PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM
Ustadz Ahmad Fauzi Kosim
Assalamu’alaikum
wr.wb.,
Muslimin
dan muslimat yang dirahmati Allah
subhanahu wata’ala,
Pada pertemuan kali ini kami
menyampaikan tentang apa yang terjadi di Tolikara (Papua Tengah) dimana pada
Hari Raya Idul Fitri 1436 H, tanggal 17 Juli 2015 yaitu ketika umat muslim
sedang melakukan sholat Idul Fitri di Masjid Tolikara, masjid tersebut dibakar
oleh masa non Islam. Maka terjadilah kebakaran besar termasuk rumah-rumah (toko-toko)
disekitar masjid ikut terbakar.
Beberapa hari kemudian kami Tim Pencari
Fakta bersama Ustad Fadlan ditugasi oleh Ustadz Bakhtiar Nasir bersama dengan
teman-teman di Farum Zakat (Dompet Dhuafa) kami terdiri dari dua Tim yaitu Tim
Pecari Fakta (TPF) untuk menelaah dan menelisik kejadian yang sebenarnya, dan
satu Tim dari Forum Zakat yang khusus membantu umat Islam di sana (Tolikara).
Tetapi sampai hari itu umat muslim semakin baik dan semakin diterima untuk
melaksanakan ibadah.
Tolikara
adalah
sebuah kota Kabupaten di daerah pegunungan tengah Papua dahulunya termasuk
wilayah bagian dari Jayawijaya. Dari
kota Wamena menuju Tolikara kami naik kendaraan roda empat (Minibus Hilux
Strada) ditempuh selama 5 jam. Karena kami membawa beberapa material kebutuhan
masjid maka ketika itu kami tempuh perjalanan itu selama 7 jam. Melalu medan yang cukup berat karena
daerahnya bergunung-gunung, kami melalui daerah yang disebut Puncak Mega.
Sebagaimana kita ketahui Papua
(pedalaman) termasuk Tolikara adalah daerah yang sangat sulit dijangkau,
sehingga harga barang-barang kebutuhan hidup lebih mahal 4 sampai 5 kali lipat dari harga di Pulau Jawa. Contoh air meniral
yang harganya di Jawa hanya Rp3000,- di Papua bisa mencapai Rp 15.000,--
Harga semen satu zak di Jawa sekitar
Rp80.000,- di Papua bisa mencapai harga Rp800.000,-/zak. Maka
wajar sebuah bangunan masjid dengan ukuran sekitar 15 X 20 meter nilainya bisa
milyaran rupiah. Itu disebabkan karena memang sangat tingginya harga-harga
kebutuhan hidup di Papua.
Tim Pencari Fakta (TPF) berada di
Tolikara sekitar satu pekan. Daerah
Tolikara sesudah terlepas dari Jayawijaya dan dimekarkan menjadi suatu
Kabupaten, awalnya ada tiga distrik (kecamatan). Umat muslim di kota Tolikara
ada sekitar 800 orang, kebanyakan mereka pendatang. Berbeda kondisinya dengan
Wamena dan distrik-distrik lainnya yang dekat dengan Jayawijaya ada 11(sebelas)
kampung muslim yang asli Papua. Sementara Tolikara agak kontras, umat muslimnya
adalah orang-orang pendatang (Bugis, Jawa, Sumatera,dll).
Kami bertemu dengan sesepuh kampung di
sana bernama Pak Sarno, orang Jawa yang tinggal di Tolikara sejak tahun
1970-an, ia menyatakan bahwa selama ini tidak pernah ada kasus apa-apa. Kegiatan umat beragama selama ini aman-aman
saja terutama antara umat Muslim dengan GIDI (Gereja Injil Kristen yang sangat
menguasai wilayah Papua Tengah). Paham gereja tersebut berbeda dengan Kristen
yang lain. Demikian mengakarnya paham itu, sampai mereka (penganutnya) meyakini
bahwa Jesus Kristus lahir di Tolikara, munculnya di situ dan dominasi lain
adalah salah, hanya dominasi merekalah yang benar.
Pemahaman dominasi itu demikian kuat dan
mengakar sampai pusat pemerintahan di
Tolikara. Semua Bupati di daerah Jayawijaya harus minta ijin terlebih dahulu
kepada Gereja Gidi bila hendak memasuki wilayah Tolikara. Pemahaman Kristen
tidak sebatas sebuah gereja, tetapi sudah mengakar ke dalam kultur masyarakat dan
semua kebijakan yang diambil oleh pemerintah setempat (Bupati, Polisi) harus
sepengetahuan dan disetujui oleh pihak Gereja.
