PENGAJIAN DHUHA
MASJID BAITUSSALAM
Jum’at,
5 Rojab 1439H – 23 Maret 2018.
Assalamu’alaikum wr.wb.,
Muslimin dan muslimah yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Di zaman yang
penuh Fitnah dan cobaan seperti sekarang ini, kita mencoba meng-evaluasi diri
bagaimana kita menyikapi keadaan zaman saat ini. Salah satunya kita lihat betapa banyak
kejadian di sekitar kita, munculnya berbagai tindakan kekerasan. Yang kita semakin sedih adalah kekerasan itu
dilakukan oleh anak-anak dan lebih menyedihkan lagi kekeraan itu dilakukan
kepada orang-orang yang seharusnya dihormati dan dimuliakan, seperti guru
bahkan orangtua.
Fenomena
perilaku anak-anak yang melakukan perbuatan
kurang-ajar kepada gurunya,
adalah merupakan indikasi kehancuran sebuah bangsa. Hal seperti ini yang
disampaikan oleh Harun Al Rasyid
dalam Kitab Riyadhul Aulia,diceritakan antara lain sebagai berikut :
Khalifah Harun
Al Rasyid mempunyai dua orang putera laki-laki bernama Al Amin dan Al Ma’mun. Kedua
putera itu diserahkan pendidikannya kepada seorang Ulama Ahli Hadits pada masa
tersebut bernama Syaikh Al Qisya’i.
Di saat belajar
dengan gurunya, kedua anak tersebut bukan sekadar menuntut Ilmu dari gurunya,
melainkan salah satu yang diterapkan adalah mencari metode bagaimana cara kedua
muridnya itu melaksanakan semaksimal mungkin menghormati dan memuliakan gurunya.
Sampai pada
suatu hari, pada saat gurunya selesai ceramah mengisi pelajaran, kedua putera
Mahkota itu berebut untuk memasangkan sandal pada kaki gurunya.
Salah seorang
putera Mahkota itu meyakinkan dirinya : “Sayalah
yang lebih berhak memasangkan sandal Tuan Guru”. Seorang lagi
menyatakan : “Saya yang lebih
berhak”.
Ketika mereka
tidak bisa menyelesaikan perselisihan itu, akhirnya mereka mencari jalan
tengah. Kata si kakak (Al Amin) : “Bagaimana
kalau saya memasangkan sandal pada kaki-kanan
guru kita dan engkau, wahai adikku (Al Ma’mun) engkau memasangkan sandal pada
kaki-kiri guru kita?”. Maka
mereka-pun sepakat.
Begitu guru
mereka selesai mengajar, hendak keluar dari Majlisnya, segera kedua putera
Mahkota menghadang sambil menundukkan badanyya dan berkata : “Maaf Tuan Guru, jangan beranjak dulu”. Maka diambil sandal gurunya itu kemudian
sandal kanan dipasangkan pada kaki-kanan gurunya dan sandal kiri dipasangkan
pada kaki-kiri gurunya. Maka gurunya tersenyum.
Peristiwa
tersebut dilihat oleh banyak orang dan sampailah beritanya sampai pada Khalifah Harus Al Rasyid. Kemudian Khalifah memanggil guru kedua
puteranya itu dan bertanya kepada guru (Al Qisya’i) : “Siapakah orang yang paling mulia di negeri ini?”. Maka Al Qisya’i menjawab : “Ya Amirul Mu’min, tentu Tuanlah yang paling
mulia di negeri ini, karena Tuan adalah pemimpin kami”.
Maka Khalifah
Harun Al Rasyid menjawab : “Tidak, orang
yang paling mulia di negeri ini adalah orang yang sampai dua putera Khalifah
saja memasangkan sandal untuk dirinya”. Mendengar penuturan Khalifah itu,
Al Qisya’i merasa itu sebagai sindiran untuk dirinya, seakan-akan Khalifah Harun Al Rasyid
tidak ridho bahwa kedua puteranya
memasangkan sandal kepada dirinya. Maka AlQisya’i mengatakan kepada Khalifah
Harun Al Rasyid : “Wahai Amirul Mu’minin,
setelah ini akan aku cegah puteramu berbuat seperti itu lagi, aku mohon maaf”.
.
Bagaimana sikap
Harun Al Rasyid ?. Justru beliau marah,
sambil mengatakan : “Jangan lakukan itu,
justru aku akan menghukum engkau bila Tuan Guru mencegah anakku memuliaka
engkau, wahai Tuan Guru. Ketahuilah,
bahwa kemuliaan negeri ini ditentukan dari bagaimana
cara kita memuliakan gurunya dan
kehinaan negeri ini ditandai dengan bagaimana kita menghinakan gurunya”.
Kata-kata
Khalifah Harun Al Rasyid tersebut seharusnya menjadi renungan bagi kita semua
orang Indonesia.
