Translate

Friday, August 21, 2015

Peristiwa Tolikara. Oleh: Ustadz Ahmad Fauzi Kosim



PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM     

Peristiwa Tolikara.
Ustadz Ahmad Fauzi Kosim

Jum’at, 29 Syawal 1436H – 14 Agustus 2015.

 Assalamu’alaikum wr.wb.,

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,   
Pada pertemuan kali ini kami menyampaikan tentang apa yang terjadi di Tolikara (Papua Tengah) dimana pada Hari Raya Idul Fitri 1436 H, tanggal 17 Juli 2015 yaitu ketika umat muslim sedang melakukan sholat Idul Fitri di Masjid Tolikara, masjid tersebut dibakar oleh masa non Islam. Maka terjadilah kebakaran besar termasuk rumah-rumah (toko-toko) disekitar masjid ikut terbakar.

Beberapa hari kemudian kami Tim Pencari Fakta bersama Ustad Fadlan ditugasi oleh Ustadz Bakhtiar Nasir bersama dengan teman-teman di Farum Zakat (Dompet Dhuafa) kami terdiri dari dua Tim yaitu Tim Pecari Fakta (TPF) untuk menelaah dan menelisik kejadian yang sebenarnya, dan satu Tim dari Forum Zakat yang khusus membantu umat Islam di sana (Tolikara). Tetapi sampai hari itu umat muslim semakin baik dan semakin diterima untuk melaksanakan ibadah.

Tolikara adalah sebuah kota Kabupaten di daerah pegunungan tengah Papua dahulunya termasuk wilayah bagian dari Jayawijaya.  Dari kota Wamena menuju Tolikara kami naik kendaraan roda empat (Minibus Hilux Strada) ditempuh selama 5 jam. Karena kami membawa beberapa material kebutuhan masjid maka ketika itu kami tempuh perjalanan itu selama 7 jam.   Melalu medan yang cukup berat karena daerahnya bergunung-gunung, kami melalui daerah yang disebut Puncak Mega.

Sebagaimana kita ketahui Papua (pedalaman) termasuk Tolikara adalah daerah yang sangat sulit dijangkau, sehingga harga barang-barang kebutuhan hidup lebih mahal 4 sampai 5 kali lipat  dari harga di Pulau Jawa. Contoh air meniral yang harganya di Jawa hanya Rp3000,- di Papua bisa mencapai Rp 15.000,--
Harga semen satu zak di Jawa sekitar Rp80.000,- di Papua bisa mencapai harga Rp800.000,-/zak.   Maka wajar sebuah bangunan masjid dengan ukuran sekitar 15 X 20 meter nilainya bisa milyaran rupiah. Itu disebabkan karena memang sangat tingginya harga-harga kebutuhan hidup di Papua.

Tim Pencari Fakta (TPF) berada di Tolikara sekitar satu pekan.  Daerah Tolikara sesudah terlepas dari Jayawijaya dan dimekarkan menjadi suatu Kabupaten, awalnya ada tiga distrik (kecamatan). Umat muslim di kota Tolikara ada sekitar 800 orang, kebanyakan mereka pendatang. Berbeda kondisinya dengan Wamena dan distrik-distrik lainnya yang dekat dengan Jayawijaya ada 11(sebelas) kampung muslim yang asli Papua. Sementara Tolikara agak kontras, umat muslimnya adalah orang-orang pendatang (Bugis, Jawa, Sumatera,dll).

Kami bertemu dengan sesepuh kampung di sana bernama Pak Sarno, orang Jawa yang tinggal di Tolikara sejak tahun 1970-an, ia menyatakan bahwa selama ini tidak pernah ada kasus apa-apa.  Kegiatan umat beragama selama ini aman-aman saja terutama antara umat Muslim dengan GIDI (Gereja Injil Kristen yang sangat menguasai wilayah Papua Tengah). Paham gereja tersebut berbeda dengan Kristen yang lain. Demikian mengakarnya paham itu, sampai mereka (penganutnya) meyakini bahwa Jesus Kristus lahir di Tolikara, munculnya di situ dan dominasi lain adalah salah, hanya dominasi merekalah yang benar.

