PENGAJIAN DHUHA
MASJID BAITUSSALAM
Rasulullah
S.a.w. : Guru Anak Hebat
Ustadz Sukeri Abdillah
Jum’at, 10 Jumadil Ula 1436H – 6 Maret 2015
Assalamu’alaikum
wr.wb.
Muslimin
dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu
wata’ala,
Ketika seseorang (suami-isteri)
mempunyai anak kecil antara usia 0 – 3 tahun perasaannya sangat senang dan
bahagia, karena anaknya itu hebat, setiap hari si anak selalu ada perkembangan
baru, perilakunya maupun kata-kata dari si mungil yang lucu. Itu menunjukkan bahwa sesungguhnya anak yang
terlahir ke permukaan bumi ini membawa kehebatan. Kehebatan itu berasal dari fitrah yang Allah subhanahu wata’ala tanamkan di dalam jiwa anak tersebut.
1.Anak
adalah fitrah kehebatan.
Secara definitif fitrah yang dimaksud
adalah fitrah kekuatan/kekuasaan. Secara Aqidah kita menyebutkan : Ada tanaman Tauhid
Rububiyah yang Allah sertakan dengan kelahiran anak tersebut. Maka sesungguhnya tugas orangtuanya mengawal
tumbuh-kembang fitrahnya itu supaya kelak di kemudian hari dengan fitrah yang
dimiliknya ia tetap menjadi hamba Allah yang taat dan sebagai penerus
perjuangan Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wasallam, untuk menegakkan agama Allah subhanahu
wata’ala, maka ia senantiasa siaga untuk menjadi penolong-penolong agama
Allah subhanahu wata’ala.
Wujudnya adalah seperti yang difirmankan
Allah subhanahu wata’ala pada
AlQur’an Surat Al Baqarah ayat 21 :
"Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa."
Maka essensi (dasar) ketaatan adalah
perintah Allah subhanahu wata’ala
untuk seluruh umat manusia.
Pertanyaannya, apakah seratus persen manusia mentaati Allah subhanahu wata’ala ? Tidak
semua, manusia yang taat disebut Mukmin dan
yang tidak taat kepada Allah subhanahu
wata’ala disebut Kafir.
Bicara tentang Fitrah menjadi jelas, karena ada orang yang terpelihara fitrahnya sehingga ia mudah taat
kepada Allah subhanahu wata’ala dan
ada orang yang terbengkok-kan fitrahnya sehingga ia tidak bisa taat kepada
Allah subhanahu wata’ala.
Maka perintah Allah subhanahu wata’ala dalam Surat
Ar Ruum ayat 30 :
Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Fitrah
Allah:
Maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
yaitu agama Tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama Tauhid, maka hal itu
tidaklah wajar. Mereka demikian hanyalah karena pengaruh lingkungan.
Berkaitan dengan mendidik anak, berarti
ayat tersebut memerintahkan : Istiqomah-kan wajahmu dan wajah
anak-keturunanmu kepada Din yang lurus (Islam). Wujudnya adalah: Taat kepada Allah subhanahu
wata’ala. Karena ketaatan adalah fitrah manusia, dan Allah tidak pernah
akan merubah essensi penciptaan-Nya. Tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahuinya. Sebagian manusia menjadi taat,
dan sebagian lagi ingkar (maksiat) kepada Allah subhanahu wata’ala.
Dalam sebuah Hadits shahih Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Didiklah budi pekerti anak-nak kalian dan
perbaguslah perilaku mereka”. Perilaku
anak-anak kita harus tegas essensi dasarnya
adalah : Untuk menjadi penolong agama
Allah subhanahu wata’ala.
Kalau kepada Allah ia sudah menjadi
penolong, bukan hanya sekedar taat, agama Allah ditegakkan berarti dijalankan,
tentu Hablumminallah-nya bagus.
(Hubungan dengan Allah bagus). Allah subhanahu
wata’ala berfirman dalam AlQur’an :
“Wahai
orang-orang yang beriman, jika kamu menolong agama Allah, maka Allah pasti akan
menolong kamu dan Allah akan
meneguhkan kedudukanmu”.
