PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM
Kondisi Umat Islam Saat Ini
Ustadz, Tengku Zulkarnain
Jum’at, 24 Dzulqo’dah 1435 H – 19 September 2014
Assalamu’alaikum
wr.wb.,
Muslimin
dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu
wata’ala,
Umat Islam di Indonesia masih mayoritas,
yaitu 85% dari penduduk Indonesia.
Di awal kemerdekaan RI penduduk Indonesia
90% Islam. Sekarang tinggal 85%,
berkurang 5%, artinya yang 5% dari 250 juta orang Indonesia sudah murtad dari Islam.
Dari 85% penduduk Indonesia atau sekitar
220 juta orang yang muslim itu yang berhasil (punya hubungan) dengan organisasi
masa Islam seperti NU, Muhammadiyah, Matla’ul Anwar, Al Wasliyah, Dewan Dakwah
Indonesia, Persis hanya sekitar 100 juta orang.
Sisanya yang 120 juta orang adalah Islam yang lepas (Islam abangan),
yang mungkin tidak pernah sholat, yang hanya pernah mengucapkan Dua Kalimah
Syahadat. Yang tidak tahu akan Hukum Islam.
Dari hasil survey perjalanan ke
daerah-daerah di Indonesia, ternyata banyak orang Islam di daerah-daerah yang
memelihara babi. Banyak orang Islam di Tanah Karo (Sumatera Utara) yang
memelihara babi. Ada juga orang-orang
Islam yang membuat tuak (minuman keras). Di
daerah-daerah masih banyak pohon nira, diambil air niranya, lalu dibuat tuak
(minuman keras).
Maka Prof. Din Syamsudin, Ketua
Muhammadiyah mengatakan bahwa orang Islam yang bisa dibina oleh organisasi-organisasi
Islam baru 100 juta orang, yang 120 juta orang adalah orang Islam yang lepas.
Alhamdulillah sekarang ada
kelompok Jamaah Tabligh yang sering masuk ke kampung-kampung, ke daerah-daerah,
atas biaya sendiri, dengan membawa bekal bahan makanan, beras, singkong, dll.
untuk perbekalan selama dalam perjalanan dan tinggal di suatu kampung. Bila sudah sampai ke suatu kampung yang
dituju, mereka berdakwah agar orang Islam sholat berjamaah di masjid, dan juga
soal-soal ibadah yang lain.
Sayangnya banyak masjid (orang Islam), misalnya yang
terjadi di sebuah desa di Gunung Kidul yang menolak mereka, alasannya karena
mengotori masjid, dsb. Padahal mereka setiap datang di suatu masjid mereka
selalu membersihkan masjid dan masjid
itu hanya untuk sholat Jum’at saja, selain Jum’at masjid kosong tidak ada orang
sholat di situ.
Suatu ketika ada kelompok Jamaah Tabligh
datang di suatu desa pedalaman Aceh. Di
suatu masjid ketika waktu Dhuhur di masjid tidak ada orang maka anggota kelompok
Jamaah Tabligh itu Adzan dari masjid itu.
Orang-orang kampung berdatangan masing-masing membawa seember air.
Mereka mengira ada kebakaran. Menurut
mereka apabila terdengar suara Adzan berarti ada kebakaran. Bukan panggilan
sholat. Setahu mereka begitu. Padahal itu kampung di daerah Aceh yang
katanya disebut Serambi Mekkah.
Demikian itu kondisi umat Islam saat ini
yang ada di kampung-kampung (daerah-daerah). Sementara umat Islam yang ada di
kota-kota mereka sibuk mencari nafkah.
Sebelum Subuh sudah berangkat untuk bekerja. Sore/malam baru pulang.
Tidak pernah melihat anak-anaknya. Ketika libur hari Ahad, sang bapak memancing
ke laut, atau ke Puncak, piknik. Anak tidak pernah bergaul dengan ayahnya.
Mereka jauh dari ulama dan dengan anaknya sendiri tidak akrab.
Tidak pernah ada orang tua mengajak
piknik anak-anaknya, terutama ke tempat-tempat bersejarah Islam, sambil
mengajari dan mendakwahi anak-anaknya
itu tentang perjuangan para Ulama zaman dulu dsb, tidak pernah.
