PENGAJIAN DHUHA
MASJID BAITUSSALAM
Ustadz Syahroni Mardani
Jum’at, 3 Dzulqo’dah 1435 H – 29 Agustus 2014
Assalamu’alaikum
w.w.,
Muslimin
dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu
wata’ala,
Bila kita bicara Fiqih, maka itu adalah
perkara boleh dan tidak boleh, halal- haram, sah dan tidak sah. Tetapi dalam ajaran Islam tidak hanya ada
aturan Fiqih (Wajib, Sunnat, Haram, Makruh, dst.), juga ada aturan Akhlak. Aturan Akhlak adalah bicara antara pantas dan
tidak pantas, patut atau tidak patut.
Bahwa banyak perkara yang secara Hukum
Fiqih adalah boleh, sah-sah saja, tetapi dalam ajaran Islam hendaknya seseorang
juga harus berfikir, tidak saja beramal dengan dasar alasan Fiqih semata tetapi
harus juga pertimbangan akhlak. Bisa
jadi secara hukum Fiqih suatu perbuatan itu sah-sah saja, boleh-boleh saja,
tetapi secara aturan kepantasan baik
menurut agama, maupun adat setempat, tidak pantas atau tidak pas. Maka orang harus berfikir ulang untuk
melakukannya.
Sekarang ini banyak pandangan antara pro
dan kontra. Ketika seseorang melakukan
sesuatu, ketika ditegur dari segi kepantasan, ia akan berkata : “Memangnya ada
aturan hukum yang saya langgar ?”. Lalu orang akan menjawab : “Tidak ada
larangan hukum yang anda langgar, tetapi yang anda lakukan tidak pantas”.
Ternyata dalam Islam, perilaku
kepantasan di atur. Dalah Hadits Shahih
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Aku diutus ke dunia ini untuk
menyempurnakan akhlak manusia”.
Bahwa dalam Islam ada aturan hukum
(Fiqih) dan aturan Akhlak. Keduanya
penting. Aturan Fiqih penting, agar
manusia tahu batasan-batasan hukum, namun juga penting bagi kita untuk
mempertimbangankan aturan-aturan Akhlak.
Apalagi dalam Ekonomi Islam, contohnya :
Ekonomi Islam tegak atas dasar di antaranya terkait aturan-aturan akhlak. Dalam AlQur’an Surat Al A’raaf ayat 31 Allah subhanahu
wata’ala berfirman :
سُوۡرَةُ الاٴعرَاف
۞
يَـٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٍ۬ وَڪُلُواْ
وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُ ۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ (٣١)
Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.
Dalam aturan Fiqih di antara sahnya sholat
adalah kewajiban menutup aurat. Aurat
laki-laki dalam sholat (bagian tubuh yang harus ditutup) adalah mulai dari
pusar (perut) sampai lutut. Artinya, kalau seorang laki-laki sholat dengan
mengenakan kain (sarung) menutup tubuhnya dari pusar sampai lutut sudah sah.
Tetapi ternyata meskipun aturan Fiqih
sudah sah orang sholat dengan pakaian seperti disebutkan di atas, namun Allah subhanahau wata’ala berfirman sebagaimana ayat tersebut di atas.
Ayat tersebut bicara tentang akhlak (kepantasan). Yang pantas adalah kalau seseorang hendak
sholat menghadap Allah subhanahu wata’ala
hendaknya dengan berpakaian yang terbaik. Bukan sekedar menutupi aurat, tetapi
lebih dari itu. Bahkan kalau perlu dengan perhiasan.
Maka dalam sejarah disebutkan bahwa Imam
Ahmad bin Hanbal menyediakan pakaian khusus yang terbaik untuk melakukan
sholat. Beliau melakukan itu antara lain untuk menjaga kepantasan, menjaga
Akhlak. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
dalam Hadits Shahih bersabda : “Aku
diutus oleh Allah subhanahu wata’ala di atas muka bumi ini untuk menyempurnakan
Akhlak”.
