Translate

Monday, August 25, 2014

Wasiat Para Nabi ,oleh : Ustadz Ahmad Susilo, Lc



PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM

 Wasiat Para Nabi
 Ustadz Ahmad Susilo, Lc

 Jum’at,  19 Syawal 1435 H – 15 Agustus 2014


Assalamu’alaikum wr.wb.

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam AlQur’an Surat An Nahl ayat 92 :

سُوۡرَةُ النّحل

وَلَا تَكُونُواْ كَٱلَّتِى نَقَضَتۡ غَزۡلَهَا مِنۢ بَعۡدِ قُوَّةٍ أَنڪَـٰثً۬ا تَتَّخِذُونَ أَيۡمَـٰنَكُمۡ دَخَلاَۢ بَيۡنَكُمۡ أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِىَ أَرۡبَىٰ مِنۡ أُمَّةٍ‌ۚ إِنَّمَا يَبۡلُوڪُمُ ٱللَّهُ بِهِۦ‌ۚ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمۡ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ مَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ (٩٢)


Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.

Maksudnya, kita sebagai orang Islam oleh Allah subhanahu wata’ala telah diberikan hidayah (petunjuk), kita dijadikan orang yang mendapat hidayah maka marilah kita pertahankan hidayah itu, kita pelihara iman dan takwa kita.
Kita teruskan dengan amalan-amalan yang terbaik, jangan sampai Aqidah yang sudah tertanam dalam hati kita lalu kita cerai-beraikan, kita tinggalkan.  Semoga kita selalu istiqomah dalam beriman dan bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala.
Jangan sampai kita hanya bagus amalan kita ketika bulan Romadhon saja, tetapi setelahnya lalu kembali seperti sediakala, seperti di bulan-bulan yang lain. 

Wasiat Para Nabi.
Dalam AlQur’an Surat AlBaqarah ayat 180 Allah subhanahu wata’ala berfirman:

سُوۡرَةُ البَقَرَة

كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٲلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ‌ۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ (١٨٠)


Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Menurut ayat tersebut, maka hukum berwasiat adalah wajib.  Kalau kita mendengar kata “wasiat”  maka biasanya yang terlintas dalam benak kita adalah harta, kedudukan, usaha bisnis atau jabatan, dunia yang telah dimiliki tolong dipelihara, dst.

Sementara Nabi kita Muhammad Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berwasiat tentang harta.   Maka marilah kita lihat wasiat para Nabi terutama Bapak para Nabi yaitu Nabi Ibrahimalaihissalam (surat Al Baqarah ayat 131 – 134 :

سُوۡرَةُ البَقَرَة

إِذۡ قَالَ لَهُ ۥ رَبُّهُ ۥۤ أَسۡلِمۡ‌ۖ قَالَ أَسۡلَمۡتُ لِرَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ (١٣١) وَوَصَّىٰ بِہَآ إِبۡرَٲهِـۧمُ بَنِيهِ وَيَعۡقُوبُ يَـٰبَنِىَّ إِنَّ ٱللَّهَ ٱصۡطَفَىٰ لَكُمُ ٱلدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ (١٣٢) أَمۡ كُنتُمۡ شُہَدَآءَ إِذۡ حَضَرَ يَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِى قَالُواْ نَعۡبُدُ إِلَـٰهَكَ وَإِلَـٰهَ ءَابَآٮِٕكَ إِبۡرَٲهِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِيلَ وَإِسۡحَـٰقَ إِلَـٰهً۬ا وَٲحِدً۬ا وَنَحۡنُ لَهُ ۥ مُسۡلِمُونَ (١٣٣) تِلۡكَ أُمَّةٌ۬ قَدۡ خَلَتۡ‌ۖ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَلَكُم مَّا كَسَبۡتُمۡ‌ۖ وَلَا تُسۡـَٔلُونَ عَمَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ (١٣٤)


131. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam".

132. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".

133. Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".

134. Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan.

Ayat 131:  Yang dimaksud “tunduk dan patuh” (berserah diri kepada Allah subhanahu wata’ala) adalah  beragama Islam (menjadi muslim).  Maka sungguh aneh kalau ada orang mengaku beragama Islam tetapi tidak berserah-diri kepada Allah subhanahu wata’ala, tidak tunduk dan patuh kepada Allah subhanahu wata’ala.   Di sisi Allah orang demikian itu bukan muslim. Ia hanya mengaku sebagai muslim, tetapi sebenar tidak (bukan muslim).  Karena makna “Islam” adalah tunduk  dan patuh serta berserah diri kepada Allah subhanahu wata’ala. 