Hal-hal semacam itulah yang perlu kita
fikirkan, agar anak-anak kita paham dan mengerti bahwa tanggungjawab agama itu
ada di pundak mereka. Tidak akan bisa di
selesaikan oleh ormas-ormas Islam. Karena ormas-ormas Islam hanya bergerak di kota-kota.
Para da’i tidak mau berdakwah ke kampung-kampung (pelosok-pelosok). Padahal saat ini banyak di
kampung-kampung (pelosok-pelosok) orang Islam murtad dan masuk Kristen. Maka
marilah kita datangi mereka, masih mudah mengembalikan kereka kepada Islam, mereka
masuk Kristen karena uang/materi atau karena kebodohan saja, tidak ada yang
men-dakwahi.
Sementara para ustadz yang ada di
kota-kota tidak mau bila diajak dakwah ke pelosok-pelosok. Mereka sudah merasa
enak dakwah di kota-kota dengan balasan amplop.
Maka bila diajak dakwah ke pelosok yang tidak ada uangnya mereka tidak
mau.
Memang berat melakukan dakwah di
daerah-daerah/pelosok-pelosok karena memang berat tantangannya. Bahkan bisa-bisa
diancam dibunuh, atau diusir karena orang di sana menganggap da’i itu
mendakwahi orang Kristen menjadi Islam. Padahal mereka masuk Islam hanya
mendengar ceramah para da’i melalui corong speaker.
Demikianlah kondisi umat Islam Indonesia
di akhir-zaman ini. Yang katanya Indonesia merupakan negeri umat Islam
terbesar. Tetapi nyatanya umat Islam Indonesia rata-rata masih awam. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Umat Islam
Indonesia sudah hebat-hebat ilmu agamanya. Kita harus jujur. Di Indonesia ini sarjana-nya hanya 2,5% dari
penduduk. Dari Biro Pusat Statistik
(BPS) menyatakan bahwa Sarjana di Indonesia hanya 2,5% . Yang tamat dan tidak
tamat SD ada 40%.
Lebih parah lagi di Provinsi Riau
warganya (Muslim) yang tamat/tidak tamat SD ada 54%.. Karena selama sebelum
Reformasi, Riau adalah Provinsi termiskin kedua setelah Nusa Tenggara Timur
(NTT). Padahal minyak bumi paling banyak diambil dari Riau. Tidak kurang dari 11 milyar barrel berhasil
disedot dari Riau. Sampai dengan zaman Reformasi ada Kabupaten di Riau yang
tidak punya SMA (Sekolah Menengah Atas).
Banyak orang-orang Riau yang harus meneruskan sekolah ke Medan, Padang,
Bandung atau Jakarta. Karena di Rokan
Hilir (Bagan Siapi-api) hanya ada sekolah SD. Tidak ada SMP apalagi SMA.
Setelah Reformasi barulah Provinsi Riau
bisa membangun. Itupun tidak besar,
hanya mendapat jatah dari APBN sekitar Rp 9,1 trilliun – satu Provinsi. Orang mengatakan Riau adalah provinsi
terkaya. Kaya apa ? Sedangkan Pemda Provinsi DKI Jakarta dapat
jatah dari APBN Rp 57 trilliun/tahun.
Bandingkan luas DKI dengan Riau yang
luasnya lebih besar dari 3 kali Pulau Jawa.
Di Provinsi Riau tidak pernah orang tahu
berapa pembagian hasil minyak dan Gas bumi dengan Pemerintah Pusat. Hanya diberi jatah terkadang 1 trilliun,
kadang 900 milyar, kadang 1,2 tilliun rupiah per-tahun, tidak pasti.
Kita pernah menanyakan berapa uang dari minyak bumi Riau yang 400.000
barrel perhari itu ? Tidak pernah ada jawaban yang pasti angka-angkanya.
Ditanyakan ke Kementerian Keuangan
disuruh bertanya ke Kementerian ESDM (Migas). Ketika ditanyakan ke Kementerian
ESDM (Migas) disuruh bertanya ke Kementerian Keuangan. Demikian pertanyaan itu
hanya disuruh bolak-balik, tidak ada jawaban yang pasti. Provinsi Riau tidak
pernah diberitahu berapa dari hasil eksplorasi minyak bumi di Riau yang katanya
400.000 barel per-hari, hasilnya pertahun berapa, tidak pernah diberitahu.