Namun demikian aturan Fiqih adalah penting
untuk mengetahui batasan-batasan secara minimal mana yang boleh dan tidak
boleh. Dan bila seseorang melakukan
sesuatu, lakukan yang terbaik.
Di Indonesia kita mempunyai kaedah
basa-basi. Meskipun basa-basi kadang
membosankan, tetapi basa-basi penting, terutama dalam kepantasan dalam
pergaulan sesama manusia. Misalnya
tegur-sapa, ucapan Assalamu’alaikum tidak wajib tetapi itu penting. Terutama anak-anak muda yang sudah kehilangan
nilai-nilai akhlak mulia.
Itulah contoh, bahwa bila kita melakukan sesuatu,
fikirkanlah jangan hanya berdasarkan hukum Fiqih saja, boleh atau tidak boleh,
tetapi juga hendaknya fikirkanlah wilayah-wilayah Akhlak atau kepantasan (kepatutan). Contoh,
orang-orang tua kita zaman dulu ketika membawa kitab AlQur’an, tidak seenaknya,
ditenteng, menggantung atau dikempit dengan ketiak, tetapi dijunjung di atas
kepala atau didekap di dada. Demikian sikap mereka terhadap AlQur’an yang
mulia. Sedangkan anak muda sekarang
membawa Kitab AlQur’an seenaknya saja, seperti membawa barang tidak ada
harganya.
Ada Hadits shahih dalam Kitab
Riyadhushsholihin : Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu suatu hari ada yang datang menemui Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam menagih
hutangnya dengan cara yang kasar.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Biarkan dia. Orang itu punya hak untuk bicara. Bayarlah hutangku sesuai dengan ukurannya.”
Para sahabat berkata : “Ya Rasulullah kami tidak menemukannya (hewan yang
seukuran dengan hewan yang engkau pinjam),
kalau yang lebih besar ada”.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Berikan kepada orang
itu. Sesungguhnya sebaik-baik kalian
adalah yang paling baik saat melunasi hutang” (Hadits Muttafaqun ‘alaih).
Dalam
sarah Hadits tersebut di bawahnya ada keterangan : Boleh seseorang melebihkan
dari apa yang dipinjam, dengan syarat tidak ada perjanjian. Bila dengan perjanjian bahwa harus membayar
lebih, maka itu termasuk riba, hukumnya
Haram.
Contoh: Orang yang meminjam barang
(mobil atau motor), maka ketika mengem-balikan kepada si empunya mobil (teman
atau saudara) hendaknya dalam keadaan bersih (jangan dalam keadaan kotor), lebih baik lagi kalau bensinnya di penuhi,
dengan sukarela sebagai tindakan
kepantasan dan tanda terima kasih dari orang yang meminjam. Dengan catatan, sebelumnya tidak ada
perjanjian atau kesepakatan apapun. Tetapi bila dengan perjanjian bahwa
pulangnya harus bersih, bensin harus penuh, maka itu tidak boleh, hukumnya haram sama
dengan riba.
Bila seseorang meminjam lalu ketika
mengembalikan dilebihkan tanpa ada perjanjian sebelumnya, maka menurut
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
itulah yang dimaksud : “Sesungguhnya
sebaik-baik kalian adalah yang paling baik saat melunasi hutang”.
Atau:
Sebelum jatuh tempo sesuai perjanjian, hutang sudah dilunasi. Itulah
yang terbaik.
Contoh lain tentang kepantasan dan
kepatutan : Nikah Sirri (Menikah
diam-diam).
Secara aturan hukum, pernikahan itu sah
apabila lima syarat terpenuhi :
1.
Calon
pengantin laki-laki dan perempuan,
2.
Ijab-Qabul,
3.
Saksi
dua orang,
4.
Mahar
(mas-kawin)
5.
Wali
bagi pengantin perempuan,
Tetapi dalam sebuah Hadits shahih, dari
Aisyah rodhiyallahu ‘anha, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda
: “A’linu
hadzannikah (umumkanlah pernikahan kamu). Adakanlah akad-nikah itu di masjid, dan pukullah rebbana untuk
merayakannya”. (HR.Turmudzy, hadits ke 1095)
Hadits tersebut mengajarkan kepada kita
tentang Sunnah-nya membikin Walimah (makan bersama) dalam rangka
pernikahan. Bahwa Sunnahnya pernikahan itu diumumkan. Jangan diam-diam.