Maka ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan untuk Islam, beliau menjawab : Aku Islam kepada Rabb Tuhan semesta alam.  Aku berserah-diri kepada Allah subhanahu wata’ala.

Ayat 132 : Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berwasiat dengan kalimat Islam itu kepada anak-anaknya, keturunannya termasuk Nabi Ya’qub ‘alaihissalam : “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih bagimu Islam sebagai agamamu”.  Allah yang memilih dan memerintahkan kepada kita untuk beragama Islam.
“Dan janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.
(Mati dalam keadaan tunduk dan patuh serta berserah-diri kepada Allah subhanahu wata’ala).

Dan wasiat yang paling utama adalah wasiat untuk Islam dengan sempurna (berserahdiri kepada Allah subhanahu wata’ala).   Maka Allah subhanahu wata’ala ber-wasiat (berpesan) kepada kita : Kalau kita telah memeluk agama Islam,  janganlah Islam kita hanya sekedar lisan.

Yang demikian itu diperintahkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam setiap khutbah beliau, khutbah dalam Jum’at atau khutbah Id, atau khutbah nikah, selalu mengiringi dalam khutbah beliau dengan satu ayat antara lain Surat Ali Imran ayat 102, pasti beliau baca dalam khutbah beliau, karena ayat tersebut merupakan wasiat dari Allah subhanahu wata’ala langsung kepada manusia :

سُوۡرَةُ آل عِمرَان

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ (١٠٢)


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam.

Maksudnya : Mati dalam keadaan tunduk dan berserah-diri kepada Allah subhanahu wata’ala.  Bukan mati dalam beragama Islam, karena orang mati dalam keadaan beragama Islam adalah banyak, tetapi hanya sedikit orang yang mati dalam keadaan benar-benar menjalankan Islam.

Itulah wasiat para Nabi dan Rasul mengikuti perintah Allah subhanahu wata’ala. Yaitu mati dalam keadaan tunduk dan patuh serta berserah-diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Kalau itu yang dijalani maka benar-benar sempurna.  Itulah wasiat dari Bapak kita Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Ayat 133 : sebagaimana tersebut di atas, maksudnya adalah Allah subhanahu wata’ala berfirman kepada Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Muhammad, apakah engkau menyaksikan kepatika Nabi Ya’qub hendak wafat ?”.

Padahal kurun waktu antara Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam dengan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam sudah puluhan ribu tahun.  Mungkinkah Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam menyakasikan ketika Nabi Ya’qub akan wafat ?  Tidak mungkin.  Tetapi Allah subhanahuwata’ala tanyakan sebagaimana tersebut di atas.
Yaitu ketika Nabi Ya’qub ‘alaihissalam ketika menjelang wafatnya mengumpul-kan anak-anaknya  dan berkata : “Wahai anak-anakku, apa yang akan kalian sembah setelah aku mati ?”

Sementara kebanyakan manusia ketika menjelang kematiannya, biasanya yang diwasiatkan  adalah perkara harta dan urusan dunia lainnya. Padahal ia sebentar lagi akan mati. Bertolak-belakang dengan yang Allah perintahkan. Berbeda jauh dengan wasiat para Nabi dan Rasul.  Bukankah kita harus mengikuti teladan kita Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam ? 

Allah perintahkan dalam ayat tersebut kepada beliau dan kepada kita semua,  maka beliau diajak berdialog dengan Allah subhanahu wata’ala untuk mengenang bagaimana Nabi Ya’qub ‘alaihissalam ketika hendak wafat, bahwa yang pesankan oleh Nabi Ya’qub ‘alaihissalam ketika hendak wafat adalah apa yang anak-anaknya sembah sepeninggal beliau, apakah uang, harta, kekayaan dan dunia ? Apakah itu yang akan kalian kejar ?.

Ternyata semua akan-anak Nabi Ya’qub ‘alaihissalam menjawab bahwa mereka akan menyembah apa yang ayahandanya sembah, apa yang kakeknya sembah dan yang Nabi Ibrahim ‘alaihissalam sembah yaitu Allah subhanhu wata’ala, yang Maha Esa.  Dan mereka menyatakan bahwa akan berserah diri dan tunduk kepada Allah subhanahu wata’ala,  sebagai Muslim.

Pernahkah kita sebagai orangtua berwasiat kepada anak-anak kita, kepada suami atau isteri kita dengan wasiat: Jangan kalian tinggalkan beribadah kepada Allah, jangan durhaka kepada Allah subhanahu wata’ala ? Pernahkah kita berwasiat seperti itu ?   Padahal itulah wasiat yang paling baik dan paling mulia. Kalau wasiat ‘Aqidah diterapkan kepada diri seorang hamba, insya Allah hamba itu akan mendapatkan apapun di dunia, insya Allah amanah.