Sehingga visi besar mendidiki anak adalah
bagaimana kita para orang tua menjadi penolong agama Allah dengan menyelamatkan
fitrah anak kita supaya anak kita bisa menjadi penolong agama Allah subhanahu wata’ala. Di situlah nanti pertolongan Allah akan
datang. Anak kita akan tumbuh menjadi Qurro
ta a’yun.
Dan kedudukan kita akan diteguhkan oleh
Allah subhanahu wata’ala. Setidaknya
di dunia anak kita sudah mulai tumbuh perasaan cinta kepada orangtuanya dan
kagum kepada ayah-bundanya, hormat kepada orangtuanya dan mendo’akannya.
Ketika kita sebagai orangtuanya meninggal,
bukan saja dido’akan, tetapi kenangan indahnya akan diceritakan kepada
orang-orang dan anak keturunan berikutnya.
Maka sebenarnya anak terlahir dalam
keadaan fitrah, lalu kita menyebutnya : Dalam
keadaan hebat. Yaitu hebat untuk taat kepada Allah subhanahu wata’ala, untuk menolong agama Allah. Itulah yang harus menjadi misi besar kita.
Setiap anak ber-potensi hebat. Sayangnya para orangtua terjebak hanya pada
amaliah-amaliah sesaaat dan duniawi.
Tidak sedikit orangtua yang membangga-kan anaknya : Alhamdulillah, anak saya walupun masih di TK sudah bisa membaca, menulis
dan berhitung. Juga sudah banyak do’a
yang ia hafal.
Pertanyaannya, begitu anaknya sudah di SMP
sudah berapa bahasa yang ia kuasai? Ternyata tidak ada satu bahasa-pun yang ia
kuasai. Doa’-do’anya juga sudah jarang dibaca lagi. Masih hebatkah anaknya itu
?
Jangan-jangan ketika menceritakan
kehebatan anaknya itu hanya pada orientasi sesaat. Menjadi anak hebat hanya
pada profesi dunia. Misalnya: kaya, pangkat tinggi, semua profesi duniawi,
lalu dikatakan anak hebat.
Maka harus kita kembalikan bahwa anak
hebat adalah anak yang taat kepada Allah, siap menjadi penolong agama Allah,
tidak peduli apapun profesinya.
Mestinya demikian itulah yang ada pada
benak setiap kita mansia. Sehingga kelak ketika kita ingin meng-aplikasikan Kalimat
Allah, anak kita tidak mengalami minder
dengan orang lain. Itu jauh lebih
penting. Apalah artinya anak selalu ranking-satu,
selalu juara dalam lomba-lomba, tetapi bila bertemu dengan orang ia minder. Kira-kira berfungsi dengan baik atau tidak interaksi sosialnya kelak ?
Padahal setiap anak berpotensi hebat, maka
kita orangtuanya-lah yang harus memelihara fitrahnya. Kalau fitrah duniawi sudah jelas, tugas orangtua adalah menjaga
tumbuh-kembangnya, mencukupi sandang-pangan-papan dan kecukupan pendidikannya
dan kesehatannya. Kalau itu berjalan baik, maka itu sudah luar-biasa. Tetapi
bukan sebatas itu, mestinya seluruh fasilitas yang didapat oleh anak-anak kita menjadi sarana bagi mereka untuk taat
dan menjadi penolong agama Allah subhanahu wata’ala.
Orangtua harus mengawal kehebatan
moralitas sang anak. Kehebatan moralitas
anak tidak bisa dititipkan kepada orang lain, juga tidak bisa dibeli sampai-pun
di sekolah favourit. Kehebatan moralitas
anak kita tidak bisa dititipkan walaupun di pesantren, walaupun
kepada seorang ustadz. Kembali kepada
basic yaitu orangtuanya. Karena anak tetap membutuhkan sosok, teladan aktual
yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Tanpa peran orang tua, anak bisa mengalami kegagalan spikologis.
