PENGAJIAN DHUHA
MASJID BAITUSSALAM
Mengasuh Anak
Ketika Orangtua Sibuk Bekerja
Ustadz Bendri Jaisyurrahman
Jum’at, 19 Rabi’ul Awal 1439H – 8 Desember 2017.
Assalamu’alaikum wr.wb.,
Muslimin dan muslimah yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Menurut
pandangan Islam dalam kehidupan sehari-hari, orangtua tidak bisa menghindar
tanggungjawab amanah sebagai seorang ayah-ibu terhadap anak-anaknya yang
kondisinya di era saat ini orangtua selalu sibuk bekerja. Sementara tanggungjawab untuk mendidik anak akan dihisab kelak di Hari Kiamat di hadapan
Allah subhanahu wata’ala.
Bukan berarti
pekerjaan bisa dipakai sebagai alasan untuk membiarkan atau menelantarkan
anak-anak kita. Karena menelantarkan anak-anak adalah termasuk perbuatan dzolim dari orangtuanya
yang menyebabkan Allah murka kepada orangtuanya.
Dalam Hadits
Shahih Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam bersabda : “Cukuplah
seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang yang dibawah tanggungannya”.
Artinya, disebut
berdosa kalau menelantarkan (tidak peduli) kepada anak-anaknya dan orng-oarng
yang ada dibawah tanggungannya. Ibnul
Qoyyim Al Jauziyah dalam kitabnya Tifatul Maulud Bi Ahkamil Maulud
menyebutkan bahwa salah satu orang yang dzolim, orangtua yang menyengsarakan
anaknya di Akhirat, beliau menyatakan : “Betapa banyaknya orangtua yang
menyengsarakan anaknya di dunia dan Akhirat”.
Padhal tidak ada
seorangtua yang berniat ingin menyengsarakan anaknya. Ada tiga macam orang yang menyengsarakan
anaknya di dunia dan Akhirat :
1.
Tidak peduli terhadap urusan anaknya.
Anaknya bisa makan atau tidak, anaknya
sekolah atau tidak, dibiarkan, tidak diperhatikan.
2.
Dia (orangtua itu) tidak mendidiknya
3.
Dia (orangtua) memfasilitasi syahwat
anaknya.
Memfasilitasi
syahwat anak, misalnya dengan membelikan anaknya PS (Play Station), padahal ia tidak tahu bahwa dalam Game PS itu
banyak yang merusak dan meracuni jiwa anak.
Atau orangtua tidak mau diganggu di akhir-pekan, lalu anak dipinjami HP
padahal dalam HP itu ada program-program yang tidak boleh dilihat oleh
anak-anak. Apalagi anak-anak difasilitasi kamar ber-AC, Gadget di tangannya,
maka ketika anak men-Download film porno dalam kamarnya, orangtua tidak akan tahu.
Karena itulah
maka jangan sampai kita disebut sebagai orangtua yang Dzolim. Di tengah
kesibukan kita, maka Allah subhanahu
wata’ala kelak di Akhirat akan menanyakan dan diminta pertnggungjawaban
kita terutama dalam mendidik (mengasuh) anak.
Dalam Hadits
shahih riwayat Imam Muslim, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
pemimpin akan dimintai
pertanggungjawabannya. Khususnya seorang
ayah ia bertanggungjawab atas keluarganya. Dan ia akan ditanya di Akhirat
tentang pertanggungjawaban-nya”.
Maka anda
sebagai kepala keluarga, yang sibuk bekerja, jangan sampai tidak bisa
mempertanggungjawabkan ketika ditanya di Akhirat kelak. Menurut ulama Syaikh Abdullah Nasihu dalam Kitab
Tarbitul ‘Alam Islam mengatakan : “Nanti akan banyak para ayah yang mula-mula melangkahkan kakinya
menuju Surga dengan percaya-diri (PD), karena membawa pahala shodakoh, pahala
Sholat Malam, pahala membaca AlQur’an, tetapi sampai di pintu Surga ada seseorang
yang mencegatnya (menundanya) dengan mengadu kepada Allah subhanahu wata’ala : “Ya
Allah, tahanlah orang ini, aku menuntut hakku”.