Bila kita ingin
melihat sejauh mana peradaban negeri
ini diberkahi dan dimuliakan Allah subhanahun wata’ala, lihatlah sikap-sikap para murid kepada gurunya. Dan hal ini bisa kita lihat bukan saja dari
kajian Islam, bahkan riset (hasil riset) yang disampaikan oleh Prof. Thomas Likona, ketika ia
memberitahu ada 10 tanda kehancuran sebuah negeri, salah-satunya adalah tindakan kekerasan oleh
orang muda kepada orang yang lebih tua. Di antaranya adalah tindakan kekerasan
seorang murid kepada gurunya.
Maka bila kita
lihat, hancurnya sebuah negeri (bangsa) dilihat juga bagaimana sikap dan
perilaku murid kepada seorang guru. Anak-anak kita seharusnya kita ajarkan
bagaimana adab dan sikap yang santun kepada guru. Guru tidak boleh disikapi sembarangan, meskipun tidak semua
guru seperti yang kita harapkan. Tentu ada nasihat khusus buat seorang
guru. Sebab guru di zaman sekarang ada
dua jenis :
1.
Guru
Idiologis,
yaitu guru yang men-dedikasikan waktunya untuk mengajar. Seluruh hidupnya ditujukan bagaimana mendidik
dan mengajar. Tidak perduli apakah mendapat
Sertifikasi
atau tidak, diangkat menjadi PNS atau tidak,
tidak perduli, yang penting ia bisa mendidik dan mengajar. Ada anak
tetangga yang tidak sekolah, ia ajar seperti anak sekolah. Cita-citanya mulia.
2.
Guru
Tragis, yaitu
guru yang menjadi guru, mau mengajar karena “kepepet”, mendaftar ingin menjadi PNS ditolak, melamar kerja di
mana-mana ditolak. Kebetulan ada tawaran untuk mengajar, maka langsung diterima
dan menjadi guru. Ketika mengajar yang dilihat gajinya, yang dikejar Sertifikasi-nya. Sehingga ketika mengajar, ruh-nya tidak
jalan.
Berpikirnya
praktis: Mendapat bayaran dari mengajar,
ditabung, ketika sudah terkumpul uangnya untuk modal usaha.
Yang kita nilai
bukan evaluasi gurunya, melainkan terlihat pada
anak-anak murid, kenapa mereka bisa melakukan perbuatan-perbuatan keji
dan aib dalam pendidikan, hal yang terkait dengan kekerasan. Anak-anak yang berbuat kekerasan dan kejahatan
adalah merupakan buah pendidikan sejak
masa kecil. Perbuatan kekerasan oleh anak-anak adalah bentuk imitasi mereka
karena meniru.
Lingkungan yang
sering mempertontonkan kekerasan akan memberikan indikasi bagaimana anak-anak
itupun tidak bisa bersikap santun kepada orang.
Demikian itu
bisa kita lihat dari bahasa. Orang
yang suka melakukan kekerasan dan kejahatan, umumnya bahasa mereka rusak
(kasar).
Bila marah
sedikit-sedikit menyebut nama binatang. Maka salah satu model pendidikan Islam
adalah mengajarkan bahasa (tutur-kata).
Misalnya dalam
AlQur’an Surat Al Ahzab ayat 70 – 71 :
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ
وَقُوۡلُوۡا قَوۡلًا سَدِيۡدًا ۙ ﴿۷۰﴾ يُّصۡلِحۡ
لَـكُمۡ اَعۡمَالَـكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَـكُمۡ ذُنُوۡبَكُمۡؕ وَمَنۡ يُّطِعِ اللّٰهَ
وَرَسُوۡلَهٗ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيۡمًا ﴿۷۱﴾
70. Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang
benar,(dan baik).
71.Niscaya
Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar.
Ternyata Allah subhanahu wata’ala memberikan rumus dalam Bab Pengajaran dan
Pendidikan. Yaitu dimulai dari bahasa.
Maka salah satu rahasia Rasulullah shollallahu
‘alaihi wasallam sejak masih kecil diasuh oleh Ibu-Susu yang bernama Halimatussa’diyah,
orang yang berasal dari Bani Sa’ad, diluar kot Mekkah yang mereka berbahasa Arab halus.
Menurut para Ahli
Sejarah (Ulama Sirrah), ketika itu bahasa Arab di kota Mekkah sudah rusak.
Masyarakatnya berbahasa Arab kasar
(bahasa ‘Amiyah) sebagaimana yang sering kita dengar saat ini sehari-hari di
Mekkah. Karena Rasulullah saw akan
menjadi contoh yang baik bagi manusia (Uswatun Hasanah), maka yang dijaga oleh
Allah subhanahu wata’ala,
pertama-tama adalah bahasanya. Maka
beliau sejak kecil di asuh di sebuah kampung Bani Sa’ad di luar kota Mekkah (sekarang dikenal dengan Ji’rona), yang bahasa Arab-nya masih bagus dan halus.
