Translate

Thursday, May 21, 2015

Harta Waris, oleh : Ustadz Edi Candra, Lc, M.E.I.



 PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM

 Harta Waris
 Ustadz  Edi Candra,  Lc, M.E.I.

Jum’at,  26 Rojab 1436H – 15 Mei 2015

 Assalamu’alaikum wr.wb.,


Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Bahasan kali ini adalah tentang Hukum Waris. Namun sebelumnya perlu disampai-kan pendahuluan tentang landasan berfikir tentang Hukum Waris, yaitu bahwa kita melandasi thema Waris berdasarkan Kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala, agar ada persamaan persepsi seluruh kaum muslimin.

Tentang kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala banyak kita jumpai dalam AlQur’an, antara lain Surat An Nisaa’ ayat 59 :

سُوۡرَةُ النِّسَاء

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡ‌ۖ فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِى شَىۡءٍ۬ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ‌ۚ ذَٲلِكَ خَيۡرٌ۬ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلاً (٥٩)


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Juga dalam Surat Muhammad ayat 33 :

سُوۡرَةُ محَمَّد

۞ يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَلَا تُبۡطِلُوٓاْ أَعۡمَـٰلَكُمۡ (٣٣)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.

Maksudnya, patuhilah Allah dan Rasul-Nya, jangan kalian membuat tak bernilai amal-kalian.

Seandainya ada orang bertanya apa yang membedakan Waris dalam Islam dengan Waris yang bukan dari Islam, maka jawabannya adalah : Dalam hal kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala. Bagi orang-orang dari agama selain Islam, mereka juga memiliki konsep Waris. Tetapi kita tidak tahu mereka menjalankan Hukum Waris itu berdasarkan apa,  apakah menurut logika sehat mereka.  Yang pasti bila ditelusuri apa yang membedakan umat Islam dan non Muslim hanya satu : Kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala. 

Juga dalam konsep kebaikan, kita tidak tahu mereka (non Muslim) berdasarkan apa?. Kalaupun kita tanya kepada mereka (non Muslim) mengadakan kebaikan, paling-paling jawaban mereka : Agar merasa bahagia. Sementara umat Islam ketika melakukan kebaikan, bukan karena agar bahagia atau sebab lain, kecuali karena  Kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala.

Dan kita sebagai muslim yakin bahwa apapun yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala pasti baik, tidak mungkin buruk. Itulah landasan kita sebagai seorang muslim.
Supaya kita tidak terkecoh dengan opini-opini intelektual yang mengatakan : Bahwa semua agama itu sama. Semua agama mengajarkan kebaikan, kejujuran, dst. Demikian juga Islam mengajarkan kebaikan, kejujuran dst. Artinya semua agama adalah sama. Itu kata mereka.

Padahal masing-masing agama tidak sama. Sebab kalau orang non Islam melakukan kebaikan lalu ditanya apakah itu berdasarkan Kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala ?,  Mereka akan mengatakan “Ya”, tetapi mungkin akan mengatakan : Karena Dewa kami,  atau karena Tuhan kami . Padahal bila ditelusuri dalam kitab ajaran mereka tidak ada ajaran Kepatuhan kepada Tuhan mereka. Mana buktinya?. Juga tidak ada konsep Kepatuhan dalam ajaran Kristen.

Hanya dalam Islam-lah adanya Konsep Kepatuhan. Orang beragama non Islam bila ditanya kenapa anda melakuan kebaikan ? Maka mereka akan menjawab : “Ya, karena saya merasa bahagia ketika melakukan kebaikan”. Artinya yang dikejar mereka hanyalah kebaikan untuk sekarang, bukan Akhirat.
Sementara ajaran Islam mengatakan bila orang Islam melakukan suatu kebaikan, dengan sabar, mengorbankan sebagian hartanya, dalam menghadapi persoalan harus dengan jujur, terkadang pahit dirasakan, semua itu adalah berdasarkan Kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala. Bukan karena yang lain.  Dan Allah subhanahu wata’ala menjanjikan “sesuatu” bagi orang yang patuh itu, kelak setelah ia mati (di Akhirat).