Provinsi hanya diberi jatah uang sekian-sekian. Lalu diam.
Adalah dusta kalau pemerintahan
Reformasi ini sudah transparans. Rakyat di Riau sampai sekarang masih seperti
dijajah oleh pemerintah Pusat. Karena
semua hasil bumi Riau dibawa ke pusat. Jalan di Sumatera, dari Lampung sampai
Aceh masih merupakan warisan penjajah Belanda. Demikian
pula jalan kereta-api semakin buruk. Di Sumatera jalan kereta Api bukan
bertambah tetapi semakin berkurang.
Zaman Belanda dulu masih ada kereta-api
dari Banda Aceh sampai Rantau Prapat (Sumatera Utara), setelah Indonesia
merdeka sampai sekarang kereta-api itu sudah tidak ada, yang
tertinggal hanya rel-nya saja. Bahkan rel kereta-api dari Medan ke Rantau
prapat sudah bergelombang. Sudah berkurang banyak. Dahulu di zaman Belanda dari Pekan Baru ke
Solok (Padang) ada jalur kereta api, sekarang tidak ada.
Di Sumatera Barat alat transportasi
kereta-api sudah lama mati. Jadi
Sumatera benar-benar sengsara, jalan mobil tidak bertambah, jalur kereta api
semakin habis. Jalan-raya
Kualanamu-Medan sudah 12 tahun tidak pernah beres. Padahal itu jalan
internasional yang menghubungkan Medan dengan Bandara Internasional, tetapi
rusak parah.
Itulah kondisi Indonesia sampai saat
ini. Secara ekonomi tidak merata. Pendidikan hasilnya : Sarjana hanya 2,5% dari
jumlah penduduk. Tamatan SMP-SMA cukup
banyak (40% Tamat SMP-SMA). Buta huruf masih 15%.
Itulah kondisi umat Islam di
Indonesia. Bagaimana dengan kondisi
demikian kita mau lepas tangan, kita mau bersenang-senang ? Tidak mungkin.
Pekerjaan Rumah (PR) kita terlalu berat.
Yang paling mengerikan adalah Pemilu
sekarang. Hasil Pemilu sekarang yang
menang adalah partai yang paling anti Islam. Kemenangan hampir 20% adalah PDI-Perjuangan, partai yang paling anti dengan
Islam.
Dahulu, tahun 1971 Pemilu pertama masa
Orde Baru ada 10 partai. Diantara sepuluh partai tersebut masih ada partai
Islam (Parmusi, Bulan Bintang, NU). Lalu
masih ada Partai Krsiten, Partai Katolik,
Golkar, PNI Front Marhaenis, dll.
Tahun 1977 dari sepuluh partai tersebut oleh Presiden Suharto
di-fusi-kan menjadi 3 (tiga) partai : Partai Persatuan, Golkar dan PDI.
Partai-partai yang bernafaskan Islam
di-fusi-kan menjadi satu parta yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan
lambang : Gambar Ka’bah.
Golkar ditengah (No.2) dengan lambangnya
: Pohon Beringin.
Partai Kristen, Partai Katolik, dan PDI
di fusikan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dengan lambangnya : Gambar Kepala Banteng Semua orang
Kristen-Katolik-Protestan masuk ke PDI.
Bekas-bekas orang PKI dan anak-anaknya
masuk Golkar. Semua pendukung PKI yang sudah bubarkan habis, masuk
(dimaksukkan) ke Golkar, karena takut.
Tahun 1982 karena Partai Persatuan
Pembangunan memakai lambang Ka’bah, oleh
Pemerintah dianggap ampuh, setiap orang Islam mencoblos gambar (lambang)
Ka’bah, dan PPP unggul suaranya di mana-mana,
Golkar sebagai Partai Pemerintah
secara politis merasa kurang puas, merasa dirugikan, maka oleh Pemerintah
diubah lambangnya, harus ber-azaskan Pancasila, semua partai dan Golkar harus
memakai lambang yang ada di Lambang Garuda Pancasila. Maka ketika itu PPP berlambang Bintang, Golkar berlambang Pohon Beringan dan PDI berlambang Kepala Banteng.