Saat ini pihak Gereja (GIDI) sudah
memperlihatkan kekuasaannya. Tercatat : Baru saja kedatangan seorang Pendeta
dari Israel. Diakui memang di sana (di Tolikara) ada pemahaman-pemahaman yang
mirip Yahudi, seperti : Paham lain harus dihilangkan, diusir dst. Dan ada
beberapa statement dari para ulama di situ : Sekarang Israel sudah menancapkan
pengaruhnya di wilayah Indonesia bagian timur dan Papua Nugini. Ketika TPF
datang di sana ada pula tokoh-tokoh Papua Nugini yang hadir.
Ketika mereka tahu bahwa Islam akan
bangkit di wilayah Indonesia bagian timur, maka Israel akan menancapkan
pengaruhnya di Indonesia bagian timur, pusatnya adalah di Papua dan Papua
Nugini. Maka mereka (pihak Gereja) tidak
hanya mengajarkan secara doktrin (dogma) dalam hal agama, tetapi mereka juga
berusaha bagaimana agar Gereja Kristen
bisa menguasai pemerintahan wilayah tengah Papua.
Ketika kami meng-konfirmasikan ke Kapolres
Tolikara Bapak Suroso, beliau sangat
jujur menerangkan apa adanya yang terjadi ketika peristiwa Tolikara (sayang
beliau sekarang sudah diganti), beliau menerangkan bahwa Gereja (GIDI) sangat
menguasai, sehingga surat ada edaran yang melarang orang perempuan berjilbab, melarang
orang melakukan Sholat Id, dst., pihak
gereja yang menanda tangani. Semula
Sholat Id dilarang tetapi akhirnya edaran itu diubah : Boleh sholat Id tetapi
harus di Mushola, tidak di lapangan.
Padahal umat muslim di Tolikara ada 800
orang, mana mungkin tertampung di Mushola, dan akhirnya luber ke halaman (tanah
lapang). Dan seluruh dunia tahu bahwa tanggal (hari) itu adalah hari libur
(tanggal merah), artinya bahwa peristiwa itu bukan secara tiba-tiba, melainkan
memang sudah direncanakan (by design).
1.
Rencana
semula, acara yang akan dilakukan KKR
yang menghadirkan Pendeta dari Israel itu bukan antara tanggal 15 sampai
20 Juli 2015, melainkan setelah tanggal itu. Tetapi ternyata dua pekan
menjelang Idul Fitri, rencana diubah
didekatkan dengan waktu tersebut.
2. Kepada pihak
Kapolres, Kapolda atau Kapolri tidak ada surat permintaan ijin yang masuk untuk
acara yang sifatnya internasional. Padahal acara tersebut adalah Seminar
Internasional. Sebahagian tokoh Gereja menganggap bahwa : “Ini adalah tanah kita, Negara kita,
untuk apa minta ijin ke Polisi dan Pemerintahan”.
3. Dari hasil
rekaman yang ada : GIDI (Gereja) menguasai
Tolikara sejak 13 tahun lalu (2014), tepatnya ketika Tolikara dimekarkan
menjadi satu Kabupaten di wilayah Jayawijaya. Ketika mulai ada rekonsiliasi, 4
hari setelah kejadian, dimana di sana hadir Ustadz Ali Muhtar, Ustadz Ali
Usman, serta Imam-imam di sana berkumpul dengan Bupati Tolikara dan ada juga
perwakilan dari GIDI, sempat terluncur kata-kata dari pihak GIDI : “Bapak-bapak, Umat Muslim, kita bersyukur
bahwa sejak 13 tahun Pemerintahan GIDI Tolikara menjamin kebebasan anda
beribadah”.
Dari rekaman tersebut, ada kata-kata
“Pemerintahan GIDI”, artinya tercetus Pemerintahan GIDI. Di antara kita menafsirkan/mengartikan bahwa
GIDI bukanlah sebatas sebuah Dominasi yang mengajarkan agama, tetapi sudah
membuat kekuasaan (menguasai). Memang
Pusat OPM ada di Papua Tengah. Mereka tidak saja mengajarkan Kristen, tetapi membuat bagaimana kebijakan-kebijakan
Pemerintah RI yang sifatnya Pancasila, dimana semua agama berhak hidup, mulai dicengkeram. Salah satu contohnya : Melarang Pemakaian Jilbab dan Sholat Id.