Ternyata orang
itu adalah anaknya sendiri ketika di dunia. Kemudian ditanyakan : “Apa hak yang
engkau tuntut dari orang ini?”. Maka jawab orang (anaknya) itu : “Dia tidak
kurang-kurang ibadahnya, rajin Sholat Malam, dan ia rajin beribadah kepada
Allah ketika di dunia, tetapi sebagai anak aku tidak pernah diurusi ketika aku
masih dalam pengasuhannya. Aku menuntut hakku, aku menjadi anak yang melawan,
anak yang sering berbuat dzolim karena tidak dididik oleh ayahku. Aku sering
melanggar perintah-Mu karena aku tidak pernah mendapat pengajaran tentang
Engkau, ya Allah”.
Maka Allah
memanggil orang (si ayah) tersebut, seluruh pahalanya diambil oleh Allah dan
diberikan kepada anaknya dan dosa si anak diberikan kepada ayahnya itu. Maka
orang (si ayah) itu terlantar kelak di Akhirat.
Artinya,
pertanggungjawaban tetap akan dipertanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala di Akhirat. Karena anak merupakan amanah
dari Allah subhanahu wata’ala.
Demikian pula
harus kita pahami bahwa prinsip orangtua bekerja, bukan hanya dirinya saja yang
sibuk. Karena para Nabi terdahulu adalah
manusia-manusia yang sibuk berkerja. Padahal
ketika itu para Nabi bekerja tidak difasilitasi dengan dengan sarana tehnologi
maju untuk ber-interaksi dengan anaknya.
Contoh : Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam hanya satu
tahun sekali pulang menemui anaknya. Demikian pula Nabi-Nabi yang lain, jarang
sekali ber-interaksi dengan anak-anaknya. Tetapi kepedulian tehadap anak-anak
mereka tetap mereka lakukan. Mereka tetap menjalankan tugas terhadap
anak-anaknya.
Misal-nya
seperti yang diceritakan dalam Kitab Sir’alam An Nubala ada seorang
ayah yang bernama Faruh, pulangnya
30 tahun sekali. Faruh adalah seorang Mujahid yang berangkat ke medan perang,
ingin mati syahid, ternyata selama 30 tahun tidak juga mati-syahid, dengan
tubuh yang sudah renta karena usia tua ia pulang kepada keluarganya.
Tetapi ada satu
hal yang mengagumkan bagi anaknya, sehingga anaknya tetap meneruskan
cita-citanya. Meskipun 30 tahun ayahnya tidak pulang, tetapi bila anaknya
ditanya : “Aku ingin meneruskan cita-cita ayahku. Kalau ayahku berjuang di
medan perang dengan pedang, maka aku berjuang dengan pena”.
Nama anaknya itu
yang kemudian kita kenal sebagai Ulama, yaitu
Syaikh Robi’ah Ar Ro’yi. (Kata
“Ar Ro’yi” artinya orang yang pandai
ber-argumentasi, banyak Argumentasi).
Beliau adalah
guru dari Imam Malik, Imam Sofyan Ats Tsauri
dan Imam Abu Hanifah. Memang di Masjid Nabawi ketika itu ada Majlis yang
dihadiri oleh para Ustadz. Para Ustadz
itu belajar dan mendalami agama Islam.
Dan guru para
Ustadz itulah yang bernama Syaikh
Robi’ah Ar Ro’yi, anak dari Faruh yang tidak pulang selama 30 tahun.
Adakah di antara
kita saat ini yang tidak pulang selama 30 tahun karena tugas, adakah yang 10
tahun, atau satu tahun tidak pulang
karena bekerja ?. Ternyata ada yang lebih parah (lama) dibanding kita.