Di sinilah letak dasar yang paling penting, bahwa umat Islam harus meyakini.  Pada akhirnya yang membedakan antara umat muslim dan non-muslim adalah kepercayaan mereka terhadap berita AlQur’an.  Kalau orang tidak percaya kepada berita AlQur’an, maka tidak usah dianggap ia seorang muslim. Selesai sudah urusannya.  Karena orang Kristen atau Yahudi-pun mereka percaya kepada Allah.  Persoalannya adalah :  Mereka tidak percaya dengan berita dari Allah (AlQur’an).

AlQur’an sudah 1400 tahun lebih diturunkan dan kita umat muslim sudah berjarak sekian ribu tahun itu sejak turunnya itu, wahyunya tetap begitu adanya tidak pernah berubah. Umatnya sudah saling berganti hidup-mati, tetapi AlQur’an tetap begitu adanya, demikian konsepnya. Dan apa yang kita baca sekarang, itulah yang dibacakan oleh Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada satu huruf-pun yang berubah. 

Berangkat dari berita AlQur’an yang merupakan berita dari Allah subhanahu wata’ala, dan kita melaksanakan kebaikan atas dasar perintah atau larangan dari Allah, maka itulah bukti kepatuhan kita kepada Allah subhanahu wata’ala.

Harta Waris.
Kenapa ada Bab Waris di kalangan kaum muslimin, adalah karena kepatuhan kita kepada perintah Allah subhanahu wata’ala dalam AlQur’an Surat An Nisaa’ ayat 11 – 14. 
Namun demikian ada satu lagi yang sangat mendasar sebelum Bab Waris.
Ada 4 istilah (perkara) yang berbeda : Hibah, Wasiat, Waris dan Waqaf.

Hibah adalah pemberian barang/harta dari seseorang kepada orang lain, dan pada saat diberikan itu maka berpindahlah Hak Kepemilikannya atas barang/harta itu.
Wasiat adalah pesan dari seseorang apabila ia sudah meninggal (mati) maka hartanya agar diberikan (dibagi) kepada pihak-pihak yang disebutkan dalam wasiat tersebut.

Waris, adalah harta (barang) yang ditinggalkan setelah seseorang meninggal (mati).  Dan Waris itu berpindah kepemilikannya kepada Allah subhanahu wata’ala terlebih dahulu (yang memiliki), setelah itu Hukum Allah yang mendistribusikan kepada siapa yang berhak atas harta waris itu.
Apabila ada orang yang mengambil harta waris tersebut di luar Hukum Allah berarti ia mengambil harta itu dengan cara bathil, dan itu terlarang.

Waqaf adalah harta yang terputus dari pemilik-nya dan tidak bisa dimiliki oleh siapapun karena harta itu sudah diserahkan (diputuskan kepemilikannya) kepada suatu lembaga. Kalau ada orang yang menguasainya maka ia hanya sebagai pengelola, bukan pemilik harta Waqaf itu.

Dalam hal Waris, maka harus adanya kematian seseorang.  Tidak bisa dikatakan membagi Waris bila tidak terjadi adanya kematian seseorang. Maka membagi harta Waris adalah setelah meninggalnya seseorang yang punya harta waris.  Tidak boleh membagi waris ketika orang yang punya harta itu masih hidup.

Bila terjadi seseorang meninggal dunia, maka harus dicatat : 
1.     Tentang informasi kejadian (kematian) : Hari, Tanggal, Bulan dan Tahun.
2.     Tentang siapa ahli waris yang berhak dan masih hidup ketika terjadi kematian dimaksud.
3.     Tentang data asset (harta) dari orang yang meninggal, yang murni miliknya, yang sudah dipisah dari harta milik bersama. Harta milik bersama bukan harta warisan dan tidak ikut dibagikan.