Ketika itu (tahun 1982) Pemilu PPP di
wilayah DKI menang mutlak. Ali Murtopo sebagai Ketua Golkar pingsan, sakit dan
meninggal 6 bulan kemudian.
Sekarang tidak heran kalau PDI anti
Islam. Karena di sana tempatnya
orang-orang yang anti Islam (Nasionalis, Kristen, Katholik, Anak-anak orang
Bekas PKI) . Buktinya, bila kita amati dan kita ikuti, terhadap Undang-undang
yang berbau nilai-nilai Islam, mereka menolaknya.
RUU Anti Pornografi, yang draft RUU-nya
dibuat oleh MUI, mereka PDI-P selalu menolaknya. Dari tahun 1999 RUU tersebut di ajukan oleh
Pemerintah kepada DPR-RI baru berhasil disahkan tahun 2010. Selama 11 tahun umat Islam berjuang untuk
membuat UU Anti Pornografi. Yang paling keras menolak adalah PDI-P. Bahkan
dalam proses pembahasaannya mereka Walk Out dari ruang sidang DPR-RI. Alasan mereka : Bagaimana nantinya dengan
orang-orang Papua yang pakaiannya adalah koteka yang secara praktis tidak
berbusana ? Apakah kalau mereka nanti datang di Jakarta harus ditangkap dan
dihukum, karena dianggap porno ?
Waktu itu pihak MUI menjawab : Yoris Raweyai seorang dari Papua
menjadi Anggota DPR-RI, kalau menghadiri sidang ia memakai pakaian lengkap
(Jas, dasi, sepatu). Tidak ada seorangpun orang asli Papua ketika menghadiri
sidang DPR yang memakai koteka. Banyak sekali orang-orang Papua yang pergi ke
Jakarta atau kemana saja, mereka tidak
memakai koteka. Pertanyaan anda adalah pertanyaan yang bodoh, hanya ingin
berdalih dan mengada-ada saja.
Ketika diajukan RUU tentang Pendidikan
Nasional, selama 10 tahun tidak tembus.
Yang paling gigih menolak adalah PDI-P bahkan mereka walk out (keluar)
dari ruang sidang. Kemudian umat Islam
mengerahkan satu juta orang Islam di Jakarta sampai depan gedung DPR-RI. Ketika
diadakan voting ternyata menang, karena Golkar ketika itu berpihak kepada umat
Islam.
Padahal dalam UU Pendidikan Nasional itu
tidak ada satu pasal-pun yang merugikan agama Kristen. Kenapa mereka menolak
? Karena ada satu pasal yaitu Pasal 12-a
yang berbunyi : Tiap-tiap anak didik
berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan
oleh guru yang se-agama dengannya.
Maknanya: Anak orang Hindu berhak
mendapatkan ajaran Hindu diajarkan oleh guru agama Hindu. Demikian pula anak
orang Budha berhak mendapatkan ajaran Budha diajarkan oleh guru agama
Budha, anak orang Kristen berhak mendapatkan
ajaran agama Kristen diajarkan oleh guru agama Kristen. Anak orang Islam berhak
mendapatkan pelajaran agama Islam diajarkan oleh guru agama Islam.
Di mana salahnya ? Kenapa mereka
(Anggota PDI-P) walk out ? Tidak setuju ?.
Karena di sekolah-sekolah Kristen tidak
ada ajaran Islam, yang ada adalah agama Kristen. Dan murid-murid yang beragama
Islam di sekolah itu diwajibkan memimpin do’a secara Kristen bergantian setiap
hari di depan kelas (Oh Bapa kami yang
ada di Surga, berilah keberkatan dalam belajar hari ini. Amen).
Di
Medan,
para Tengku termasuk anak Sultan Deli yang mengaku beragama Islam, tidak ada
yang menyekolahkan anak-anaknya di Sekolah Muhammadiyah, mereka sekolah di
Sekolah Katolik, SD Metodis, Emanuel, dst. karena menurut anggapan mereka
sekolah tersebut adalah sekolah terbaik di Medan. Semua anak muridnya diajarkan berdo’a cara
Kristen.
RUU Pendidikan Nasional berhasil
disahkan, ketika itu Golkar berpihak kepada umat Islam.
Terakhir ini ada RUU Produk Makanan Halal.