Semantara di
zaman sekarang kita difasilitasi sarana komunikasi maju, sehingga tidak pulang
satu tahun-pun masih bisa terkoneksi. Ada telepon, ada HP, Wats Up dan
sebagainya. Bagaimana halnya dahulu
Nabi Ibrahim a.s. dengan anaknya Ismail a.s.?.
Lalu bagaimana dengan
kondisi kita saat ini sebagai orangtua yang sibuk tetapi tetap bisa mendidik
anak-anak kita ? Ada dua yang harus kita
pahami dalam prinsip pengasuhan :
Pertama:
Menanamkan
persepsi tentang ayah (orangtua) kepada anak secara positif. Persepsi bahwa ketiadaan ayah secara fisik bukan berarti ketiadaan ayah
secara psikis (kejiwaan). Sehingga
anak-anak yang tidak mendapatkan sosok ayah dan ibu secara fisik, mereka tetap
mendapatkan ayah-ibu secara psikis. Mereka bisa mengatakan : Ayahku seorang
yang peduli, ia berjuang di jalan Allah. Persepsi demikian yang harus dibangun dalam
keluarga.
Dalam Kitab
Sirrah Wal Manaqib disebutkan bahwa Umar bin Abdul’Aziz bin Marwan,
mendapatkan tugas dari Khalifah untuk menjadi Gubernur di Mesir, sedngkan ia
berasal dari Madinah. Karena ditugaskan
di Mesir, ia tidak sempat mendidik
anaknya. Saking pedulinya kepada
anaknya, maka ia mencari seorang guru untuk mendidik dan mengajarkan ilmu
kepada anaknya, sebagai pelaksana tugas dari fungsi dan missi yang ia miliki.
Bedanya dengan
kita di Indonesia pada umumnya, bila seorang mencarikan guru untuk anaknya,
maka pesan orangtua itu kepada guru anaknya : “Terserah Pak Ustad, yang penting
anaknya saya menjadi baik”. Sedangkan
Umar bin Abdul ‘Azis bin Marwan mencari guru untuk anaknya dengan menyebutkan
fisi dan missinya sebagai orangtua. : “Ya
Syaikh, aku ingin anakku belajar kepada anda, pertama belajar bahasa Arab dengan baik dan benar,
kedua ajarkan kepada anakku agar ia sholat tepat waktu”.
Sebelum
berangkat tugas di Mesir, Umar bin Abdul ‘Azis berkata kepada guru-anaknya :
“Selama aku di Mesir, tolong kirimkan laporan perkembangan anakku sebulan
sekali”.
Maka
guru-anaknya itu setiap hari menulis perkembangan anak-didiknya itu untuk
dilaporkan sebulan sekali kepada ayahnya (Umar bin Abdul ‘Azis ) di Mesir.
Bayangkan, ketika itu belum ada alat komunikasi yang canggih seperti sekarang.
Maka Umar bin Abdul Aziz selama bertugas di Mesir sebagai Gubernur, beliau
menerima setumpuk surat laporan perkembangan anaknya. Maka setiap beliau
membaca laporan itu, beliau tahu betul perkembangan anaknya, sampai pada suatu
laporan yang tidak mengenakkan hatinya.
Isi surat laporan
itu : Hari ini anak Tuan terlambat
sholatnya, hari ini anak Tuan tertinggal sholatnya satu rokaat dalam sholat
berjamaah, hari ini anak Tuan tidak sempat sholat berjamaah, dst., dst.
Di situlah Umar
bin Abdul ‘Azis merasa khawatir karena selama tugas di Mesir, dengan
meninggalkan anaknya di Madinah, beliau tahu bahwa sholat anaknya berantakan.
