Translate

Monday, September 8, 2014

Kebolehan Dan Kepantasan, oleh : Ustadz Syahroni Mardani



PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM

Kebolehan Dan Kepantasan

Ustadz Syahroni Mardani
 
 Jum’at,  3 Dzulqo’dah 1435 H – 29 Agustus 2014


Assalamu’alaikum w.w.,

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Bila kita bicara Fiqih, maka itu adalah perkara boleh dan tidak boleh, halal- haram, sah dan tidak sah.  Tetapi dalam ajaran Islam tidak hanya ada aturan Fiqih (Wajib, Sunnat, Haram, Makruh, dst.), juga ada aturan Akhlak.  Aturan Akhlak adalah bicara antara pantas dan tidak pantas, patut atau tidak patut.

Bahwa banyak perkara yang secara Hukum Fiqih adalah boleh, sah-sah saja, tetapi dalam ajaran Islam hendaknya seseorang juga harus berfikir, tidak saja beramal dengan dasar alasan Fiqih semata tetapi harus juga pertimbangan akhlak.  Bisa jadi secara hukum Fiqih suatu perbuatan itu sah-sah saja, boleh-boleh saja, tetapi secara aturan kepantasan  baik menurut agama, maupun adat setempat, tidak pantas atau tidak pas.   Maka orang harus berfikir ulang untuk melakukannya.

Sekarang ini banyak pandangan antara pro dan kontra.  Ketika seseorang melakukan sesuatu, ketika ditegur dari segi kepantasan, ia akan berkata : “Memangnya ada aturan hukum yang saya langgar ?”. Lalu orang akan menjawab : “Tidak ada larangan hukum yang anda langgar, tetapi yang anda lakukan tidak pantas”.

Ternyata dalam Islam, perilaku kepantasan di atur.  Dalah Hadits Shahih Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Aku diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
Bahwa dalam Islam ada aturan hukum (Fiqih) dan aturan Akhlak.  Keduanya penting.  Aturan Fiqih penting, agar manusia tahu batasan-batasan hukum, namun juga penting bagi kita untuk mempertimbangankan aturan-aturan Akhlak.

Apalagi dalam Ekonomi Islam, contohnya : Ekonomi Islam tegak atas dasar di antaranya terkait aturan-aturan akhlak.  Dalam AlQur’an Surat Al A’raaf ayat 31 Allah subhanahu wata’ala berfirman  :
سُوۡرَةُ الاٴعرَاف

۞ يَـٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٍ۬ وَڪُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْ‌ۚ إِنَّهُ ۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ (٣١)


Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Dalam aturan Fiqih di antara sahnya sholat adalah kewajiban menutup aurat.  Aurat laki-laki dalam sholat (bagian tubuh yang harus ditutup) adalah mulai dari pusar (perut) sampai lutut.   Artinya, kalau seorang laki-laki sholat dengan mengenakan kain (sarung) menutup tubuhnya dari pusar sampai lutut sudah sah.

Tetapi ternyata meskipun aturan Fiqih sudah sah orang sholat dengan pakaian seperti disebutkan di atas,  namun Allah subhanahau wata’ala berfirman sebagaimana ayat tersebut di atas. Ayat tersebut bicara tentang akhlak (kepantasan).  Yang pantas adalah kalau seseorang hendak sholat menghadap Allah subhanahu wata’ala hendaknya dengan berpakaian yang terbaik. Bukan sekedar menutupi aurat, tetapi lebih dari itu. Bahkan kalau perlu dengan perhiasan.

Maka dalam sejarah disebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal menyediakan pakaian khusus yang terbaik untuk melakukan sholat. Beliau melakukan itu antara lain untuk menjaga kepantasan, menjaga Akhlak.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam Hadits Shahih bersabda : “Aku diutus oleh Allah subhanahu wata’ala di atas muka bumi ini untuk menyempurnakan Akhlak”.