Dan ternyata kejadiannya sungguh terjadi
: Bahwa orang Papua di sana tidak terbiasa
bangun pagi, dan acara Gereja di sana dimulai jam 10.00 pagi. Tetapi ketika
tanggal 17 Juli 2015 jam 06.00 pagi mereka (Orang-orang Gereja) sudah berdiri
berbaris ada 3 kelompok, masing-masing membawa senjata tajam, batu,
sampai-sampai pihak kepolisian kewalahan.
Dan polisi di sana tidak mengerahkan personilnya dengan banyak, karena
biasanya aman-aman saja, sehingga penjagaan polisi terbatas. Maka terjadilah
pembakaran masjid itu.
Setelah diusut tertangkap dua tersangka,
yang menyeru dan mengatakan dengan mikrofonnya mencaci-maki umat Muslim dengan
kata-kata kotor (anjing, babi, dst) umat muslim harus dibubarkan, dst, sehingga
memancing orang-orang Papua ikut-ikutan. Meskipun mereka (orang Papua) mengakui
bahwa pendatang banyak positifnya, sering membantu orang-orang
asli Papua, terutama di Tolikara dimana
banyak pendatang (terutama Pegawai Negeri (PNS), sehingga perkembangan ekonomi masyarakat
terbantu dengan aktivitas kesehariannya.
Tetapi di satu sisi memang mereka (orang
Papua) ada kecemburuan, karena yang menguasai perkonomian adalah orang-orang
pendatang. Sehingga mereka mudah sekali
terbawa oleh emosi dan hasutan-hasutan, sehingga terjadilah peristiwa
Tolikara. Serta diakui oleh para PNS
(pendatang), bahwa pengaruh dari GIDI
sudah terasa. Pengaruh-pengaruh luar
juga sudah mulai masuk, bahwa mereka tidak menguasai secara agama, tetapi
menguasai secara wilayah/pemerintahan.
Itulah yang kita khawatirkan.
Maka Tim (TPF) hari Jum’at tanggal 7
Agustus 2015 lalu mengadakan konperensi pers terkait dengan kejadian yang
sebenarnya. Dan diakui oleh semua pihak,
bahwa ada kesalahan baik secara hukum (dengan adanya edaran yang ditandatangi
pihak GIDI yang melarang Jilbab dan Sholat Id), yang sudah jelas melanggar
secara Hukum Positif kita. Dikhawatirkan
mereka bukan sekedar mengajarkan agama, tetapi juga menyebarkan kebencian
antara umat. .
Kita wajar khawatir, karena setiap toko
dan kios di sekitar Masjid itu memasang bendera Israel. Bahkan mobil-dinas Pemkab Tolikara
bertuliskan : I Love Israel. Dan itu merupakan pemandangan yang biasa
di Kabupaten Polikara sampai saat ini. Pihak Bupati tidak bisa berbuat apa-apa.
Karena bila Bupati ingin menyatakan sesuatu harus minta ijin ke Gereja (GIDI).
Dari data kerugian yang di dapat, dari
terbakarnya kios-kios dari satu titik wilayah itu kerugiannya adalah sekitar Rp
47 milyar (empatpuluh tujuh milyar rupiah). Ternyata yang terbakar bukan hanya
kios yang di dekat masjid saja, tetapi kios-kios yang agak jauh dari masjid
juga terjarah dan rusak total. Sehingga
kerugian semuanya mencapai Rp 50 milyar (Limapuluh milyar rupiah). Semua itu ada datanya.
Akhirnya Tim, selain teman-teman dari
advokasi memutuskan untuk membangun kembali masjid dengan dana yang dikumpulkan
dari para donatur, sampai terakhir hari kemarin (Ahad 9 Agustus 2015) masjid
sudah 40% terbangun, lagi-lagi Bupati masih belum berani kalau masjid itu ada kubahnya. Sampai terakhir masih ada kekhawatiran dari
pihak Gereja kalau Islam berkembang di Tolikara. Mereka khawatir Islam
berkembang di masyarakat, sama dengan yang terjadi di Wamena.
Maka kita sebagai Umat Islam dimanapun
berada, sebagaimana dalam Hadits disebutkan : Bahwa Umat Islam itu seperti satu
tubuh, dimana ada bagian yang sakit, maka seluruh tubuh merasakan sakitnya
itu. Ibarat satu bangunan, sebagian
bangunan itu rusak (dirusak) maka seluruh bangunan itu akan merasakan rusaknya
bagian itu. Maka dimana ada muslim yang perlu dibantu, maka kita bantu.
