PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM
Harta Waris
Ustadz Edi Candra,
Lc, M.E.I.
Jum’at,
26 Rojab 1436H – 15 Mei 2015
Assalamu’alaikum
wr.wb.,
Muslimin
dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu
wata’ala,
Bahasan kali ini adalah tentang Hukum
Waris. Namun sebelumnya perlu disampai-kan pendahuluan tentang landasan
berfikir tentang Hukum Waris, yaitu bahwa kita melandasi thema Waris
berdasarkan Kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala, agar ada persamaan
persepsi seluruh kaum muslimin.
Tentang kepatuhan kepada Allah subhanahu
wata’ala banyak kita jumpai dalam AlQur’an, antara lain Surat An Nisaa’ ayat 59 :
سُوۡرَةُ النِّسَاء
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ
وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِى ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِى
شَىۡءٍ۬ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ
وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِۚ ذَٲلِكَ خَيۡرٌ۬ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلاً (٥٩)
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Juga dalam Surat Muhammad ayat 33 :
سُوۡرَةُ محَمَّد
۞ يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَلَا تُبۡطِلُوٓاْ
أَعۡمَـٰلَكُمۡ (٣٣)
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu
merusakkan (pahala) amal-amalmu.
Maksudnya, patuhilah Allah dan Rasul-Nya,
jangan kalian membuat tak bernilai amal-kalian.
Seandainya ada orang bertanya apa yang
membedakan Waris dalam Islam dengan Waris yang bukan dari Islam, maka
jawabannya adalah : Dalam hal kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala. Bagi orang-orang dari agama selain Islam,
mereka juga memiliki konsep Waris. Tetapi kita tidak tahu mereka menjalankan Hukum
Waris itu berdasarkan apa, apakah
menurut logika sehat mereka. Yang pasti
bila ditelusuri apa yang membedakan umat Islam dan non Muslim hanya satu : Kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Juga dalam konsep kebaikan, kita tidak
tahu mereka (non Muslim) berdasarkan apa?. Kalaupun kita tanya kepada mereka
(non Muslim) mengadakan kebaikan, paling-paling jawaban mereka : Agar merasa
bahagia. Sementara umat Islam ketika melakukan kebaikan, bukan karena agar
bahagia atau sebab lain, kecuali karena Kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Dan kita sebagai muslim yakin bahwa apapun
yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah subhanahu
wata’ala pasti baik, tidak
mungkin buruk. Itulah landasan kita
sebagai seorang muslim.
Supaya kita tidak terkecoh dengan
opini-opini intelektual yang mengatakan : Bahwa semua agama itu sama. Semua
agama mengajarkan kebaikan, kejujuran, dst. Demikian juga Islam mengajarkan
kebaikan, kejujuran dst. Artinya semua agama adalah sama. Itu kata mereka.
Padahal masing-masing agama tidak sama.
Sebab kalau orang non Islam melakukan
kebaikan lalu ditanya apakah itu berdasarkan Kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala ?, Mereka akan mengatakan “Ya”, tetapi mungkin
akan mengatakan : Karena Dewa kami, atau
karena Tuhan kami . Padahal bila ditelusuri dalam kitab ajaran mereka tidak ada
ajaran Kepatuhan kepada Tuhan mereka. Mana buktinya?. Juga tidak ada konsep
Kepatuhan dalam ajaran Kristen.
Hanya dalam Islam-lah adanya Konsep
Kepatuhan. Orang beragama non Islam bila ditanya kenapa anda melakuan kebaikan
? Maka mereka akan menjawab : “Ya, karena saya merasa bahagia ketika melakukan
kebaikan”. Artinya yang dikejar mereka hanyalah kebaikan untuk sekarang, bukan
Akhirat.
Sementara ajaran Islam mengatakan bila
orang Islam melakukan suatu kebaikan, dengan sabar, mengorbankan sebagian
hartanya, dalam menghadapi persoalan harus dengan jujur, terkadang pahit
dirasakan, semua itu adalah berdasarkan Kepatuhan
kepada Allah subhanahu wata’ala.