Sudah sepuluh tahun kita bangsa Indonesia mau makan yang halal saja
tidak bisa. Karena undang-undangnya tidak ada.
Padahal setiap bulan tidak kurang dari 10 ton daging babi hutan (celeng)
tertangkap di Pelabuhan Bakauheni
diselundupkan dari Lampung menuju Jakarta. Dan tidak bisa diadili (dipenjara) karena
memang tidak ada undang-undangnya.
Kalau tertangkap ada orang yang jual
daging celeng (babi hutan) paling-paling orang itu dihukum percobaan. Karena
memang tidak ada undang-undangnya. Mau
diadili dengan dasar hukum apa ?
Maka umat Islam dengan keinginan keras membuat Undang-undang itu,
lalu ingin diambil alih oleh Pemerintah, maka dibentuk Badan Halal Nasional (BHN). Pihak MUI hanya disuruh hadir, hanya diminta
menyaksikan. Maka MUI bersikap : Kalau Hak sertifikasi Halal tidak
diberikan kepada MUI, silakan Pemerintah ambil semua, tetapi MUI
akan membikin Sertifikasi Halal sendiri.
Dan bila nantinya ada sertifikat Halal dari Kementerian Agama, ternyata
haram, maka MUI akan menyatakan makanan itu haram dan MUI akan membuat
sertifikasi sendiri, rakyat silakan memilih.
Contoh : Kasus Ajinomoto yang dulu
pernah heboh, meskipun dinyatakan halal oleh Pemerintah tetapi MUI mengeluarkan
Fatwa bahwa Ajinomoto haram,
akhirnya Ajinomoto tidak laku. Walaupun sekarang sudah dinyatakan halal, tetapi
Ajinomoto tidak laku.
Sekarang beredar issu bahwa Team
Transisi Jokowi membuat Draft (rancangan) Kabinet yang akan datang tidak lagi
ada Kementerian Agama. Yang akan ada hanya Kementerian Zakat, Haji dan
Wakaf. Ingin seperti Arab Saudi. Menurut
mereka Arab Saudi yang Negara Islam, tidak ada Kementerian agama.
Maka kami jelaskan sebagai berikut:
Dahulu ketika Indonesia hendak menuju
kemerdekaannya PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebagai
kelanjutan dari BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
, di sana ada Ir.Soekarno (Bung Karno), Mohammad Hatta, Kasman Singodimejo,
K.H.Hasyim Asy’ari, H.Agus Salim, dr. Rajiman Wedyodingirat, dan tokoh-tokoh
perjuangan kemerdekaan Indonesia, mereka berkumpul, dan dibuatlah Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta, akhirnya menjadi Pembukaan Undang-undang
Dasar 1945: “Bahwa kemerdekaan adalah hak
segala bangsa oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan peri kemanusiaaan dan peri keadilan, dst.
Kemudian dibuat Draft susunan UUD
Th.1945. yang terdiri 37 Pasal. Selanjutnya
terjadilah Kemerdekaan R.I. pada tanggal 17 Agustus 1945. Malam tanggal 18 Agustus PPKI bersidang untuk
membahas apa yang menjadi Dasar Negara dan Undang-undang Dasar Negara kita.
Dalam persidangan tersebut dibuatlah
Dasar Negara yaitu Pancasila,
diambil dari Piagam Jakarta. Isi Piagam Jakarta itulah yang sampai
sekarang menjadi Pembukaan UUD Tahun 1945.
Pada Alinea ke-empat :
Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa*), Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
*) Teks asli dari Piagam Jakarta : Ketuhanan
yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya
Dalam sidang itu dr. Maramis (salah
seorang anggota PPKI dari Menado, beragama Kristen) keberatan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Ia minta supaya 7 kata itu dihapus.
Alasannya, kalau tujuh kata itu tidak dihapus rakyat Indonesia bagian
timur yang beragama Kristen tidak mau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Padahal 7(tujuh) kata itu tidak akan
merugikan agama Kristen atau agama lain.
Orang beragama lain tidak akan terkena kewajiban itu. Hanya orang Islam saja yang terkena kewajiban
itu. Tetapi mereka tidak mau, kata
Maramis: Nanti orang akan mengatakan
bahwa Negara Indonesia ini Negara Islam.