Di Papua, di daerah Jayawijaya ada
sebelas kampung Muslim Papua yang Alhamdulillah mereka tersirami oleh adanya
para Da’i dengan syiar Islamnya,
meskipun mereka masih belum melaksanakan syari’at Islam secara kafah. Misalnya: Sudah melaksanakan sholat, tetapi
kegemarannya makan daging babi masih dilakukan, dll. Sudah melaksnakan sholat tetapi jarang mandi. Termasuk ketika bersuci, ketika Haid, mereka masih
banyak yang belum bisa melakukan Thoharoh (bersuci) dengan benar.
Maka perlu ada yang men-support untuk mendukung dakwah di Papua,
terutama Papua Tengah, dimana perlu dibangun masjid-masjid, karena di Papua ada
wilayah dimana banyak muslim Papua tetapi tidak ada masjid. Maka bila mereka ingin sholat Jum’at menuju
masjid di suatu kampung, harus menempuh jarak puluhan kolometer dengan berjalan-kaki
seharian.
Bandingkan dengan Jakarta, dimana-mana
ada masjid dan sangat berdekatan.
Sehingga umat Islam ketika hendak ke masjid sangat mudah.
Yang demikian justru tantangan bagi kita
bisakah memakmurkan masjid-masjid tersebut?.
Maknanya, bahwa dimanapun kita berada, yang menjadi tujuan utama adalah Masjid.
Dalam Hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda
bahwa masjid selain untuk beribadah,
berjamaah sholat, juga sebagai rumah-sakit. Ketika itu ada seorang perawat
kesehatan bernama Rofidhoh, ketika
terjadi Perang Khandaq dimana banyak
pejuang muslim yang terluka, Rofidhoh medirikan tenda (kemah) dekat masjid
Nabawi, yang menampung orang-orang yang terluka dalam Perang Khandaq dan
mendapat perawatan dan pengobatan.
Ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam melihat kemah itu, beliau bertanya : “Siapakah yang membuat kemah ini dan
siapakah yang merawat orang-orang yang terluka dalam perang ?”. Maka
disebutkan bahwa yang membuat adalah sahabat yang bernama Rofidhoh, dan
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
terlihat senang. Artinya, masjid ketika
itu difungsikan sebagai klinik 24 jam.
Selanjutnya, masjid selain sebagai
tempat ibadah, juga sebagai tempat musyawarah, rekonsiliasi, memutuskan
kebijakan, tempat pendidikan, pengajaran dst. Maka kami berharap marilah kita
makmurkan rumah-rumah Allah (Masjid) yang ada di sekitar kita dijadikan sebagai
pusat segala keperluan kita, yang semuanya berawal dari masjid. Jangan hendaknya meninggalkan masjid.
Seperti disebutkan dalam Hadits,
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam
bersabda bahwa tanda dekatnya Hari Kiamat adalah dibangunnya masjid-masjid yang
megah di mana-mana tetapi tidak ada yang memakmurkannya.
Mudah-mudahan kita termasuk orang yang
senang memakmurkan masjid Allah dan Allah subhanahu
wata’ala akan memberikan keberkahan di lingkungan kita. Dalam AlQur’an
Allah subhanahu wata’ala berfirman : Kalau sebuah negeri dimana orang-orangnya
beriman dan bertakwa, maka Allah akan turunkan keberkahan dari langit dan bumi.
Marilah kita menjadi orang yang selalu
bertakwa, selalu beribadah, selalu memakmurkan masjid-masjid di sekitar tempat
tringgal kita. Bila semua dimulai (diawali) dari masjid, insya Allah segala
problematika umat akan selesai.
Bila ada tetangga yang sakit, yang
kurang biaya, maka pihak masjid mempunyai kewajiban untuk mengeluarkan dana
zakat, infak, shodakoh untuk keperluan masyarakat tersebut. Maka sebaiknya pihak pengurus masjid peduli
dengan hal-hal tersebut di atas, insya Allah umat akan dekat dengan kita.
Jangan sampai umat lain yang mendekati
mereka, tetapi kitalah yang mendekati
mereka dengan sentuhan-sentuhan sosial, sehingga masjid berfungsi sebagai pusat
kegiatan ibadah dan sosial masyarakat.
Sekian bahasan, mudah-mudahan
bermanfaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU AN
LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.
Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
____________
No comments:
Post a Comment