Ingat kisah Alqomah, seorang anak muda di zaman Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Ketika menghadapi sakaratul maut Alqomah
sulit mengucapkan kalimat Lailaha illallah. Padahal AlQomah
adalah seorang mujahid, sering ikut
berjihad di medan perang. Ternyata
Alqomah punya seorang ibu yang sudah tua, yang oleh Alqomah tidak dianggap
sebagai ibunya.
Ketika
ibunya diberitahu bahwa anaknya yang bernama Alqomah sedang menghadapi
sakaratulmaut, tetapi sulit sekali
mengucapkan Kalimat Thoyibah yaitu Lailaha illallah, sehingga sulit
sekali matinya. Seketika ibunya tidak
mau mengakui bahwa Alqomah adalah anaknya. Namun setelah dibujuk-bujuk si ibu
tadi mengaku bahwa itu anaknya, tetapi si ibu tidak mau mengakui sebagai
anaknya, karena anak tersebut juga tidak mau mengaku ia sebagai ibunya.
Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menyuruh mengumpulkan kayu bakar untuk
membakar Alqomah dengan seizin ibunya, agar Alqomah segera mati.
Begitu kayu dikumpulkan untuk membuat api
ungun dan AlQomah diangkat hendak di bakar, ternyata si ibu tadi berkata : “Ya
Rasulullah tahan dulu, jangan dibakar anakku”.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam betanya : “Kenapa engkau menahan,
wahai ibu?”. Si ibu berkata : “Ya
Rasulullah, Alqomah adalah anakku, aku tidak tega melihat ia dibakar. Selama
ini ia durhaka kepadaku, tetapi sekarang aku maafkan”.
Begitu ibunya memaafkan, terdengarlah dari
mulut AlQomah suara : Lailaha
illah. Dan meninggallah AlQomah dengan tenang. Kemudian oleh Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabat AlQomah diurus sebagaimana seorang muslimin yang meninggal dunia.
Dalam kisah tersebut tidak pernah
disebut-sebut siapa ayah AlQomah.
Berarti ada figur yang hilang.
Jangan-jangan Alqomah tumbuh dan berkembang tanpa figur seorang ayah. Demikianlah kisah seorang AlQomah. Semula
tragis tetapi akhirnya happy ending.
Bagaimana dengan legenda dari tanah
Minangkabau si Malin Kundang ? Yang
konon disebut anak durhaka terhadap ibunya ? Semua masyarakat Indonesia tentu
sudah tahu kisah Malin Kundang. Perlu
dipertanyakan, siapakah nama ibu Malin
Kundang ? Siapakah nama ayahnya ? Tidak
pernah disebut dalam legenda itu. Namun konon nama ibu Malin Kundang adalah Mande Robayah.
Kurang kasih-sayang apa Mande Robayah
kepada Malin Kundang, putera satu-satunya sejak kecil diasuh dengan
kasih-sayang, dibesarkan dan dididik oleh ibunya. Setelah besar Malin Kundang minta izin kepada
ibunya untuk merantau yang alasannya ketika itu untuk merubah nasib. Siapa tahu
bisa menjadi orang kaya-raya.
Itulah kalau orang tua mendidik anaknya hanya
ber-orientasinya hanya soal dunia saja,
pasti sukses, karena setiap anak mempunyai kehebatan. Masalahnya, orangtuanya percaya atau tidak,
membimbing atau tidak mengembangkan kehebatannya itu. Yang lebih hebat adalah mestinya anak taat
dan menjadi penolong agama Allah subhanahu
wata’ala. Jangan sampai terulang tragedi
Malin Kundang.
Pergi merantau hanya untuk mengubah nasib
dan diizinkan oleh ibunya. Apa yang terjadi setelah bertahu-tahun kemudian
? Malin Kundang pulang dengan membawa
kapal besar penuh dengan harta. Ia
disambut oleh seluruh penduduk kampung.