Hal-hal tersebut diatas yang sering menjadi pokok pangkal keributan (permasalah-an) antara ahli waris. Tentang aturan pembagian harta waris sudah jelas dalam AlQur’an, tidak perlu diotak-atik lagi. Permasalahannya : Harta waris mana yang harus dibagi. Itulah yang harus jelas. 

Hukum Fiqih Islam harus berbasis Kejelasan.  Tidak ada cerita Pembagian Waris sebelum jelas Status Kepemilikan harta (warisan). Karena kita orang Indonesia menganut sistim Kepemilikan Bersama. Itu disebabkan karena adanya isteri yang bekerja, mendapatkan penghasilan, dst. Akhirnya sering terjadi tidak jelas kepemilikan harta dalam satu keluarga. Tidak jelas mana harta suami dan mana harta isteri.
Maka bahasan ini belum bicara masalah Waris, melainkan baru pada masalah Kepemilikan Harta.  Harta itu milik siapa. Berkaitan dengan hukum di Indonesia, apabila seseorang menikah, kalau tidak ada perjanjian Pra-Nikah, maka harta yang diperoleh dalam masa pernikahan (berkeluarga) maka harta yang diperoleh menjadi harta bersama. Akibatnya apabila sampai terjadi salah seorang dari pasangan keluarga itu meninggal, hartanya (Warisannya) menjadi tidak jelas. Bila seseorang suami meninggal, lalu isteri mendapat harta warisan seperdelapan dari harta waris, adalah harta waris yang mana ? Karena status kepemilikan harta  selama ini adalah kepemilikan bersama, tidak jelas.

Padahal Menurut Fiqih Islam,  status kepemilikan harta harus jelas.  Bila belum jelas kepemilikan harta Waris harus dijelaskan terlebih dahulu, sebelum dibagi waris.  Persengketaan pembagian waris selama ini adalah karena status kepemilikan harta waris. .  Maka bila itu terjadi ada dua kemungkinannya, yaitu Islah (kesepatan para ahli waris), dan diperkarakan di Pengadilan.   Akan terjadi sengketa apabila ada salah seorang ahli waris menolak (keberatan) ketika diadakan pembagian warisan.

Pembagian harta itu terjadi bukan saja karena adanya kematian, tetapi bisa saja terjadi ketika terjadi perceraian, atau pada saat suami menikah lagi. Biasanya isteri pertama akan menuntut ke Pengadilan atas hartanya yang masih tergabung dengan harta suaminya yang menjadi milik bersama. Padahal antara mereka tidak ada perjanjian Pra-Nikah.
Demikianlah yang terjadi berkaitan dengan Status Kepemilikan Harta.

Kepemilikan Harta ada tiga kemungkinan dalam Islam :
1.     Harta milik suami,
2.     Harta milik isteri,
3.     Harta milik bersama (antara suami dan isteri), yang harus jelas berapa perbandingannya sesuai dengan perjanjian Pra-Nikah.

Bila tidak ada Perjanjian Pra-Nikah, padahal ahli warisnya semua perempuan, maka saudara dari suami yang meninggal berhak mendapat bagian warisan.  Maka untuk jelasnya, agar dilakukan pemisahan status kepemilikan harta, mana yang milik suami (yang meninggal) dan mana harta yang milik isterinya.  Dan demikian itu sering terjadi di Pengadilan.

Hibah harta suami kepada isteri, tidak merubah pembagian harta waris di mata hukum.  Meskipun dikatakan bahwa rumah sudah atas nama isterinya, tetap harta berupa rumah harus dibagi sebagai harta waris. Bukan menjadi milik isterinya, hanya karena sudah ada hibah dari suami.

Di situlah permasalah waris, bukan pada porsi pembagian warisan, melainkan pada Status Kepemilikan Harta Warisan.  Dan kita harus ingat dengan perintah Allah subhanahu wata’ala dalam AlQur’an :
Jangan kalian menikmati (memakan) suatu harta antara sesama kalian dengan cara bathil”.
 Disebutkan dengan “cara yang bathil” berarti ada cara yang Haq (yang benar).