Maramis minta hanya Ketuhanan
yang Maha Esa, titik. Tidak ada 7 kata sebagaimana tersebut di atas.
Demikian toleransinya para pendahulu
kita yang beragama Islam yang duduk di PPKI ketika itu, meskipun kita umat
Islam ketika itu 90%, tetapi 7 kata tersebut akhirnya tidak dicantumkan. Yang
tercantum sampai sekarang sebagai Dasar Negara Pancasila, Sila pertamanya : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Esok harinya tanggal 18 Agustus 1945 diumumkan
Dasar Negara adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945.
Lalu apa kompensasinya dengan
bertoleransi menghapus tujuh kata tersebut ? Dijelaskan oleh para
tokoh-tokoh umat Islam ketika itu
seperti Hasyim Asy’ari, Kasman
Singodimedjo, dsb:
Bahwa orang Islam itu tidak bisa hidup
tanpa Negara. karena :
1.
Dalam
hal pernikahan, Hadits Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasllam bersabda : Sulthon (Pemerintah)
adalah wali bagi rakyat yang tidak punya wali.
Perempuan yang akan menikah tetapi tidak ada wali, maka walinya adalah
Wali Hakim yaitu : Sulthon
(Negara/Pemerintah). Demikian pula seorang isteri yang hendak meminta cerai
karena alasan yang Syar’i, maka yang memutuskan cerai adalah Negara (Pemerintah, Sulthon).
2.
Bagaimana
kalau Negara kita ini Negara sekuler, di
Negara sekuler tidak boleh uang Negara sepeserpun untuk agama. Meskipun ada
masjid atau gereja rusak, maka Negara tidak boleh campur tangan atau membantu.
Tidak boleh uang Negara untuk keperluan agama. Sedangkan Indonseia adalah
Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UUD 1945 Pasal 29 ayat 1).
Maka kompensasinya diputuskan ketika itu
: Di Indonesia ada Kementerian Agama sebagai
wakil Negara mengurus Umat Islam.
Maka di Indonesia ada Kementerian
(Departemen) Agama, di Negara lain tidak ada.. Berdirilah Negara Republik
Indonesia sejak zaman Soekarno ada
Kementerian Agama. Menterinya bernama
Syaifuddin Zuhri (ketika itu).
Oleh karena itulah, kepala kantor urusan
agama (KUA) tidak boleh dijabat oleh
perempuan. Padahal banyak wanita Indonesia yang sarjana Islam. Dan pejabat
kantor pemerintah yang Golongan IV/E, tetapi tidak boleh menjadi Kepala KUA,
karena Kepala KUA adalah merangkap Wali Hakim (Wali Pernikahan). Sebagai Wakil
Negara (mendapat mandat) untuk menikahkan wanita yang tidak punya Wali ketika
hendak melangsungkan pernikahan.
Maka kalau dihilangkan Departemen
(Kementerian) Agama, hilanglah Wali Hakim.
Kalau Deprtemen Agama dihilangkan, lalu
bagaimana nasib pendidikan agama (Pesantren) yang sudah ada sejak zaman
Belanda, siapa yang akan menanggung ? Maka untuk menampung semua sekolah
nasional yang tidak ikut kurikulum Belanda, Departemen Agama-lah yang
menampung.
Sementara sekolah yang ikut kurikulum
penjajah Belanda di tampung oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
(Departemen P & K).
Untuk sekolah agama (Islam) ditampung
dalam Departemen Agama. Maka Departemen
Agama itu unik, meskipun Departemen Agama tetapi di dalamnya ada Dirjen
Pendidikan. Mendapat anggaran Rp 26 triliun/tahun untuk sekolah-sekolah agama
Ibtida’iyah, Tsanawiyah, ‘Aliyah, dan pondok-pondok Pesantren seluruh
Indonesia.
Sementara itu Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan mendapat 20% dari APBN Rp 1.900 triliun = Rp 400 triliun lebih, untuk pendidikan yang sifatnya
sekuler, yang pelajaran agamanya hanya satu semester. Hanya sekitar 16 kali
tatap-muka, itupun kalau gurunya tidak pernah absen. Kalau absen 7 kali absen
maka hanya 9 kali pertemuan. Untuk pelajaran Wudhu saja belum selesai.