Wasiat Aqidah, wasiat Iman, wasiat Taqwa itulah yang diterapkan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada para Nabi dan para Nabi menerapkan kepada anak-cucunya. Hendaklah kita mengikuti wasiat para Nabi.  Silakan kita berwasiat dengan harta atau kekayaan, dst., tidak dilarang, tetapi yang paling utama adalah wasiat ‘Aqidah.

Maka ditutup dengan ayat 134 (berikutnya) : “Itulah umat yang lalu” - yaitu para Nabi sebelum Nabi kita Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, yang berwasiat dengan Aqidah : “Untuk mereka apa yang telah mereka usahakan” – untuk kalian apa yang telah kalian usahakan ?   
Dan tidaklah kalian akan ditanya (diminta bertanggungjawab) tentang apa yang telah mereka kerjakan”. Tetapi yang ditanya adalah apa yang telah kita perbuat.

Di sana Allah subhanahu wata’ala menyebutkan bahwa Bapak para Nabi (Abul Anbiya) adalah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Kita lihat Surat Al Hajj ayat 78 :

سُوۡرَةُ الحَجّ

وَجَـٰهِدُواْ فِى ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦ‌ۚ هُوَ ٱجۡتَبَٮٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِى ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٍ۬‌ۚ مِّلَّةَ أَبِيكُمۡ إِبۡرَٲهِيمَ‌ۚ هُوَ سَمَّٮٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِى هَـٰذَا لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيۡكُمۡ وَتَكُونُواْ شُہَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ‌ۚ فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعۡتَصِمُواْ بِٱللَّهِ هُوَ مَوۡلَٮٰكُمۡ‌ۖ فَنِعۡمَ ٱلۡمَوۡلَىٰ وَنِعۡمَ ٱلنَّصِيرُ (٧٨)


Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan(kesulitan).  (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dia-lah sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.

Di zaman para Nabi sebelum Nabi Ibrahim, manusia belum mengenal ke-syirikan.  Semua manusia menyembah Allah subhanahu wata’ala, kecuali durhaka. Tetapi  ketika zaman Nabi Ibrahim ‘alaihissalam manusia mulai menyembah berhala, patung-patung.  Maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam adalah Nabi pelepas dasar Aqidah Islam.  Maka oleh Allah subhanahu wata’ala disebut Abul Anbiyaa (Bapak Para Nabi).   Maka Allah subhanahu wata’ala (dalam ayat tersebut) : Ikuti  cara beragama orangtuamu Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Allah telah memberikan nama para Nabi itu sejak zaman dahulu, diberi nama oleh Allah : Muslim (Islam).  Jadi Islam adalah agama para Nabi  sejak dahulu. Tidak ada agama Nashara,  agama Yahudi atau yang lain. Mereka yang menamakan Nashara, Yahudi dst, adalah kelompok mereka sendiri.  Sedangkan Allah subhanahu wata’ala telah menamakan bahwa agama semua Nabi  adalah Islam. 

Dan sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas bahwa manusia diperintahkan untuk berpegang teguh pada tali (aturan) Allah subhanahu wata’ala.  Kalau itu kita lakukan, maka kita akan ditolong oleh Allah sabhanahu wata’ala (Sebaik-baik Penolong).   Itulah wasiat para Nabi.

Tentang wasiat Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam adalah terdapat dalam Hadits (As Sunnah) :  

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzy, dikatakan bahwa Hadits ini adalah Hasan-Shahih, dari seorang sahabat bernama Abdullah bin ‘Abbas (Ibnu ‘Abbas) rodhiyallahu ‘anhu berkata : Suatu hari aku berada di belakang Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda : “Wahai anak muda, aku berwasiat kepadamu, jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu.  Apabila kamu meminta, mintalah kepada Allah dan jika kamu meminta tolong mintalah kepada Allah”.

Itulah wasiat Rasulullah shollalhu ‘alaihi wasallam. Agar kita selalu menjaga Aqidah, menepati aturan Allah, jagalah Hukum Allah, janganlah meminta tolong kecuali minta tolong kepada Allah subhanahu wata’ala.

Apa yang terjadi pada umat Islam ?  Banyak orang yang meminta tolong kepada dukun, orang pintar, minta tolong kepada jimat-jimat, meminta ke kubur-kubur, meminta kepada ulama, padahal semua itu hukumnya Haram.
Sedangkan orang yang mengikuti wasiat para Nabi tidak akan menyia-nyiakan apa yang Allah perintahkan melalui Rasul-Nya.