Cara pemindahan kepemilikan harta ada bermacam-macam, ada yang Haq (benar) ada yang Bathil,  ada yang halal dan ada yang haram. Dalam Fiqih Islam,  harta Negara adalah halal.  Jadi tidak usah dipermasalahkan apakah gaji PNS itu dari uang halal atau bercampur haram.  Menurut Fiqih Islam harta Negara adalah netral, tidak bisa dikatakan haram atau halal. Hanya Negara yang bisa menguasai asset dan  setiap asset pasti ada pemiliknya. Tidak ada cerita, karena pajak perusahaan minuman keras maka dibuang ke laut saja. Tidak ada hukum demikian itu. Semua itu adalah sah dikuasai oleh Negara.

Pada saat pemindahan pemilikan dari Negara ke perorangan,  itulah yang harus jelas.  Harus dilindungi oleh undang-undang. Kalau jelas dilindungi oleh undang-undang maka halal untuk diterima. 

Perpindahan  Kepemilikan harta banyak modelnya dalam Fiqih Islam, misalnya karena Akad (transaksi) yang bermacam-macam : Jual-beli, Hibah, Upah/Gaji, Akad Investasi yang halal, dst.  Artinya berpindah kepemilikannya.
Karena kita hanya boleh memiliki barang (harta) yang sesuai dengan aturan (Hukum Allah).   Kalau ada orang memiliki asset di luar aturan Allah, maka itu adalah barang haram dan tidak sah menjadi harta waris. Tidak sah dijual-belikan,   atau dimiliki,  apalagi dijadikan harta waris. Apalagi disedekahkan, tidak sah. Na’udzubillah min dzalik. !.

Maka perpindahan harta dari kita atau dari orang kepada kita harus dengan cara yang benar dan jelas. Hukum Islam mendasari itu. AlQur’an dengan jelas mengajarkan : “Jangan engkau memakan harta antara sesama kamu dengan cara yang bathil”.


Dalam Islam ada Kepemilikan Harta bersama yaitu yang disebut Musyarokah.
Ada bermacam-macam Musyarokah misalnya :  Musyarokah Usaha, dari beberapa orang masing masing anggota menyetor modal untuk suatu usaha dagang. Labanya di bagi bersama sesuai dengan kesepakatan.

Kemudian ada orang bertanya, adakah dalam Islam Harta Gono-Gini ? Kalau istilah Gono-gini tidak ada, tetapi bila itu yang dimaksudkan adalah harta bersama dan kepemilikan bersama antara suami isteri, ada dalam Fiqih Islam dan itu dilindungi oleh Hukum Fiqih.

Tetapi untuk lebih aman, seharusnya kepemilikan itu dipisah. Tetapi sulit juga bila diadakan perjanjian semisal perjanjian Pra-Nikah. Tidak bisa lalu didaftarkan ke notaris. Namun demikian bila dipermasalahkan maka akan menjadi masalah.  Sebaliknya kalau damai-damai saja, insya Allah tidak akan menjadi masalah.
Biasanya akan menjadi masalah kalau asset (harta) itu sudah menjadi besar (banyak).

Bagaimana porsinya masing-masing,  sudah ada pembagiannya secara Hukum Fiqih. Tetapi yang penting harus ada adalah data kepemilikan orang yang meninggal, yang murni miliknya yang sudah dipisahkan dari kepemilikan bersama.
Bila sudah jelas dan harta tidak tercampur dengan milik siapa-siapa, silakan dibagi menurut porsinya (pembagiannya) masing-masing.

Tetapi bila terjadi persengketaan dan tidak bisa damai, silakan perkaranya di bawa ke Pengadilan Agama setempat, yang tentunya berdasarkan Hukum Islam.
Perkara tersebut biasanya terjadi karena :
1.     Assetnya berjumlah banyak,
2.     Terlalu lama sejak meninggalnya seseorang warisan tidak segera dibagi.

Tetapi aturan pembagian waris sudah jelas dalam AlQur’an dan Hadits. Untuk lebih mudah mengingatnya adalah :
-         Dimulai dari  setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8).
-         Duapertiga (2/3),  sepertiga (1/3), seperenam (1/6).
-         Bagian laki-laki adalah duakali bagian perempuan.