Di tengah kerumunan para penyambut itu ibunya dengan tertatih-tatih
berusaha memeluk Malin Kundang.
Tetapi Malin kundang dengan gagahnya
menepis pelukan ibunya. Sambil bertanya dengan congkaknya: “Cih, siapa kamu,
wanita tua renta ?”.
Ibunya mundur sedikit, berkata : “Aku ini
ibumu, nak. Kamu Malin Kundang anakku bukan ?”.
Malin Kundang berkata : “Aku tidak punya ibu seperti kamu. Aku ini
saudagar kaya-raya, tidak pantas mempunyai ibu seperti kamu”.
Yang perlu dipertanyakan, siapa dan di
manakah ayah Malin Kundang ? Di manakah peran seorang ayah dalam legenda Malin
Kundang ? Tidak ada.
Mande Robayah membesarkan Malin Kundang
untuk taat kepada Allah, menolong agama Allah atau mencari duniawi ? Jadi yang salah Malin Kundang atau Mande
Robayah ?
Selanjutnya Mande Robayah semakin terlihat
nafsu duniawinya, ketika Malin Kundang benar-benar tidak mau mengakuinya
sebagai ibunya, kapal berbalik menuju tempat tinggalnya, Mende Robayah mendo’akan
keburukan untuk anaknya (Malin Kundang).
Halilintar menyambar, badai menyapu, gelombang menghantam kapalnya
pecah, dan salah satu awak kapalnya terdampar ke tepian. Dan Mande Robayah
mengutuk anaknya (Malin Kundang) menjadi batu.
Demikian cerita dramanya. Ada seorang ibu mengutuk anaknya.
Itulah kalau orientasi pendidikan bukan
taat dan menolong agama Allah subhanahu
wata’ala. Orangtua-pun menjebakkan
diri pada kalimat-kalimat keburukan. Kenapa orangtua harus menjaga moralitas
anaknya ? Karena anak berpotensi menjadi musuh.
Allah subhanahu
wata’ala menjelaskan dalam Surat At
Taghobun ayat 14 :
Hai
orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada
yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika
kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Maksudnya: Kadang-kadang isteri atau anak
dapat menjerumuskan suami atau Ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
tidak dibenarkan agama.
2. Anak
bisa menjadi fitnah.
Dan kehebatan anak kemungkinan bisa
menjadi alat untuk menentang orangtua. Karena anak terlalu dimanja dan
difasilitasi dan orangtuanya berorientasi mendidik anaknya hanya pada urusan duniawi saja. Maka bila tidak dituruti kemauannya, si anak
mengancam kepada orangtuanya. Singkat
cerita, akhirnya si anak merongrong orangtuanya. Oleh karena itu anak bisa
menjadi fitnah (ujian). Maka perlu
dijaga moralitasnya.
Lihat Surat
At Taghobun ayat 15 :
Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala
yang besar.
Anak yang menjadi fitnah bagi orangtuanya,
maka si orang tuanya tidak bisa khusyu’ beribadah. Orangtuanya menjadi sulit
menyuarakan kebenaran. Karena anaknya juga berperilaku tidak benar. Karena anak
menjadi fitnah dalam kehidupannya.
3.Anak
bisa menjadi perhiasan.
Bila anak bisa menjadi orang yang sukses
dunia dan Akhirat maka bisa menjadi perhiasan.
Lihat Surat Al Kahfi ayat 46 :
Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.
Kebanyakan orang berorientasi kepada
kesuksesan anaknya. Karena yang namanya
perhiasan itu hanya indah diucapkan dan manis didengar, tetapi tidak bisa dinikmati. Karena masih harus
ada upaya lagi, yaitu bagaimana orangtua tetap ikhlas.
Maka harus kita fahami bahwa mendidik anak
tidak hanya pada sebatas sebagaimana
disebut di atas. Ada yang tertinggi, yaitu Qurrota a’yun (Penyejuk pandangan). Lihat Surat
Al Furqon ayat 74 :
Dan
orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isterik kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.