Bagaimana mungkin membuat rakyat Indonesia menjadi rakyat yang bertakwa kepada
Tuhan yang Maha Esa ?
Artinya, untuk membuat baik orang
Indonesia baik yang Islam maupun yang Krsiten jatahnya hanya Rp 374
milyar. Dibagi penduduk Indonesia yang
220 juta maka per-hari Rp 500, - per-orang/sehari. Bagaimana mungkin membuat
rakyat Indonesia menjadi orang sholih ?
APBN kita Rp 400 triliun untuk
Pendidikan. Untuk pendidikan agama hanya
Rp 26 triliun, tidak sampai 10%-nya. Hanya sekitar 6% dari Anggaran Pendidikan
Nasional. Artinya kita umat Islam banyak
didzolimi. Masjid Istiqlal mendapat
jatah dana Rp 3 Milyar/setahun. MUI mendapat Rp 3 milyar/tahun (Tiga milyar per-tahun) untuk 33 Provinsi, sampai
bulan September 2014 ini dananya belum juga cair. Untuk jatah NU dan
Muhammadiyah masing-masing Rp 1 milyar (Satu milyar) setahun, meliputi 33
Provinsi di seluruh Indonesia. Prakteknya : MUI + NU + Muhammadiyah + Masjid
Istiqlal (3 + 1 + 1 + 3 milyar) = 8
(delapan) milyar – setahun. Sampai bulan September 2014 dananya belum cair.
Itu untuk kegiatan agama Islam.
Sementara itu untuk dana pemeliharaan
candi Borobudur dan Prambanan lebih dari Rp 200 milyar
setahun.
Tentu itu uang dari umat Islam, karena
diambil dari APBN. Artinya, masih ada Kementerian Agama saja kita sudah didzolimi,
bagaimana pula kalau Kementerian Agama ditiadakan ? Pantaskah Negara Republik Indonesia yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, masjid Istiqlal setahun hanya mendapat 3
milyar rupiah, sementara Borobudur mendapat jatah 400 milyar rupiah ? Umat
Islam Indonesia didzolimi oleh
Negara.
Itulah cara sistimatis pengikisan Islam
di Indonesia. Pengikisan Islam lainnya
terjadi adalah : Baru-baru ini
ada 5 (lima) orang dari UI (Universitas Indonesia) mengajukan Judicial Review
ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar kawin beda agama diizinkan. Sebab
Undang-undang No.1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) melarang perkawinan beda
agama.
Kalau Judicial Review itu dikabulkan dan
UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) sampai dicabut berarti Negara mengkhianati
UUD 1945. Sebab Pasal 1 bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ayat
2 : Negara menjamin tiap-tiap warga Negara untuk memeluk dan menjalankan
agamanya/kepercayaannya masing-masing. Kecuali itu, semua agama (enam agama) di
Indonesia melarang perkawinan beda agama. Tiba-tiba Negara mengizinkan
perkawinan beda agama ?
Berarti Negara tidak lagi melindungi
agama. Apakah agama akan dihancurkan di Indonesia ?
Tentang polemik Pemilu langsung pejabat
daerah (Gubernur, Bupati/Kepala Daerah)
atau dipilih oleh DPRD, ada issu
seolah-olah kalau pilihan langsung adalah demokratis, sedangkan bila dipilih
oleh DPRD tidak demokratis.
Artinya ada penyesatan opini. Apanya
yang tidak demokratis ? Pilihan langsung
adalah demokratis, demikian pula pilihan
melalui DPRD juga demokratis. Bukankah yang memilih anggota DPRD juga rakyat
langsung ? Bukankah para anggota DPRD itu wakil rakyat juga ? Kalau tidak
percaya dengan anggota DPRD, untuk apa
kita pilih ? Anggota DPRD adalah hasil pilihan kita.
Pancasila yang merupakan
dasar Negara kita didalamnya menyatakan : Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaana dalam permusyawaratan perwakilan. Wakilnya dipilih langsung. Bagaimana bisa
dikatakan pilihan oleh DPRD tidak demokratis ? Issu tersebut merupakan
penyesatan. Waspadalah.
Sekian bahasan mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN
LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.
Wassalamu’alikum
warohmatullahi wabarokatuh.
______________
No comments:
Post a Comment