Namun demikian aturan Fiqih adalah penting untuk mengetahui batasan-batasan secara minimal mana yang boleh dan tidak boleh.  Dan bila seseorang melakukan sesuatu, lakukan yang terbaik.

Di Indonesia kita mempunyai kaedah basa-basi.  Meskipun basa-basi kadang membosankan, tetapi basa-basi penting, terutama dalam kepantasan dalam pergaulan sesama manusia.  Misalnya tegur-sapa,  ucapan Assalamu’alaikum tidak wajib tetapi itu penting.  Terutama anak-anak muda yang sudah kehilangan nilai-nilai akhlak mulia.

Itulah contoh, bahwa bila kita melakukan sesuatu, fikirkanlah jangan hanya berdasarkan hukum Fiqih saja, boleh atau tidak boleh, tetapi juga hendaknya fikirkanlah wilayah-wilayah Akhlak  atau kepantasan (kepatutan). Contoh, orang-orang tua kita zaman dulu ketika membawa kitab AlQur’an, tidak seenaknya, ditenteng, menggantung atau dikempit dengan ketiak, tetapi dijunjung di atas kepala atau didekap di dada. Demikian sikap mereka terhadap AlQur’an yang mulia.  Sedangkan anak muda sekarang membawa Kitab AlQur’an seenaknya saja, seperti membawa barang tidak ada harganya.

Ada Hadits shahih dalam Kitab Riyadhushsholihin :   Dari Abu Hurairah  rodhiyallahu ‘anhu  suatu hari ada yang datang menemui Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam  menagih hutangnya dengan cara yang kasar.   Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Biarkan dia.  Orang itu punya hak untuk bicara.  Bayarlah hutangku sesuai dengan ukurannya.” Para sahabat berkata : “Ya Rasulullah kami tidak menemukannya (hewan yang seukuran dengan hewan yang engkau pinjam),  kalau yang lebih besar ada”.  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Berikan kepada orang itu.  Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik saat melunasi hutang” (Hadits Muttafaqun ‘alaih).

 Dalam sarah Hadits tersebut di bawahnya ada keterangan : Boleh seseorang melebihkan dari apa yang dipinjam, dengan syarat tidak ada perjanjian.  Bila dengan perjanjian bahwa harus membayar lebih, maka itu termasuk riba, hukumnya Haram.

Contoh: Orang yang meminjam barang (mobil atau motor), maka ketika mengem-balikan kepada si empunya mobil (teman atau saudara) hendaknya dalam keadaan bersih (jangan dalam keadaan kotor),  lebih baik lagi kalau bensinnya di penuhi, dengan sukarela sebagai tindakan kepantasan dan tanda terima kasih dari orang yang meminjam.   Dengan catatan, sebelumnya tidak ada perjanjian atau kesepakatan apapun. Tetapi bila dengan perjanjian bahwa pulangnya harus bersih, bensin harus penuh,  maka itu tidak boleh, hukumnya haram sama dengan riba.


Bila seseorang meminjam lalu ketika mengembalikan dilebihkan tanpa ada perjanjian sebelumnya, maka menurut Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam itulah yang dimaksud : “Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik saat melunasi hutang”.  
Atau:  Sebelum jatuh tempo sesuai perjanjian, hutang sudah dilunasi. Itulah yang terbaik.

Contoh lain tentang kepantasan dan kepatutan : Nikah Sirri (Menikah diam-diam).
Secara aturan hukum, pernikahan itu sah apabila lima syarat terpenuhi :
1.     Calon pengantin laki-laki dan perempuan, 
2.     Ijab-Qabul,
3.     Saksi dua orang,
4.     Mahar (mas-kawin)
5.     Wali bagi pengantin perempuan,

Tetapi dalam sebuah Hadits shahih, dari Aisyah rodhiyallahu ‘anha, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :    A’linu hadzannikah (umumkanlah pernikahan kamu). Adakanlah akad-nikah itu di masjid, dan pukullah rebbana untuk merayakannya”. (HR.Turmudzy, hadits ke 1095)

Hadits tersebut mengajarkan kepada kita tentang Sunnah-nya membikin Walimah (makan bersama) dalam rangka pernikahan. Bahwa Sunnahnya pernikahan itu diumumkan. Jangan diam-diam.