Itulah yang terpenting, yaitu anak kami
kecuali menjadi penolong agama Allah, juga menjadi imam bagi orang-orang yang
bertakwa. Artinya menjadi teladan bagi
orang-orang yang beriman.
Memang tidak mudah membuat anak bisa menjadi imam bagi orang-orang yang
bertakwa. Karena tidak mudah (susah)
maka besar sekali pahalanya. Tetapi juga mudah karena kita sudah mempunyai
teladan dalam kita meng-orientasikan diri, meng-upgrade potensi kehebatan
anak-anak kita. Jangan hebat dalam semusim atau hebat dalam satu sisi saja.
Kita lihat di dunia ini ada sosok hebat
dalam setiap fase kehidupannya, beliau adalah Rasulullah Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam. Seharusnya
kita mencontoh (meneladani) beliau, untuk menjadi bekal kita, untuk menjaga
kehebatan moralitas anak kita, sehingga anak kita betul-betul menjadi manusia paripurna
sebagaimana tauladan kita yaitu Rasulullah Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam.
Essensi
dasar
tugas kita orangtua, adalah :
1.
Mengawal anak kita supaya mereka menjadi orang yang
taat kepada Allah subhanahu
wata’ala.
2.
Menjadi penolong agama Allah. Untuk itu anak kita harus disandarkan
keteladanannya kepada Rasulullah shollalalahu
‘alaihi wasallam.
Kehebatan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pada setiap fase kehidupan beliau
adalah :
1. Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam terlahir
dalam keadaan yatim. Usia 0 (nol) tahun
beliau ditawarkan untuk memilih ibu-susu, siapa yang akan menyusui
beliau. Maka datang wanita masih muda
yang payudaranya masih montok, masih segar air susunya, tetapi beliau (bayi
Muhammad) tidak mau menyusu. Barulah setelah datang Halimatussa’diyah wanita yang sudah tua, payudaranya-pun sudah
mulai mengempis, justru dialah yang dipilih (dimaui) oleh bayi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam untuk
menyusu.
2. Setelah menjadi
anak remaja, usia sekitar 7-8 tahun
sebelum menjadi pedagang beliau (Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam) tinggal bersama paman beliau Abu
Thalib. Beliau bisa menggembalakan kambing sebanyak 100 (seratus) ekor. Dan itupun bukan kambing milik pamannya (Abu
Thalib) saja, tetapi juga kambing milik orang lain, tetangga dan seterusnya.
Itulah prestasi beliau sejak masih remaja kecil. (Catatan : Kita seusia itu
menjadi apa, dan apa prestasi kita?).
3. Ketika usia 13
tahun beliau sudah menjadi pedagang.
Prestasi beliau adalah perlakuan terhadap barang-barang dagangan. Kalau pedagang lain ketika mengangkat barang
dan meletakkannya adalah dengan kasar, dilemparkan sehingga banyak barang
dagangan yanag rusak. Tetapi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasalalam sangat
berhati-hati dalam mengangkat dan meletakkan barang dagangan. Ketika membuka dari bungkusanya-pun dengan
berhati-hati, lalu dipilih mana yang bagus, yang cacat dan mana yang tidak
pantas untuk dijual. Semuanya
dipilah-pilah dan harganyapun dibedakan dengan barang yang kualitasnya bagus. Beliau seorang pedagang yang baik dan jujur. (Catatan:
Kita seusia itu menjadi apa, dan apa prestasi kita?).
4. Pada usia 15 tahun
beliau bergabung dalam peperangan (Perang Fijar) membela negerinya dari
serangan musuh. Tugas beliau adalah memungut anak panah di tengah
pertempuran. Kelihatannya tugas remeh,
tetapi sungguh berbahaya, karena harus memungut anak panah ditengah-tengah
hujan anak-panah. Beliau bergabung dalam bela tanah air dalam usia muda.
(Catatan: Pernahkah ketika seusia itu kita ikut berperang, dan apa prestasi
kita ketika seusia itu ?).
5.