Bukan karena yang lain. Dan Allah subhanahu wata’ala menjanjikan “sesuatu”
bagi orang yang patuh itu, kelak setelah ia mati (di Akhirat).
Di sinilah letak dasar yang paling
penting, bahwa umat Islam harus meyakini.
Pada akhirnya yang membedakan antara umat muslim dan non-muslim adalah
kepercayaan mereka terhadap berita AlQur’an.
Kalau orang tidak percaya kepada berita AlQur’an, maka tidak usah
dianggap ia seorang muslim. Selesai sudah urusannya. Karena orang Kristen atau Yahudi-pun mereka
percaya kepada Allah. Persoalannya
adalah : Mereka tidak percaya dengan
berita dari Allah (AlQur’an).
AlQur’an sudah 1400 tahun lebih diturunkan
dan kita umat muslim sudah berjarak sekian ribu tahun itu sejak turunnya itu,
wahyunya tetap begitu adanya tidak pernah berubah. Umatnya sudah saling
berganti hidup-mati, tetapi AlQur’an tetap begitu adanya, demikian konsepnya.
Dan apa yang kita baca sekarang, itulah yang dibacakan oleh Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada
satu huruf-pun yang berubah.
Berangkat dari berita AlQur’an yang merupakan
berita dari Allah subhanahu wata’ala,
dan kita melaksanakan kebaikan atas dasar perintah atau larangan dari Allah,
maka itulah bukti kepatuhan kita kepada Allah subhanahu wata’ala.
Harta
Waris.
Kenapa ada Bab Waris di kalangan kaum
muslimin, adalah karena kepatuhan kita kepada perintah Allah subhanahu wata’ala dalam AlQur’an Surat An Nisaa’ ayat 11 – 14.
Namun demikian ada satu lagi yang sangat
mendasar sebelum Bab Waris.
Ada 4 istilah (perkara) yang berbeda : Hibah, Wasiat, Waris dan Waqaf.
Hibah
adalah
pemberian barang/harta dari seseorang kepada orang lain, dan pada saat
diberikan itu maka berpindahlah Hak Kepemilikannya atas barang/harta itu.
Wasiat
adalah
pesan dari seseorang apabila ia sudah
meninggal (mati) maka hartanya agar diberikan (dibagi) kepada pihak-pihak
yang disebutkan dalam wasiat tersebut.
Waris, adalah harta
(barang) yang ditinggalkan setelah seseorang meninggal (mati). Dan Waris itu berpindah kepemilikannya kepada
Allah subhanahu wata’ala terlebih dahulu (yang memiliki), setelah itu Hukum Allah yang mendistribusikan
kepada siapa yang berhak atas harta waris itu.
Apabila ada orang yang mengambil harta
waris tersebut di luar Hukum Allah berarti ia mengambil harta itu dengan cara
bathil, dan itu terlarang.
Waqaf
adalah
harta yang terputus dari pemilik-nya dan tidak bisa dimiliki oleh siapapun
karena harta itu sudah diserahkan (diputuskan kepemilikannya) kepada suatu
lembaga. Kalau ada orang yang menguasainya maka ia hanya sebagai pengelola,
bukan pemilik harta Waqaf itu.
Dalam hal Waris, maka harus adanya kematian seseorang. Tidak bisa dikatakan membagi Waris bila tidak
terjadi adanya kematian seseorang. Maka membagi harta Waris adalah setelah
meninggalnya seseorang yang punya harta waris. Tidak boleh membagi waris ketika orang yang
punya harta itu masih hidup.
Bila terjadi seseorang meninggal dunia,
maka harus dicatat :
1. Tentang informasi
kejadian (kematian) : Hari, Tanggal, Bulan dan Tahun.
2. Tentang siapa ahli
waris yang berhak dan masih hidup ketika terjadi kematian dimaksud.
3. Tentang data asset
(harta) dari orang yang meninggal, yang murni miliknya, yang sudah dipisah dari
harta milik bersama. Harta milik bersama bukan harta warisan dan tidak ikut
dibagikan.