Pemahaman dominasi itu demikian kuat dan mengakar sampai pusat pemerintahan  di Tolikara. Semua Bupati di daerah Jayawijaya harus minta ijin terlebih dahulu kepada Gereja Gidi bila hendak memasuki wilayah Tolikara. Pemahaman Kristen tidak sebatas sebuah gereja, tetapi sudah mengakar ke dalam kultur masyarakat dan semua kebijakan yang diambil oleh pemerintah setempat (Bupati, Polisi) harus sepengetahuan dan disetujui oleh pihak Gereja.

Saat ini pihak Gereja (GIDI) sudah memperlihatkan kekuasaannya. Tercatat : Baru saja kedatangan seorang Pendeta dari Israel. Diakui memang di sana (di Tolikara) ada pemahaman-pemahaman yang mirip Yahudi, seperti : Paham lain harus dihilangkan, diusir dst. Dan ada beberapa statement dari para ulama di situ : Sekarang Israel sudah menancapkan pengaruhnya di wilayah Indonesia bagian timur dan Papua Nugini. Ketika TPF datang di sana ada pula tokoh-tokoh Papua Nugini yang hadir.
Ketika mereka tahu bahwa Islam akan bangkit di wilayah Indonesia bagian timur, maka Israel akan menancapkan pengaruhnya di Indonesia bagian timur, pusatnya adalah di Papua dan Papua Nugini.  Maka mereka (pihak Gereja) tidak hanya mengajarkan secara doktrin (dogma) dalam hal agama, tetapi mereka juga berusaha bagaimana agar Gereja Kristen bisa menguasai pemerintahan wilayah tengah Papua.

Ketika kami meng-konfirmasikan ke Kapolres Tolikara Bapak Suroso,  beliau sangat jujur menerangkan apa adanya yang terjadi ketika peristiwa Tolikara (sayang beliau sekarang sudah diganti), beliau menerangkan bahwa Gereja (GIDI) sangat menguasai, sehingga surat ada edaran yang melarang orang perempuan berjilbab, melarang orang melakukan Sholat Id, dst.,  pihak gereja yang menanda tangani.  Semula Sholat Id dilarang tetapi akhirnya edaran itu diubah : Boleh sholat Id tetapi harus di Mushola, tidak di lapangan.

Padahal umat muslim di Tolikara ada 800 orang, mana mungkin tertampung di Mushola, dan akhirnya luber ke halaman (tanah lapang). Dan seluruh dunia tahu bahwa tanggal (hari) itu adalah hari libur (tanggal merah), artinya bahwa peristiwa itu bukan secara tiba-tiba, melainkan memang sudah direncanakan (by design).

1.     Rencana semula, acara yang akan dilakukan KKR  yang menghadirkan Pendeta dari Israel itu bukan antara tanggal 15 sampai 20 Juli 2015, melainkan setelah tanggal itu. Tetapi ternyata dua pekan menjelang Idul Fitri, rencana diubah  didekatkan dengan waktu tersebut.

2.     Kepada pihak Kapolres, Kapolda atau Kapolri tidak ada surat permintaan ijin yang masuk untuk acara yang sifatnya internasional. Padahal acara tersebut adalah Seminar Internasional. Sebahagian tokoh Gereja menganggap bahwa : “Ini adalah tanah kita, Negara kita,  untuk apa minta ijin ke Polisi dan Pemerintahan”.

3.     Dari hasil rekaman yang ada : GIDI (Gereja)  menguasai Tolikara sejak 13 tahun lalu (2014), tepatnya ketika Tolikara dimekarkan menjadi satu Kabupaten di wilayah Jayawijaya. Ketika mulai ada rekonsiliasi, 4 hari setelah kejadian, dimana di sana hadir Ustadz Ali Muhtar, Ustadz Ali Usman, serta Imam-imam di sana berkumpul dengan Bupati Tolikara dan ada juga perwakilan dari GIDI, sempat terluncur kata-kata dari pihak GIDI : “Bapak-bapak, Umat Muslim, kita bersyukur bahwa sejak 13 tahun Pemerintahan GIDI Tolikara menjamin kebebasan anda beribadah”.

Dari rekaman tersebut, ada kata-kata “Pemerintahan GIDI”, artinya tercetus Pemerintahan GIDI.  Di antara kita menafsirkan/mengartikan bahwa GIDI bukanlah sebatas sebuah Dominasi yang mengajarkan agama, tetapi sudah membuat kekuasaan (menguasai).  Memang Pusat OPM ada di Papua Tengah. Mereka tidak saja mengajarkan Kristen,  tetapi membuat bagaimana kebijakan-kebijakan Pemerintah RI yang sifatnya Pancasila, dimana semua agama berhak hidup,  mulai dicengkeram.  Salah satu contohnya : Melarang Pemakaian Jilbab dan Sholat Id.