Maka diminta
guru-anaknya itu berangkat ke Mesir, untuk dimintai pertanggung-jawabannya dan
ketika sampai di Mesir guru-anaknya itu ditanya : “Kenapa anakku sering
terlambat sholat? Bukankah sudah aku pesankan agar mendidik anakku agar sholat tepat waktu dan belajar
bahasa Arab dengan baik ?”. Maka dengan cepat guru-anaknya itu menjawab : “Anak
Tuan sekarang sudah berbeda, sekarang anak Tuan sudah menjadi ABG, sekarang ia
berambut gondrong, dan ketika hendak sholat ia menyisir rambutnya lama, ia
berdandan lama sekali”.
Anak Umar bin
Abdul Aziz memang dikenal di Madinah sebagai anak-muda Metro-seksual, senang
berdandan, menghias diri. Karena oleh
ayahnya ia selalu dikirim uang dari Mesir sebanyak 1000 Dinar (Bila dikurs
sekarang = Rp 2 milyar). Maka anak itu
membeli parfumnya yang paling mahal, tumpah sedikit saja langung ganti, membeli
lagi. Bajunya selalu paling bagus, beberapa kali pakai langsung ganti baru. Dan
masih banyak lagi kemewahan dan pemborosan lainnya.
Dengan laporan
lisan dari gurunya itu, ayahnya (Umar bin Abdul ‘Azis) menjadi tahu, bahwa
karena dandan telalu lama sholatnya menjadi telat. Maka ditulislah surat kepada
anaknya, isi suratnya : Bersama surat ini
aku utus seorang tukang cukur khusus dari Mesir untuk mencukur gundul kepalamu.
Agar kamu tidak lagi terlambat sholat.
Ketika anak Umar dicukur gundul (habis),
ia berkata : “Ayahku memang jauh di mata
tetapi dekat di hati”.
Itulah yang
tidak dimiliki orangtua zaman sekarang. Karena anak merasa tidak diperhatikan
oleh orangtuanya. Karena sibuk bekerja, sampai mengakibatkan orangtua tidak
peduli kepada anak. Sampai tidak tahu perkembangan anak.
Padahal
seharusnya, bila sibuk bekerja, sampai harus mencarikan guru untuk anaknya,
pastikan guru itu selalu memberikan laopran secara periodik tentang
perkembangan anaknya.
Imam
Sahid Hasan Al Banna dalam
Kitab yang ditulis oleh Lili Nur Aulia dengan judul : Ada
Cinta Di Rumah Hasan Al Banna. Sebagaimana orang mengetahui bahwa Sahid
Hasan Al Banna adalah seorang Muaziz Dakwah di Mesir, jamaahnya ratusan ribu
bahkan jutaan antara lain adalah Jamaah
Al Ihwanul Muslimin di
Mesir. Sampai beliau mendidik Calon Da’i
di Indonesia yaitu Jamaah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), termasuk Hizbut
Tahrir awalnya dulu dipimpin oleh Syaikh Taqiudin Al Nabhani yang merupakan
murid dari Sahid Hasan Al Banna. Karena lalu berbeda pandangan dengan gurunya,
kemudian Syaikh Taqiudin mendirikan Hizbut Tahrir di Indonesia.
Syaikh Sahid
Hasan Al Banna selalu sibuk berdakwah, kemana-mana beliau menenteng Map, isi
Map itu adalah laporan perkembangan anaknya dari isterinya yang sehari-hari
mendidik anaknya. Sehingga suaminya (Syaikh Sahid Hasan Al Bani) tahu dari
laporan isterinya : Anakmu yang bernama Saiful Islam yang berumur satu tahun
lima bulan sekarang sudah bisa bejalan. Anakmu sudah bisa mengucap ini dan itu,
anakmua senang sekali main bola, dst.dst. Semua ditulis dalam laporan surat
dalam Map itu.
Sehingga setiap
kali bertemu dengan anaknya, Syaikh Sahid Hasan Al Banna bertanya : “Bagaimana
dengan main Futsalmu, nak?”. Maka si
anak dengan heran kembali bertanya : “Kok Papa tahu, dari mana?”. Itulah yang menyebabkan si anak merasa
selalu diperhatikan. Maka persepsikan oleh anda sebagai orangtua seperti itu.