Hal-hal tersebut diatas yang sering
menjadi pokok pangkal keributan (permasalah-an) antara ahli waris. Tentang
aturan pembagian harta waris sudah jelas dalam AlQur’an, tidak perlu
diotak-atik lagi. Permasalahannya : Harta waris mana yang harus dibagi. Itulah
yang harus jelas.
Hukum Fiqih Islam harus berbasis Kejelasan. Tidak ada cerita Pembagian Waris sebelum jelas
Status Kepemilikan harta (warisan). Karena kita orang Indonesia menganut sistim
Kepemilikan Bersama. Itu disebabkan karena adanya isteri yang bekerja,
mendapatkan penghasilan, dst. Akhirnya sering terjadi tidak jelas kepemilikan
harta dalam satu keluarga. Tidak jelas mana harta suami dan mana harta isteri.
Maka bahasan ini belum bicara masalah
Waris, melainkan baru pada masalah Kepemilikan Harta. Harta itu milik siapa. Berkaitan dengan hukum
di Indonesia, apabila seseorang menikah, kalau tidak ada perjanjian Pra-Nikah,
maka harta yang diperoleh dalam masa pernikahan (berkeluarga) maka harta yang diperoleh
menjadi harta bersama. Akibatnya apabila sampai terjadi salah seorang dari
pasangan keluarga itu meninggal, hartanya (Warisannya) menjadi tidak jelas.
Bila seseorang suami meninggal, lalu isteri mendapat harta warisan seperdelapan dari harta waris, adalah
harta waris yang mana ? Karena status kepemilikan harta selama ini adalah kepemilikan bersama, tidak
jelas.
Padahal Menurut Fiqih Islam, status kepemilikan harta harus jelas. Bila belum jelas kepemilikan harta Waris
harus dijelaskan terlebih dahulu, sebelum dibagi waris. Persengketaan pembagian waris selama ini
adalah karena status kepemilikan harta waris. .
Maka bila itu terjadi ada dua kemungkinannya, yaitu Islah (kesepatan para
ahli waris), dan diperkarakan di Pengadilan. Akan terjadi sengketa apabila ada salah
seorang ahli waris menolak (keberatan) ketika diadakan pembagian warisan.
Pembagian harta itu terjadi bukan saja
karena adanya kematian, tetapi bisa saja terjadi ketika terjadi perceraian,
atau pada saat suami menikah lagi. Biasanya isteri pertama akan menuntut ke
Pengadilan atas hartanya yang masih tergabung dengan harta suaminya yang
menjadi milik bersama. Padahal antara mereka tidak ada perjanjian Pra-Nikah.
Demikianlah yang terjadi berkaitan dengan
Status Kepemilikan Harta.
Kepemilikan Harta ada tiga kemungkinan dalam
Islam :
1. Harta milik suami,
2. Harta milik
isteri,
3. Harta milik
bersama (antara suami dan isteri), yang harus jelas berapa perbandingannya
sesuai dengan perjanjian Pra-Nikah.
Bila tidak ada Perjanjian Pra-Nikah, padahal
ahli warisnya semua perempuan, maka saudara dari suami yang meninggal berhak
mendapat bagian warisan. Maka untuk
jelasnya, agar dilakukan pemisahan status kepemilikan harta, mana yang milik
suami (yang meninggal) dan mana harta yang milik isterinya. Dan demikian itu sering terjadi di Pengadilan.
Hibah
harta suami kepada isteri, tidak merubah pembagian harta waris di mata
hukum. Meskipun dikatakan bahwa rumah
sudah atas nama isterinya, tetap harta berupa rumah harus dibagi sebagai harta
waris. Bukan menjadi milik isterinya, hanya karena sudah ada hibah dari suami.
Di situlah permasalah waris, bukan pada porsi
pembagian warisan, melainkan pada Status
Kepemilikan Harta Warisan. Dan kita
harus ingat dengan perintah Allah subhanahu
wata’ala dalam AlQur’an :
“Jangan
kalian menikmati (memakan) suatu harta antara sesama kalian dengan cara
bathil”.
Disebutkan dengan “cara yang bathil” berarti
ada cara yang Haq (yang benar).