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, berkata : “Ya Rasulullah wasiati aku, wasiati aku!”.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam hanya menjawab: “Kamu jangan suka marah”. Beliau mengulang-ulang kalimat itu.

Hadits tersebut menunjukkan bahwa kita kebanyakan memang mudah marah.  Hanya perkara yang tidak seberapa kita sering marah-marah. Maka marilah kita sebagai orang beriman membiasakan diri jangan mudah marah, terhadap siapapun.

Apa jaminannya bagi orang yang bisa melaksanakan wasiat Rasul ?  Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabrani, Hadits shahih dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollalalahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang di dunia ini sanggup mengendalikan diri dari amarahnya, maka Allah akan jauhkan dari adzab di neraka”.
Kadang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam ketika memberi wasiat, dilihat orang yang meminta wasiat itu seperti apa.  Dalam Hadits yang lain, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari sahabat bernama Abdullah bin Mas’ub (Ibnu Mas’ud) rodhiyallahu ‘anhu berkata,  Rasulullah shollallahu ‘alaihbi wasallam bersabda : “Hendaklah kalian menjadi orang-orang yang benar, tetaplah dalam kejujuran, orang yang benar dan jujur akan mengantarkan kalian menjadi orang-orang yang berbakti, yang senanatiasa mabrur dalam perbuatannya. Sesungguhnya kebaikan-kebaikan melalui kebenaran dan kejujuranmu akan mengantarkanmu menuju surga. Janganlah kalian menjadi pendusta, sesungguhnya dusta mengantarmu kepada kedurhakaan dan kedurhakaan mengantarmu ke dalam neraka”.

Semoga kita bisa senantiasa berlaku benar, sehingga tercatat di sisi Allah subhanahu wata’ala sebagai orang yang benar.

Apa yang terjadi di Negara kita ?.  Betapa mudahnya orang berdusta.  Banyak orang yang telah bersaksi atas-nama Allah subhanahu wata’ala, tetapi berdusta, (berkata dan berlaku dusta).  Semoga kita menjadi orang yang benar/jujur, menjauhkan diri dari dusta, itulah wasiat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Kalau kita tercatat sebagai orang yang benar/jujur, di catat oleh Allah subhanahu wata’ala, insya Allah surga akan kita raih. Sebaliknya dusta akan mengantar kepada neraka Jahannam.

Wasiat dilarang su’udzon (berprasangka buruk).
Apabila mendapat berita (keterangan) tentang keburukan seseorang, hendaknya jangan lekas percaya. Karena sebuah berita belum tentu benar. Terhadap hal ini Allah subhanahu wata’ala memerirntahakan kepada kita dalam AlQur’an Surat Al Hujurat ayat 12 :


سُوۡرَةُ الحُجرَات

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرً۬ا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٌ۬‌ۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًا‌ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُڪُمۡ أَن يَأۡڪُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتً۬ا فَكَرِهۡتُمُوهُ‌ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ۬ رَّحِيمٌ۬ (١٢)

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Sampai dalam pengadilan (di depan hakim) ketika kita menjadi saksi, katakanlah sebenarnya, kalau orang itu benar katakan benar, kalau orang itu tidak benar katakan tidak benar,  jangan berdusta.

Betapa indahnya wasiat para Nabi dan Rasul, yang kadang kita abaikan. Ada lagi wasiat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang lain.  Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Aku berwasiat kepada kalian, jika kalian tidak malu silakan perbuat sesukamu”

Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dari Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shollalhu ‘alaihi wasallam bersabda : “Malu itu sebagian dari iman, kalau kalian tidak punya rasa malu, silakan berbuat sesukamu”.

Misal: Ada orang tidak punya rasa malu meninggalkan sholat, silakan tidak sholat. Ada lagi orang tidak malu melakukan korupsi, silakan kalau memang tidak punya rasa malu. Dalam hal ini malu bukan menurut penilaian manusia, melainkan penilaian dari Allah subhanahu wata’ala.  Banyak orang malu kepada manusia, tetapi tidak malu kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka malu adalah sebagian dari iman. Malu kepada Allah pasti ia akan malu di hadapan manusia.  Tetapi malu di hadapan manusia, ia belum tentu malu di hadapan Allah subhanahu wata’ala. 