Di asuh dan
disusui oleh Halimatussa’diyah dari Bani Sa’ad selama dua tahun dan dilanjutkan
sampai lima tahun atas permintaan Halimatussa’diyah kepada Aminah (Ibunda Nabi
Muhammad saw) tanpa bayaran. Karena selama menyusui dan mengasuh Muhammad
kecil, Halimatussa’diyah merasa lebih sehat dan air susunya semakin banyak.
Padahal semula air-susunya sudah semakin mengering. Kebun di sekitar rumahnya juga semakin
subur, ternaknya juga semakin banyak dan gemuk-gemuk. Dan selama dalam
pengasuhan di kalangan Bani Sa’ad itulah Nabi Muhammad saw sejak kecil di-didik
dengan bahasa Arab halus.
Itulah yang
menjadi pelajaran bagi kita, bahwa bagi anak-anak Masa - Balita adalah masa
pengajaran bahasa.
Anak kita di masa-masa
Balita bila sering mendengar kata-kata (kalimat) kasar di lingkungannya, akan
terpengaruh jiwanya. Misalnya anak-anak kita sering nonton Sinetron (TV) yang
di dalamnya sering keluar kata-kata kasar dan kotor. Sehingga kadang-kadang seorang Ustad-pun
ikut-ikutan berkata kasar/kotor, bahasa yang rusak. Padahal bahasa
merupakan indikasi akhlak seseorang.
Maka bila kita
punya anak atau cucu, hendaklah bahasa kita
jaga, bahasanya kita selamat-kan.
Hendaklah bahasa diperbaiki dengan cara : Ketika berada dalam rumah,
kita berbicara dan bertutur antara anggota keluarga dengan bahasa yang baik. Dan
hindari tontonan TV yang merusak bahasa
anak-anak. Bahkan kalau perlu belikan buku dongeng dengan cerita-cerita yang
bahasanya bagus dan halus, lalu bacakan di hadapan anak-aanak kita, dengan banyak kausa-kata baru.
Sehingga dengan
banyak kausa-kata baru itu, bila
seseorang marah tidak usah mengeluarkan sebutan nama binatang, dsb. Orang zaman
sekarang bila marah lantas mengeluarkan kata-kata kasar dan keluarlah nama-nama
bintang seperti : Anjing, babi, monyet
dst. Karena sejak kecil isi kepalanya tidak
diisi dengan hal-hal yang positif. Salah
satu cara untuk mengisi otak anak kita dengan bahasa dan kausa-kata yang baik. Biasakan anak-anak membaca buku. Dengan
demikian kepala mereka diisi dengaan hal-hal yang positif. Sehingga hal-hal yang negatif tidak
akan sampai di otak mereka.
Sebagaimana kita
saksikan saat ini, bahasa anak muda sekarang sudah rusak dan kasar. Menunjukkan
bahwa pendidikan akhlak sungguh rendah sekali. Sehingga bila muncul kekerasan
di kalangan anak-anak saat ini, salah satu penyebabnya karena orangtuanya tidak
mendidik berbahasa (berbicara) yang baik.
Lihat AlQur’an Surat Huud ayat 114 :
وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَىِ النَّهَارِ وَزُلَـفًا
مِّنَ الَّيۡلِ ؕ اِنَّ الۡحَسَنٰتِ يُذۡهِبۡنَ السَّيِّاٰتِ ؕ ذٰ لِكَ ذِكۡرٰى لِلذّٰكِرِيۡنَ
ۚ ﴿۱۱۴﴾
Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.
Maksud ayat
tersebut antara lain : Bahwa perbuatan baik (kebaikan) akan mengusir perilaku
yang buruk. Kalau kita ingin mengisi
jiwa anak dengan hal-hal yang baik, isilah jiwa anak dengan perilaku dan bahasa
yang baik.
Dalam
sejarah, Imam An Nwawi (Seorang ulama penyusun Kitab Riyadhush-shalihin),
beliau sejak kecil sudah hafal AlQur’an dan hafal Hadits.
Kesehariannya
sejak kecil sibuk membaca buku-buku, kitab-kitab Islam, sampai usia 19 tahun
beliau menghafal Kitab Fiqih. Sampai
wafatnya beliau tidak menikah. Zaman
ketika itu dalam tradisi ulama sholih, Kitab Fiqih bukan hanya dibaca melainkan
dihafalkan. Maksudnya, kalau Kitab-nya hilang, ilmunya masih menempel di
kepala.