Nikah Sirri, sepanjang syaratnya
terpenuhi, secara hukum adalah sah. Tetapi biasanya akan terjadi pro dan kontra.
Karena menikah itu seharusnya diumumkan, jangan diam-diam (sirri). Bahkan dalam
Hadits shahih Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Bila
engkau menikah, buatlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor
kambing”.
Maka dalam hidup ini hendaknya jangan
bicara soal hukum saja tetapi berfikirlah wilayah
kepantasan, ada aturan akhlak yang juga harus dipenuhi.
Kepantasan
dalam masalah pembagian Warisan.
Ketika pembagian warisan antara keluarga
sering terjadi sengketa. Antar anggota keluarga terjadi percekcokan. Ketika
seseorang meninggal, maka hartanya dibagikan kepada ahli waris. Dan ada
keluarga yang mendapatkan pembagian warisan ada yang tidak, yaitu ahli waris
yang terhalang, karena adanya anak laki-laki (ahli waris laki-laki). Tetapi ketika pembagian waris Allah subhanahu wata’ala mengingatkan juga
tentang kaedah kepantasan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surat An Nisaa’ ayat 8 :
وَإِذَا حَضَرَ
ٱلۡقِسۡمَةَ أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَـٰمَىٰ وَٱلۡمَسَـٰڪِينُ
فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلاً۬ مَّعۡرُوفً۬ا (٨)
Dan
apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat*], anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu **] (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang baik.
*]
Kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka.
**] Pemberian sekedarnya itu tidak boleh
lebih dari sepertiga harta warisan.
Mungkin saja seseorang itu sukses dalam
berbisnis (usaha dagang) karena dibantu oleh saudara-saudaranya. Maka ketika
seseorang yang sudah sukses itu
meninggal, dengan meninggalkan banyak harta, maka sudah sepantasnya
ketika pembagian warisan itu, saudara yang pernah membantu (menolong) orang
yang meninggal itu ikut diberi sekedarnya, atau kepada anak yatim diberikan
sekedarnya. Meskipun mereka tidak berhak atas warisan itu.
Dalam ayat tersebut dikatakan pula : “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik”. Maksudnya, ketika hendak
membagi harta warisan hendaknya saudara atau kerabat dari yang meninggal itu
diajak bicara, mohon do’a restu, dst. Meskipun mereka bukan ahli waris yang
berhak warisan.
Secara Hukum Fiqih, saudara (kerabat) dari
yang meninggal memang bukan ahli waris
dan tidak berhak atas warisan itu, karena ada anak laki-laki dari yang
meninggal, tetapi sepantasnya mereka diajak bicara ketika ada pembagian
warisan. Ayat tersebut merupakan pelajaran tentang kepantasan dan ajaran tentang Akhlak
yang mulia.
Ayat tersebut merupakan solusi terhadap
problematika (kekisruhan) yang terjadi ketika pembagian harta warisan. Ternyata
Allah subhanahau wata’ala tidak hanya
becara soal hukum Fiqih saja, tetapi juga bicara tentang Akhlak (kepantasan)
dalam ayat-ayat tentang warisan.
Masalah
menagih hutang.
Dalam hal pinjam-meminjam, sekecil
apapun nilainya tetap namanya meminjam. Harus dikembalikan. Maka sebaiknya
kalau nilainya terlalu kecil, jangan menyebut pinjam, tetapi minta.
Dalam Hadits shahih, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapa yang ingin ditolong oleh Allah pada
hari Kiamat kelak, berilah tenggang (kelonggaran) waktu untuk orang yang susah,
yang meminjam uang kepadanya”.
Hadits tersebut adalah mengajarkan
kepada kita untuk tenggang-rasa, terutama kepada orang yang sedang kesusahan.
Sekian bahasan, mudah-mudahan
bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN
LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.
Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
No comments:
Post a Comment