Artinya, hukum Waris itu mudah untuk diingat, pihak-pihak yang menerima sudah jelas.  Fokus yang penting adalah : Periksa (cek) lagi Kepemilikan harta di rumah.
Kalau ayah menghibahkan sesuatu kepada anaknya, maka itu adalah Hibah (pemberian), dan berpindahlah kepemilikannya selagi masih hidup.

Bolehkah seorang ayah meng-Hibahkan hartanya kepada semua anak-anaknya, harta dibagi rata baik anak laki-laki maupun perempuan?.  
Justru itu yang dianjurkan, justru demikian itu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menganjurkannya. Harus adil dalam meng-hibah kepada anak-anaknya.

Daalam pembagian Waris maka yang berlaku adalah Hukum Allah subhanahu wata’ala. Umat harus patuh kepada Hukum Allah subhanahu wata’ala.
Demikian bahasan tentang Waris, sebagai pendahuluan maka yang kita bahas terlebih dahulu adalah : Harus jelas status Kepemilikan Harta.

Tanya-Jawab.

Pertanyaan:
1.     Menurut Adat Sumatera Utara bahwa Hak kepemilikan harta ada pada orang laki-laki, sementara orang perempuan tidak punya Hak.  Sedangkan adat di Sumatera Barat (Minangkabau) Ahli Waris ada pada anak perempuan, anak laki-laki tidak berhak atas warisan orangtuanya. Bagimana cara yang sebaik-baiknya ketika kita membagi waris ?
2.     Ketika ada seorang ayah meninggal dan ternyata istrinya sudah meninggal jauh hari sebelumnya, lalu datang seorang ibu yang mengaku isteri-sirinya dan ada anak dari perkawinan sirinya itu, apakah harta waris yang sudah dibagi berdasarkan Hukum Faraidh (Hukum Islam), harus diulang, agar si ibu yang datang belakangan itu ikut mendapaatkan bagian warisannya ?

Jawaban:
1.     Berkaitan Hukum Adat, maka sejak awal bahasan kita sudah sampaikan tentang Kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala.  Maka hendaknya ditentukan Hak Miliknya, Bacakan hak (porsinya), bagiannya masing-masing, secara Hukum Allah subhanahu wata’ala.  Sadarkan para ahli waris itu agar taat (patuh) kepada Allah dan Rasul-Nya.
2.     Bila ada seseorang ibu datang kemudian, yang mengaku sebagai isteri-siri, maka secara Pengadilan Agama ia tidak mendapatkan bagian waris, karena ia tidak bisa membuktikan hitam atas putih bahwa ia adalah isteri-siri dari orang yang meninggal. Tetapi secara Hukum Fiqih ia sah menikah dengan suaminya yang meninggal itu. Maka sebaiknya berilah ia bagian sekedarnya sebagai bagiannya, atas dasar kebijaksanaan dari para ahli waris, yaitu seperdelapan dibagi dua, lalu diberikan kepada si ibu itu.  



Pertanyaan:
Di atas disebutkan bila semua anak-anaknya perempuan, maka ada bagian warisan bagi saudara dari yang meninggal, maksudnya bagaimana, mohon diterangkan.

Jawaban :
Hukum Waris dalam Syari’at Islam, disebutkan bahwa bila anak dari yang meninggal itu perempuan semua, maka ada sisa harta waris yang diberikan kepada saudara dari yang meninggal.  Bila seorang laki-laki meninggal dengan meninggalkan seorang isteri dan 4 orang anak perempuan (tidak ada anak laki-laki), maka pembagiannya adalah :

-         Duapertiga (2/3) harta warisan untuk dibagikan kepada 4 orang anak perempuannya,
-         Seperdelapan (1/8) harta warisan untuk isterinya,
-         Sisanya diberikan kepada saudara dari orang yang meninggal. 

Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
                                                        ___________

No comments:

Post a Comment