Dan ternyata kejadiannya sungguh terjadi :  Bahwa orang Papua di sana tidak terbiasa bangun pagi, dan acara Gereja di sana dimulai jam 10.00 pagi. Tetapi ketika tanggal 17 Juli 2015 jam 06.00 pagi mereka (Orang-orang Gereja) sudah berdiri berbaris ada 3 kelompok, masing-masing membawa senjata tajam, batu, sampai-sampai pihak kepolisian kewalahan.  Dan polisi di sana tidak mengerahkan personilnya dengan banyak, karena biasanya aman-aman saja, sehingga penjagaan polisi terbatas. Maka terjadilah pembakaran masjid itu.

Setelah diusut tertangkap dua tersangka, yang menyeru dan mengatakan dengan mikrofonnya mencaci-maki umat Muslim dengan kata-kata kotor (anjing, babi, dst) umat muslim harus dibubarkan, dst, sehingga memancing orang-orang Papua ikut-ikutan. Meskipun mereka (orang Papua) mengakui bahwa pendatang banyak positifnya, sering membantu orang-orang asli Papua,  terutama di Tolikara dimana banyak pendatang (terutama Pegawai Negeri (PNS),  sehingga perkembangan ekonomi masyarakat terbantu dengan aktivitas kesehariannya.

Tetapi di satu sisi memang mereka (orang Papua) ada kecemburuan, karena yang menguasai perkonomian adalah orang-orang pendatang.  Sehingga mereka mudah sekali terbawa oleh emosi dan hasutan-hasutan, sehingga terjadilah peristiwa Tolikara.  Serta diakui oleh para PNS (pendatang),  bahwa pengaruh dari GIDI sudah terasa.  Pengaruh-pengaruh luar juga sudah mulai masuk, bahwa mereka tidak menguasai secara agama, tetapi menguasai secara wilayah/pemerintahan.
Itulah yang kita khawatirkan.

Maka Tim (TPF) hari Jum’at tanggal 7 Agustus 2015 lalu mengadakan konperensi pers terkait dengan kejadian yang sebenarnya.  Dan diakui oleh semua pihak, bahwa ada kesalahan baik secara hukum (dengan adanya edaran yang ditandatangi pihak GIDI yang melarang Jilbab dan Sholat Id), yang sudah jelas melanggar secara Hukum Positif kita.  Dikhawatirkan mereka bukan sekedar mengajarkan agama, tetapi juga menyebarkan kebencian antara umat. .

Kita wajar khawatir, karena setiap toko dan kios di sekitar Masjid itu memasang bendera Israel.  Bahkan mobil-dinas Pemkab Tolikara bertuliskan : I Love Israel.    Dan itu merupakan pemandangan yang biasa di Kabupaten Polikara sampai saat ini.   Pihak Bupati tidak bisa berbuat apa-apa. Karena bila Bupati ingin menyatakan sesuatu harus minta ijin ke Gereja (GIDI).

Dari data kerugian yang di dapat, dari terbakarnya kios-kios dari satu titik wilayah itu kerugiannya adalah sekitar Rp 47 milyar (empatpuluh tujuh milyar rupiah). Ternyata yang terbakar bukan hanya kios yang di dekat masjid saja, tetapi kios-kios yang agak jauh dari masjid juga terjarah dan rusak total.  Sehingga kerugian semuanya mencapai Rp 50 milyar (Limapuluh milyar rupiah).  Semua itu ada datanya.

Akhirnya Tim, selain teman-teman dari advokasi memutuskan untuk membangun kembali masjid dengan dana yang dikumpulkan dari para donatur, sampai terakhir hari kemarin (Ahad 9 Agustus 2015) masjid sudah 40% terbangun, lagi-lagi Bupati masih belum berani kalau masjid itu ada kubahnya.  Sampai terakhir masih ada kekhawatiran dari pihak Gereja kalau Islam berkembang di Tolikara. Mereka khawatir Islam berkembang di masyarakat, sama dengan yang terjadi di Wamena.

Maka kita sebagai Umat Islam dimanapun berada, sebagaimana dalam Hadits disebutkan : Bahwa Umat Islam itu seperti satu tubuh, dimana ada bagian yang sakit, maka seluruh tubuh merasakan sakitnya itu.  Ibarat satu bangunan, sebagian bangunan itu rusak (dirusak) maka seluruh bangunan itu akan merasakan rusaknya bagian itu. Maka dimana ada muslim yang perlu dibantu, maka kita bantu.