Lihat Surat Fushshilat ayat 40 Allah subhanahu wata’ala berfirman : 

\


Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

Orang yang tidak punya rasa malu di dunia, pasti akan di jerumuskan ke neraka. Orang yang punya rasa malu dengan Allah ketika di dunia, pasti ia akan dengan rasa aman di Hari Kiamat. Maka kalau ada orang yang tidak malu lagi dan durhaka kepada Allah subhanahu wata’ala,  walaupun manusia tidak ada yang melihat, pasti Allah melihatnya. sebagaimana disebutkan di ujung ayat tersebut di atas, yang berupa sindiran kepada manusia : “Berbuatlah sekehendakmu, sesungguhnya Dia (Allah) Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

Makna ayat tersebut adalah : Agar kita jangan main-main dengan Hukum Allah. Jangan main-main dengan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala.

Ayat tersebut sama dengan makna Hadits tersebut di atas, kalau memang kamu tidak malu, berbuatlah sekehendakmu, silakan tidak sholat, tidak membayar zakat, bersenang-senang sekehendakmu di dunia, nyanyi-nyanyi, tiap malam ke tempat Dugem, bermaksiat, berzina, dst. silakan.   Tetapi ingat semua itu Allah ketahui dan akan diminta pertanggungjawaban kelak di Akhirat.

Demikian itu wasiat dan nasihat dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang sangat bagus dan berharga, tetapi kita sering meng-abaikannya.  Kita sering menganggap bahwa yang namanya wasiat hanyalah berupa harta. Ternyata dalam Hadits dan ayat tersebut di atas tidaklah demikian. 

Maka Islam tidak cukup hanya dengan pengakuan. Lihat Surat Al Ahzab ayat 35 Allah subhanahu wata’ala berfirman (ada sepuluh kreteria orang-orang yang muslim) :

سُوۡرَةُ الاٴحزَاب

إِنَّ ٱلۡمُسۡلِمِينَ وَٱلۡمُسۡلِمَـٰتِ وَٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَـٰتِ وَٱلۡقَـٰنِتِينَ وَٱلۡقَـٰنِتَـٰتِ وَٱلصَّـٰدِقِينَ وَٱلصَّـٰدِقَـٰتِ وَٱلصَّـٰبِرِينَ وَٱلصَّـٰبِرَٲتِ وَٱلۡخَـٰشِعِينَ وَٱلۡخَـٰشِعَـٰتِ وَٱلۡمُتَصَدِّقِينَ وَٱلۡمُتَصَدِّقَـٰتِ وَٱلصَّـٰٓٮِٕمِينَ وَٱلصَّـٰٓٮِٕمَـٰتِ وَٱلۡحَـٰفِظِينَ فُرُوجَهُمۡ وَٱلۡحَـٰفِظَـٰتِ وَٱلذَّٲڪِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا وَٱلذَّٲڪِرَٲتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغۡفِرَةً۬ وَأَجۡرًا عَظِيمً۬ا (٣٥)


Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin*], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

*] Yang dimaksud dengan Muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang Mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.

(Secara singkat ada 10 : Muslim, Mukmin, Taat, Benar, Sabar, Khusyu’, Bershodakoh, Puasa, Memelihara kehormatan dan Banyak Mengingat Allah subhanahu wata’ala). 
Kalau 10 perkara tersebut kita lakukan, maka sempurnalah Iman kita dan balasan yang sangat besar yaitu Surga, sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat tersebut di atas. Itulah jaminan dari Allah subhanahu wata’ala.

Marilah semua itu kita laksanakan dan jangan durhaka kepada Allah subhanahu wata’ala.  Wasiat yang paling utama adalah wasiat yang Allah berikan kepada kita baik dalam AlQur’an melalui para Nabi khususnya Nabi kita Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, maka siapa yang mengikuti wasiat para Nabi, khusus kita jalankan untuk diri kita dan wasiat untuk keturunan dan keluarga kita, insya Allah kita akan sanggup meraih kemenangan di sisi Allah subhanahu wata’ala. 

Tanya-Jawab.

Pertanyaan:
Bagaimana dengan sholat wanita, apakah di masjid berjamaah atau di rumah masing-masing ?

Jawaban:
Sesuai Hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam : Sebaik-baik sholat wanita adalah di rumahnya. Yang dimaksud kamar adalah bagian dari rumah juga. Itu lebih baik daripada sholat di kamar tamu.

Adapun wanita yang ingin sholat di masjid adalah boleh (mubah) jangan dilarang. Tetapi hukum wanita sholat di masjid bukan wajib, melainkan mubah (boleh). Syaratnya : Tidak memakai wewangian (parfum), tidak ber-ikhtilaf (berdua-an) dengan lain jenis, jangan berhias dan sejak dari rumahnya harus sudah menutup aurat.  Tidak dilarang wanita sholat di masjid, tetapi yang diperintahkan sholat berjamaah di masjid adalah laki-laki.

Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.

Wassalamu’alaikum warahamatullahi wabarokatuh.

No comments:

Post a Comment