQur’an. Pasti mudah diterima oleh akal manusia. Mustahil Allah mempersulit umat-Nya memahami AlQur’an. Kalau ada akal tidak bisa memahami AlQur’an, akal manusia itu yang bermasalah.

Lihat Surat Al Qomar  ayat  17, diulang lagi pada ayat 22, 32, 40 Allah subhanahu wata’ala berfirman :
سُوۡرَةُ القَمَر

وَلَقَدۡ يَسَّرۡنَا ٱلۡقُرۡءَانَ لِلذِّكۡرِ فَهَلۡ مِن مُّدَّكِرٍ۬ (١٧)

Dan sesungguhnya telah Kami(Allah) mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?

Maksudnya, bahwa Allah subhanahu wata’ala memudahkan Al Qur’an, jadi mustahil kalau AlQur’an bertentangan dengan akal. Mustahil kalau AlQur’an tidak dipahami oleh akal manusia. Mustahil kalau AlQur’an bertentangan dengan akal manusia. 

AlQur’an itu mudah sekali dipelajari, dipahami dan dihafal.  Dan Allah tahu sampai dimana kemampuan nalar manusia. Maka mustahil AlQur’an bertentangan dengan akal.

Kemudian ada orang yang mengatakan bahwa AlQur’an tidak relevans dengan zaman.   Padahal orang tersebut pasti sudah membaca Ayat Kursi :

سُوۡرَةُ البَقَرَة

ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلۡحَىُّ ٱلۡقَيُّومُ‌ۚ لَا تَأۡخُذُهُ ۥ سِنَةٌ۬ وَلَا نَوۡمٌ۬‌ۚ لَّهُ ۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَمَا فِى ٱلۡأَرۡضِ‌ۗ مَن ذَا ٱلَّذِى يَشۡفَعُ عِندَهُ ۥۤ إِلَّا بِإِذۡنِهِۦ‌ۚ يَعۡلَمُ مَا بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَمَا خَلۡفَهُمۡ‌ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَىۡءٍ۬ مِّنۡ عِلۡمِهِۦۤ إِلَّا بِمَا شَآءَ‌ۚ وَسِعَ كُرۡسِيُّهُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ‌ۖ وَلَا يَـُٔودُهُ ۥ حِفۡظُهُمَا‌ۚ وَهُوَ ٱلۡعَلِىُّ ٱلۡعَظِيمُ (٢٥٥)


Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi*] Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

*] Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin diartikan dengan ilmu Allah dan ada pula yang mengartikan dengan kekuasaan-Nya.

Maknanya, Ilmu Allah tidak terbatas, tidak terbatas untuk zaman tertentu saja, melainkan segala zaman. Jadi tidak mungkin AlQur’an tidak relevans pada zaman sekarang atau zaman kapanpun.

Dan Allah subhanahu wata’ala tidak akan menyulitkan umat-Nya. 
Lihat Surat Thaha ayat 2, 3, 4 dan 5 :

سُوۡرَةُ طٰه

مَآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ لِتَشۡقَىٰٓ (٢) إِلَّا تَذۡڪِرَةً۬ لِّمَن يَخۡشَىٰ (٣) تَنزِيلاً۬ مِّمَّنۡ خَلَقَ ٱلۡأَرۡضَ وَٱلسَّمَـٰوَٲتِ ٱلۡعُلَى (٤) ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ (٥)

1. Thaahaa
2. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah;
3. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah),
4. Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.
5. (Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.

Maknanya, tidak mungkin Allah subhanahu wata’ala akan membuat kesulitan kepada umat-Nya..


Pelajarannya :

1.Yang punya otoritas membuat Syari’at dan mengatur adalah Allah subhanahu wata’ala.  Akal hanya mengikuti panduan Wahyu. Karena akal tidak memahami hakikat kebaikan dan keburukan. 

Maka Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam AlQur’an Surat Al Kahfi 29 :
سُوۡرَةُ الکهف

وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡ‌ۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡ‌ۚ إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّـٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِہِمۡ سُرَادِقُهَا‌ۚ وَإِن يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٍ۬ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِى ٱلۡوُجُوهَ‌ۚ بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا (٢٩)

Dan katakanlah(Muhammad) : "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

Maka tugas kita sebagai orang beriman adalah memahami Wahyu itu dengan Kaidah pemahaman yang benar.

Setiap manusia tidak terbebas dari hawa-nafsu. Dan sifat dari nafsu adalah menyuruh kepada ke-durhakaan.  Lihat Surat Yusuf ayat 53 :
سُوۡرَةُ یُوسُف

۞ وَمَآ أُبَرِّئُ نَفۡسِىٓ‌ۚ إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ‌ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ۬ (٥٣)

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.

Bahwa agama bukan akal. Dalam Ilmu Fiqih disebutkan ketika orang hendak wudhu tanpa melepas sepatu lars-nya, maka yang diusap ketika mengusap sepatu hanya bagian atasnya saja, tidak mengusap bagian bawah sepatu.

Dasarnya adalah Hadits yang meriwayatkan ketika Ali bin Abi Thalib rodhiyallahu ‘anhu dan para sahabat bertanya kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam : “Ya Rasulullah, dimana kami harus menyapu (mengusap) sepatu kami ?”.  Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Di (bagian) atas sepatu kalian”.   Maka Ali bin Abi Thalib berkata : “Wahai manusia perhatikanlah, sekiranya agama adalah akal, maka tentu mengusap (membasuh) sepatu di sebelah bawahnya, yang selalu sering terkena kotoran”.

Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa agama bukan akal. Banyak perkara agama yang tidak bisa dicerna oleh akal.  Tetapi kita yakin, karena tidak mungkin agama bertentangan dengan akal. Maka Allah subhanahu wata’ala tidak menyerahkan agama kepada akal. Demikianlah Akidah yang pertama.

Sekian bahasan sementara untuk dilanjutkan pada kesempatan yang akan datang. Insya Allah.

SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
                                                           ______________

No comments:

Post a Comment