Pada usia 18 tahun beliau memimpin usaha dagang antar
Negara (sekarang disebut ekspor-impor). Saat itulah paman beliau (Abu Thalib)
menyerahkan segala usahanya kepada Muhammad shollallahu
‘alaihi wasallam. Kunci-kunci
perniagaan diserahkan kepada keponakannya (Muhammad saw). (Catatan: Pada usia
18 tahun kita menjadi apa dan apa prestasi kita ?).
6.
Pada usia 20 tahun Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam menjadi tokoh pedagang yang sukses
bersama tokoh-tokoh pedagang yang lain. (Sekarang disebut: CEO Holding
Company). Dan seorang wanita pedagang
kaya-raya di kota Mekkah (bernama Khodijah binti Khuwailid)) mengajak untuk
bergabung (merger) dalam usaha dagangnya, sehingga beliau benar-benar menjadi orang
terpandang, sangat handal dalam usahanya, dan menjadi pedagang kaya.
7.
Pada usia 25 tahun Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, pemuda yang berprestasi gemilang
tetapi ummi (buta aksara) itu dilamar oleh Khodijah bin Khuwailid
untuk menikahinya. Ketika menikah dengan Khodijah bin Khuwailid, Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam memberikan
mahar unta merah sebanyak 20 (duapuluh) ekor. (Catatan: Unta merah merupakan
kendaraan terbaik ketika itu dan mahal harganya. Sekarang senilai mobil Mercy).
8.
Ketika usia 37 – 40 tahun beliau Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam memimpin
perletakan batu Hajar Aswad di sudut
Ka’bah. Ketika itu terjadi kasus, perebutan kehormatan antar suku di Makkah,
siapa yang akan meletakkan batu Hajar Aswad di sudut Ka’bah. Dengan sangat
bijaksana Muhammad mengajak setiap kepala suku untuk mengangkat bersama
(menggotong) batu hajar Aswad dan diletakkan bersama-sama dengan dipimpin oleh beliau
Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam,
di sudut Ka’bah. Kemudian beliau
mendapat gelar dari penduduk Mekkah sebagai Al Amin (Gelar
Ter-percaya). Bukti bahwa beliau sangat tinggi kepeduliannya terhadap
masyarakat di negerinya.
9.
Dianugerahi derajat ke-Nabian dan ke-Rasulan oleh Allah subhanahu wata’ala pada usia beliau 40
tahun (kira-kira tahun 611 Masehi). Dari saat itulah aktivitas-aktivitas beliau
yang bersifat usaha materi-duniawi secara perlahan tetapi pasti, beliau
lepaskan. Kemudian beliau masuk ke dalam wilayah-wilayah Hukumah, penegakan
hukum-hukum Syari’at, dengan penanaman Aqidah yang kuat dan
pembenahan-pembenahan moralitas masyarakat.
Maka Aqidahnya :
Asyhadu an lailaha illallah wa asyhadu
anna Muhammadarrasulullah, (bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
patut disembah kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah).
Bahwa : Aku diutus oleh Allah untuk “memerangi” semua manusia sehingga mereka
menyaksikan bahwa Tidak ada Illah (sesembahan) kecuali Allah dan aku (Muhammad)
adalah Rasul (utusan)-Nya.
Tetapi dalam praktek kesehariannya yang
beliau manintenance adalah : Moralitas masyarakatnya. Maka meskipun Islam sudah tegak, bukan
berarti saat itu tidak ada kasus dalam kejahatan sosial, tetap ada, tetapi
karena beliau membawa nilai-nilai Islam, secara hati dan aktivitas duniawi
beliau tidak terlibat dalam amaliah-amaliah praktis duniawi, di sinilah beliau bisa menjaga
konsistensi-hati.
Penegakan hukum menuntut kita untuk tidak
terlibat langsung dalam aktivitas di mana kita akan menegakkan hukum di
dalamnya. (Contoh sederhana: Untuk melarang merokok kepada anak jangan sambil
merokok).
Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN
LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.
Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
____________
No comments:
Post a Comment