Cara pemindahan kepemilikan harta ada
bermacam-macam, ada yang Haq (benar) ada yang Bathil, ada yang halal dan ada yang haram. Dalam
Fiqih Islam, harta Negara adalah
halal. Jadi tidak usah dipermasalahkan
apakah gaji PNS itu dari uang halal atau bercampur haram. Menurut Fiqih Islam harta Negara adalah
netral, tidak bisa dikatakan haram atau halal. Hanya Negara yang bisa menguasai
asset dan setiap asset pasti ada
pemiliknya. Tidak ada cerita, karena pajak perusahaan minuman keras maka
dibuang ke laut saja. Tidak ada hukum demikian itu. Semua itu adalah sah
dikuasai oleh Negara.
Pada saat pemindahan pemilikan dari Negara
ke perorangan, itulah yang harus
jelas. Harus dilindungi oleh
undang-undang. Kalau jelas dilindungi oleh undang-undang maka halal untuk
diterima.
Perpindahan Kepemilikan harta banyak modelnya dalam Fiqih
Islam, misalnya karena Akad (transaksi) yang bermacam-macam : Jual-beli, Hibah,
Upah/Gaji, Akad Investasi yang halal, dst.
Artinya berpindah kepemilikannya.
Karena kita hanya boleh memiliki barang
(harta) yang sesuai dengan aturan (Hukum Allah). Kalau ada orang memiliki asset di luar aturan
Allah, maka itu adalah barang haram
dan tidak sah menjadi harta waris. Tidak sah dijual-belikan, atau dimiliki, apalagi dijadikan harta waris. Apalagi
disedekahkan, tidak sah. Na’udzubillah
min dzalik. !.
Maka perpindahan harta dari kita atau dari
orang kepada kita harus dengan cara yang benar dan jelas. Hukum Islam mendasari
itu. AlQur’an dengan jelas mengajarkan : “Jangan
engkau memakan harta antara sesama kamu dengan cara yang bathil”.
Dalam Islam ada Kepemilikan Harta bersama
yaitu yang disebut Musyarokah.
Ada bermacam-macam Musyarokah misalnya
: Musyarokah Usaha, dari beberapa
orang masing masing anggota menyetor modal untuk suatu usaha dagang. Labanya di
bagi bersama sesuai dengan kesepakatan.
Kemudian ada orang bertanya, adakah dalam
Islam Harta Gono-Gini ? Kalau istilah Gono-gini tidak ada, tetapi bila itu
yang dimaksudkan adalah harta bersama dan
kepemilikan bersama antara suami isteri, ada dalam Fiqih Islam dan itu
dilindungi oleh Hukum Fiqih.
Tetapi untuk lebih aman, seharusnya kepemilikan
itu dipisah. Tetapi sulit juga bila diadakan perjanjian semisal perjanjian
Pra-Nikah. Tidak bisa lalu didaftarkan ke notaris. Namun demikian bila
dipermasalahkan maka akan menjadi masalah.
Sebaliknya kalau damai-damai saja, insya Allah tidak akan menjadi
masalah.
Biasanya akan menjadi masalah kalau asset
(harta) itu sudah menjadi besar (banyak).
Bagaimana porsinya masing-masing, sudah ada pembagiannya secara Hukum Fiqih.
Tetapi yang penting harus ada adalah data
kepemilikan orang yang meninggal, yang murni miliknya yang sudah dipisahkan
dari kepemilikan bersama.
Bila sudah jelas dan harta tidak tercampur
dengan milik siapa-siapa, silakan dibagi menurut porsinya (pembagiannya)
masing-masing.
Tetapi bila terjadi persengketaan dan
tidak bisa damai, silakan perkaranya di bawa ke Pengadilan Agama setempat, yang
tentunya berdasarkan Hukum Islam.
Perkara tersebut biasanya terjadi karena :
1. Assetnya berjumlah
banyak,
2. Terlalu lama sejak
meninggalnya seseorang warisan tidak segera dibagi.
Tetapi aturan pembagian waris sudah jelas
dalam AlQur’an dan Hadits. Untuk lebih mudah mengingatnya adalah :
-
Dimulai
dari setengah (1/2), seperempat (1/4),
seperdelapan (1/8).