Persepsi : Anak tahu bahwa ayahnya sibuk, tetapi
peduli kepadanya.
Jangan smpai
seperti yang terjadi di negeri kita :
1.
Anak merasa tidak dipedulikan oleh
orangtuanya.
2.
Anak dititipkan di pesantren, tetapi orangtua
tidak tahu siapa nama teman akrab-nya
3.
Orangtua tidak tahu anaknya sudah kelas
berapa, dst.dst.
Bagaimana
caranya agar anak punya persepsi sebagaimana tersebut di atas ?
Caranya
:
1.
Konfirmasi setiap hari, bahwa Bapak
tetap peduli kepada anak-anaknya,
2.
Ibu tetap menunjukkan kasih-sayangnya.
Memang banyak
bapak-bapak yang mengatakan : Saya tetap
sayang kepada anak-anak saya. Semua
kebutuhan anak saya cukupi, dst.
Bapak-bapak itu
lupa bahwa yang dimaksud sayang bukanlah apa yang mereka berikan kepada
anak-anak mereka, melainkan : Apa yang
anak-anak terima dari bapak-ibunya.
Sebab banyak orangtua yang mengaku mencintai anak-anaknya, tetapi si anak tidak
pernah merasa dicintai oleh orangtuanya.
Maka sering
terjadi dialog, ketika si anak ditanya :
Bagaimana dengan Bapakmu ? Anak itu menjawab : Bapak jahat. Bagaimana dengan mama-mu ? Anak menjawab : Mama bawel, dst. Orangtua merasa mencintai anak-anaknya,
tetapi si anak menganggap orangtuanya tidak sayang, bawel, cuek, dst.
Sepertinya ada yang “hilang” di sini. Itulah mengapa, bukan banyaknya cinta
yang orangtua berikan melainkan : Apa
yang anak-anak terima dari orangtuanya.
Kita bisa
melihat kisah Nabi Ya’qub ‘alaihissalam
dengan anak-anaknya dalam AlQur’an. Disebutkan
dalam AlQur’an Surat Yusuf ayat 8 :
إِذۡ قَالُواْ لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَىٰٓ
أَبِينَا مِنَّا وَنَحۡنُ عُصۡبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِى ضَلَـٰلٍ۬ مُّبِينٍ (٨)
[Yaitu] ketika mereka berkata:
"Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya [Bunyamin] lebih dicintai oleh
ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita [ini] adalah satu golongan [yang
kuat]. Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. (8)
(Yaitu) ketika mereka berkata: "Sesungguhnya Yusuf
dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita
sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah
kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.
Nabi Ya’qub ‘alaihissalam bila ditanya apakah beliau
sayang kepada anak-anak beliau. Pasti
jawabannya : Aku sayang kepada semua anakku. Tetapi lihat kata-kata anak-anak
Nabi Ya’qub a.s. : Yusuf dan Bunyamin
lebih disayang oleh ayah kita dibanding kepada kita.
Itulah persepsi
anak. Orangtua sering lupa bahwa masalah
cara kasih-sayang kepada anak adalah keliru. Keliru caranya. Masalah inilah
yang membuat anak menolak. Sehingga
salah satu rahasia kesuksesan orang-orangtua terdahulu di tengah kesibukannya,
anak-anak mereka memiliki gambaran dalam diri mereka tentang ayahnya : Ayahku adalah sosok yang hebat, penyayang,
peduli kepadaku, walaupun jarang pulang tetapi ia adalah pahlawanku.
Itulah tugas kita
sebagai orangtua, caranya :
1.
Pastikan pengasuh utamanya yang orangtua
amanahkan selalu menceritakan hal-hal yang positif tetang diri orangtua si
anak.
2.
Pastikan bagi Bapak-bapak yang pulangnya
jarang-jarang, bahwa isteri bapak tidak pernah bercerita negatif tentang Bapak
kepada anak.