Nikah Sirri, sepanjang syaratnya terpenuhi,  secara hukum adalah sah.  Tetapi biasanya akan terjadi pro dan kontra. Karena menikah itu seharusnya diumumkan, jangan diam-diam (sirri). Bahkan dalam Hadits shahih Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Bila engkau menikah, buatlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing”.

Maka dalam hidup ini hendaknya jangan bicara soal hukum saja tetapi berfikirlah wilayah kepantasan, ada aturan akhlak yang juga harus dipenuhi.

Kepantasan dalam masalah pembagian Warisan.
Ketika pembagian warisan antara keluarga sering terjadi sengketa. Antar anggota keluarga terjadi percekcokan. Ketika seseorang meninggal, maka hartanya dibagikan kepada ahli waris. Dan ada keluarga yang mendapatkan pembagian warisan ada yang tidak, yaitu ahli waris yang terhalang, karena adanya anak laki-laki (ahli waris laki-laki).  Tetapi ketika pembagian waris Allah subhanahu wata’ala mengingatkan juga tentang kaedah kepantasan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surat An Nisaa’ ayat 8 :


وَإِذَا حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَـٰمَىٰ وَٱلۡمَسَـٰڪِينُ فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلاً۬ مَّعۡرُوفً۬ا (٨)


Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat*], anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu **] (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.

*]   Kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka.
**] Pemberian sekedarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan.

Mungkin saja seseorang itu sukses dalam berbisnis (usaha dagang) karena dibantu oleh saudara-saudaranya. Maka ketika seseorang yang sudah sukses itu  meninggal, dengan meninggalkan banyak harta, maka sudah sepantasnya ketika pembagian warisan itu, saudara yang pernah membantu (menolong) orang yang meninggal itu ikut diberi sekedarnya, atau kepada anak yatim diberikan sekedarnya. Meskipun mereka tidak berhak atas warisan itu.

Dalam ayat tersebut dikatakan pula : “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.  Maksudnya, ketika hendak membagi harta warisan hendaknya saudara atau kerabat dari yang meninggal itu diajak bicara, mohon do’a restu, dst. Meskipun mereka bukan ahli waris yang berhak warisan.

Secara Hukum Fiqih, saudara (kerabat) dari yang meninggal  memang bukan ahli waris dan tidak berhak atas warisan itu, karena ada anak laki-laki dari yang meninggal, tetapi sepantasnya mereka diajak bicara ketika ada pembagian warisan. Ayat tersebut merupakan pelajaran tentang kepantasan dan ajaran tentang Akhlak yang mulia.

Ayat tersebut merupakan solusi terhadap problematika (kekisruhan) yang terjadi ketika pembagian harta warisan. Ternyata Allah subhanahau wata’ala tidak hanya becara soal hukum Fiqih saja, tetapi juga bicara tentang Akhlak (kepantasan) dalam ayat-ayat tentang warisan.  

Masalah menagih hutang.
Dalam hal pinjam-meminjam, sekecil apapun nilainya tetap namanya meminjam. Harus dikembalikan. Maka sebaiknya kalau nilainya terlalu kecil, jangan menyebut pinjam, tetapi minta.
Dalam Hadits shahih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang ingin ditolong oleh Allah pada hari Kiamat kelak, berilah tenggang (kelonggaran) waktu untuk orang yang susah,  yang meminjam uang kepadanya”.

Hadits tersebut adalah mengajarkan kepada kita untuk tenggang-rasa, terutama kepada orang yang sedang kesusahan.

Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

No comments:

Post a Comment