-
Duapertiga
(2/3), sepertiga (1/3), seperenam (1/6).
-
Bagian
laki-laki adalah duakali bagian perempuan.
Artinya, hukum Waris itu mudah untuk
diingat, pihak-pihak yang menerima sudah jelas.
Fokus yang penting adalah : Periksa (cek) lagi Kepemilikan harta di
rumah.
Kalau ayah menghibahkan sesuatu kepada
anaknya, maka itu adalah Hibah (pemberian), dan berpindahlah
kepemilikannya selagi masih hidup.
Bolehkah seorang ayah meng-Hibahkan
hartanya kepada semua anak-anaknya, harta dibagi rata baik anak laki-laki
maupun perempuan?.
Justru itu yang dianjurkan, justru
demikian itu Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam menganjurkannya.
Harus adil dalam meng-hibah kepada anak-anaknya.
Daalam pembagian Waris maka yang berlaku
adalah Hukum Allah subhanahu wata’ala. Umat
harus patuh kepada Hukum Allah subhanahu
wata’ala.
Demikian bahasan tentang Waris, sebagai
pendahuluan maka yang kita bahas terlebih dahulu adalah : Harus jelas status Kepemilikan Harta.
Tanya-Jawab.
Pertanyaan:
1. Menurut Adat
Sumatera Utara bahwa Hak kepemilikan harta ada pada orang laki-laki, sementara
orang perempuan tidak punya Hak.
Sedangkan adat di Sumatera Barat (Minangkabau) Ahli Waris ada pada anak
perempuan, anak laki-laki tidak berhak atas warisan orangtuanya. Bagimana cara
yang sebaik-baiknya ketika kita membagi waris ?
2. Ketika ada seorang
ayah meninggal dan ternyata istrinya sudah meninggal jauh hari sebelumnya, lalu
datang seorang ibu yang mengaku isteri-sirinya dan ada anak dari perkawinan
sirinya itu, apakah harta waris yang sudah dibagi berdasarkan Hukum Faraidh
(Hukum Islam), harus diulang, agar si ibu yang datang belakangan itu ikut
mendapaatkan bagian warisannya ?
Jawaban:
1.
Berkaitan Hukum Adat, maka sejak awal bahasan kita
sudah sampaikan tentang Kepatuhan kepada
Allah subhanahu wata’ala. Maka hendaknya ditentukan Hak Miliknya,
Bacakan hak (porsinya), bagiannya masing-masing, secara Hukum Allah subhanahu wata’ala. Sadarkan para ahli waris itu agar taat
(patuh) kepada Allah dan Rasul-Nya.
2.
Bila ada seseorang ibu datang kemudian, yang mengaku
sebagai isteri-siri, maka secara Pengadilan Agama ia tidak mendapatkan bagian
waris, karena ia tidak bisa membuktikan hitam atas putih bahwa ia adalah
isteri-siri dari orang yang meninggal. Tetapi secara Hukum Fiqih ia sah menikah
dengan suaminya yang meninggal itu. Maka sebaiknya berilah ia bagian sekedarnya
sebagai bagiannya, atas dasar kebijaksanaan dari para ahli waris, yaitu
seperdelapan dibagi dua, lalu diberikan kepada si ibu itu.
Pertanyaan:
Di atas disebutkan bila semua anak-anaknya
perempuan, maka ada bagian warisan bagi saudara dari yang meninggal, maksudnya
bagaimana, mohon diterangkan.
Jawaban
:
Hukum Waris dalam Syari’at Islam,
disebutkan bahwa bila anak dari yang meninggal itu perempuan semua, maka ada
sisa harta waris yang diberikan kepada saudara dari yang meninggal. Bila seorang laki-laki meninggal dengan
meninggalkan seorang isteri dan 4 orang anak perempuan (tidak ada anak
laki-laki), maka pembagiannya adalah :
-
Duapertiga
(2/3) harta warisan untuk dibagikan kepada 4 orang anak perempuannya,
-
Seperdelapan
(1/8) harta warisan untuk isterinya,
-
Sisanya
diberikan kepada saudara dari orang yang meninggal.
Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN
LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.
Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
___________
No comments:
Post a Comment