3.
Jangan sampai isteri menumpahkan kekesalan
tentang bapaknya kepada anak, karena akibatnya anak tidak akan hormat kepada
bapaknya.
4.
Agar pengasuh selalu menceritakan orangtua
adalah sosok yang hebat, berikan sikap yang baik kepada pengasuh anak.
5.
Jadikan pengasuh utama dari anak kita
adalah juru penerang yang baik bagi anak-anak kita.
6.
Katakan oleh ibunya, bahwa ayah sedang
berjuang.
Kedua
:
Jaga
nama baik keluarga di lingkungan luar,
Karena zaman
sekarang anak sulit tercegah dari informasi tentang keluarganya. Banyak
anak-anak yang kecewa dan kesal serta malu sekali karena mendapat informasi
bahwa dikantor bapaknya terkenal sebagai penggoda wanita. Ada lagi anak yang
mendengar bahwa bapaknya “tukang kawin”, dst. Ada lagi anak yang merasa malu
sekali karena mendengar bahwa ayahnya adalah seorang penipu.
Nama buruk
orangtua menyebabkan anak tidak punya nilai terhadap orangtuanya. I
Sebaliknya ada
anak yang bangga karena mendengar cerita dari orang bahwa ayahnya adalah pekerja
yang rajin, jujur, cerdas, dan sangat dipercaya oleh perusahaan dimana ia
bekerja.
Nama baik dan
buruk zaman seakarang sangat mudah diperoleh bagi anak-anak kita melalui
Medsos, Internet, dst. Maka bila pernah berbuat buruk, berusahalah untuk
menutupinya terutama kepada anak-anak. Dan berusahalah untuk memperbaikinya.
Bila seorang ayah dahulu-nya perokok, maka hentikan kebiasaan merokok. Yang
demikian akan memberi dampak positif terhadap anak-anak dan keluarga.
Kesimpulan, bahwa
untuk mendidik anak maka buatlah persepsi kepada anak :
1.
Persepsi ditanamkan melalu
pengasuh/pendidik,
2.
Persepsi ditanamkan melalui dedikasi di
luar (umum),
3.
Persepsi dikaitkan dengan usaha
memperbaiki diri (orangtua), dan menjaga nama (kehormatan) keluarga,
4.
Persepsi memunculkan dengan memasang di
rumah piagam-piagam perhargaan dari Pemerintah atau Perusahaan tempat orangtua
bekerja, bisa membuat isnpirasi bagi anak-anak. Bisa juga dengan foto-foto
ketika orangtua bertugas, dst.
5.
Persepsi dengan men-siasati merebut
peluang-Emas (Golden Moment) yaitu ayah – ibu yang selalu sibuk tetapi bisa
membuat peluang (kumpul keluarga). Usahakan bersama anak ketika anak sedang
membuat prestasi. Misalnya anak sedang berlomba, atau sedng pentas, ayah-ibunya
bisa mendampingi.
Salah satu yang
diajarkan oleh Islam, ada tiga waktu dimana seorang ayah (ibu) harus hadir
secara fisik dan psikis ditengah kesibukan, untuk menjaga persepsi keadaan
kita, yaitu :
1. Hendaknya orangtua hadir saat anak sedang
sedih. Orangtua yang cepat merespon dengan baik ketika anak sedang sedih, akan
memberikan dampak anak merasa nyaman.
2. Hendaknya orangtua hadir ketika anak
sedang sakit. Karena anak sakit sedang membutuhkan jiwanya ingin disentuh dengan
perhatian orangtuanya.
3. Hendaknya orangtua hadir ketika anak
sedang unjuk-prestasi, sedang pentas, sedang ikut perlombaan, ulang tahun. dst.
Sekian bahasan
mudah-mudahan bermnafaat.
SUBHANAKALLAHUMMA
WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.
Wasalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
_____________
No comments:
Post a Comment