Di Papua, di daerah Jayawijaya ada sebelas kampung Muslim Papua yang Alhamdulillah mereka tersirami oleh adanya para Da’i dengan syiar Islamnya, meskipun mereka masih belum melaksanakan syari’at Islam secara kafah.  Misalnya: Sudah melaksanakan sholat, tetapi kegemarannya makan daging babi masih dilakukan, dll.  Sudah melaksnakan sholat tetapi jarang mandi.  Termasuk ketika bersuci, ketika Haid, mereka masih banyak yang belum bisa melakukan Thoharoh (bersuci) dengan benar.

Maka perlu ada yang men-support untuk mendukung dakwah di Papua, terutama Papua Tengah, dimana perlu dibangun masjid-masjid, karena di Papua ada wilayah dimana banyak muslim Papua tetapi tidak ada masjid.  Maka bila mereka ingin sholat Jum’at menuju masjid di suatu kampung, harus menempuh jarak puluhan kolometer dengan berjalan-kaki seharian. 

Bandingkan dengan Jakarta, dimana-mana ada masjid dan sangat berdekatan.  Sehingga umat Islam ketika hendak ke masjid sangat mudah.
Yang demikian justru tantangan bagi kita bisakah memakmurkan masjid-masjid tersebut?.  Maknanya, bahwa dimanapun kita berada, yang menjadi tujuan utama adalah Masjid.

Dalam Hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa masjid selain untuk  beribadah, berjamaah sholat, juga sebagai rumah-sakit. Ketika itu ada seorang perawat kesehatan bernama Rofidhoh,  ketika terjadi Perang Khandaq dimana banyak pejuang muslim yang terluka, Rofidhoh medirikan tenda (kemah) dekat masjid Nabawi, yang menampung orang-orang yang terluka dalam Perang Khandaq dan mendapat perawatan dan pengobatan.

Ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam melihat kemah itu, beliau bertanya : “Siapakah yang membuat kemah ini dan siapakah yang merawat orang-orang yang terluka dalam perang ?”. Maka disebutkan bahwa yang membuat adalah sahabat yang bernama Rofidhoh, dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam terlihat senang.  Artinya, masjid ketika itu difungsikan sebagai klinik 24 jam.

Selanjutnya, masjid selain sebagai tempat ibadah, juga sebagai tempat musyawarah, rekonsiliasi, memutuskan kebijakan, tempat pendidikan, pengajaran dst. Maka kami berharap marilah kita makmurkan rumah-rumah Allah (Masjid) yang ada di sekitar kita dijadikan sebagai pusat segala keperluan kita, yang semuanya berawal dari masjid.  Jangan hendaknya meninggalkan masjid.

Seperti disebutkan dalam Hadits, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda bahwa tanda dekatnya Hari Kiamat adalah dibangunnya masjid-masjid  yang  megah di mana-mana tetapi tidak ada yang memakmurkannya. 
Mudah-mudahan kita termasuk orang yang senang memakmurkan masjid Allah dan Allah subhanahu wata’ala akan memberikan keberkahan di lingkungan kita. Dalam AlQur’an Allah subhanahu wata’ala berfirman : Kalau sebuah negeri dimana orang-orangnya beriman dan bertakwa, maka Allah akan turunkan keberkahan dari langit dan bumi.

Marilah kita menjadi orang yang selalu bertakwa, selalu beribadah, selalu memakmurkan masjid-masjid di sekitar tempat tringgal kita. Bila semua dimulai (diawali) dari masjid, insya Allah segala problematika umat akan selesai. 


Bila ada tetangga yang sakit, yang kurang biaya, maka pihak masjid mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan dana zakat, infak, shodakoh untuk keperluan masyarakat tersebut.  Maka sebaiknya pihak pengurus masjid peduli dengan hal-hal tersebut di atas, insya Allah umat akan dekat dengan kita.

Jangan sampai umat lain yang mendekati mereka, tetapi  kitalah yang mendekati mereka dengan sentuhan-sentuhan sosial, sehingga masjid berfungsi sebagai pusat kegiatan ibadah dan sosial masyarakat.

Sekian bahasan, mudah-mudahan bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
                                                         ____________

No comments:

Post a Comment