Maka Imam An Nawawi mengandalkan membahas Sarrah
Kitab Hadits Imam Muslim melalui hafalannya. Karena waktunya sibuk untuk membaca dan
menghafal Kitab-Kitab Fiqih yang
ditulis oleh Imam As Sirozi, judul
Kitabnya : At Tanbih, yang membahas hukum Fiqih amal manusia dalam
keseharian, pada saat itu beliau membaca sebuah keterangan tentang Mandi Junub.
Selama ini Imam An
Nawawi tahunya Mandi Junub adalah karena Mimpi
Basah, lalu wajib mandi Junub. Dalam
keterangan kitab itu, tertulis : Wajib Mandi Junub dikarena masuknya Hasafah ke dalam Farji. (Masuknya
alat kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan). Yang dimaksudkan adalah : Bila terjadi
persetubuhan, maka wajib Mandi Junub. Tetapi karena Imam An Nawawi ketika itu
belum pernah menikah, (memang selamanya beliau tidak menikah), beliau membaca
keterangan tentang Mandi Junub menjadi bingung, apa maksud masuknya Hasafah ke dalam Farji, maka ia
memahaminya bahwa : Seseorang wajib mandi
junub bila di pagi hari perutnya berbunyi.
Maka ketika Imam
An Nawawi perutnya berbunyi “kruyuk-kruyuk”
, beliau segera mandi Junub, sampai selama dua bulan, karena selama itu
perutnya setiap pagi berbunyi. Sampai temannya heran kenapa setiap hari Mandi
Junub, padahal belum menikah. Maka temannya bertanya : “Kenapa setiap hari anda Mandi Junub?”. Maka jawab Imam An Nawawi :
“Itu kewajiban, Aku membaca sebuah Kitab yang menyatakan
bahwa wajib Mandi Junub bukan hanya karena Mimpi Basah, melainkan juga karena masuknya
Hasafah ke dalam Farji. Bukankah itu artinya Perut berbunyi?”.
Maka temannya itu
menjelaskan bahwa yang dimaksud masuknya Hasafah
ke dalam Farji adalah bersetubuh, antara laki-laki dan
permpuan yang sudah menikah. Barulah
Imam An Nawawi paham. Beliau dianggap “bodoh”
karena isi kapala beliau adalah segala yang baik-baik, yang positif. Maka tidak
ada ruang bagi beliau memikirkan segala yang buruk (negatif).
Bila sekarang kita
temui banyak anak-anak yang berkata kasar, menyakiti hati temannya, karena
mereka jarang “di Install” oleh gurunya atau orangtuanya. Anak tidak pernah
disuruh membaca buku-buku yang baik, yang memuat berbagai kausa-kata yang
baik-baik. Maka marilah kita sebagai orang tua, menyuruh anak-anak kita membiasakan membaca buku-buku
cerita yang baik. Jangan sampai anak-anak kita mendengar kata-kata kasar di
lingkungan kita.
Solusi.
Pertama, bila
kita ingin mencegah anak-anak berbuat kasar, apalagi sampai berani berperilaku
yang tidak sopan kepada gurunya, perbaikilah
bahasanya.
Kedua, apa
sebab anak-anak kita mudah marah, emosi, karena terbiasa mendengar dari
orangtuanya kata-kata memerintah,
mengancam dan membentak.
Pola asuh yang
demikian adalah salah. Bila anak-anak sering mendengar kata-kata seperti
tersebut, maka dalam batang otaknya (otak bagian bawah) yang disebut Otak Reptil, yaitu otak reflex, bagian
otak yang diciptakan oleh Allah subhanahu
wata’ala untuk membuat kita mempunyai perilaku yang dibutuhkan mendadak
(segera).
Misalnya,
seseorang sedang menjalankan mobil tiba-tiba melihat ada hewan atau orang yang
menyeberang jalan di depan mobil, maka secara
reflex orang itu akan menginjak rem.
Misalnya, seseorang sedang berjalan dijalan yang licin, tiba-tiba terpeleset,
maka secara reflex ia akan berpegangan pagar atau pohon atau apa saja yang ada di dekatnya. Kalau tidak ada Otak Reptil, maka orang akan
lama berfikir, tidak punya gaya-reflex. .
Tetapi muatan
untuk Otak Reptil tidak boleh terlalu besar (banyak) bagi anak-anak kita.
Karena menyebabkan anak-anak tidak banyak berfikir, akhirnya perbuatannya
adalah hasil reflex semua. Tersinggung
sedikit saja lalu marah, mengucapkan kata-kata kasar, atau memukul, dsb. Otak Reptil itulah yang sangat besar
(dominan) pada otak anak-anak zaman
sekarang. Otak Mamalia-nya mengecil,
otak Reptil-nya membesar. Akibat pola
asuh yang salah, yaitu dengan banyak
memerintah, membentak, mengancam, dst. Padahl pola asuh yang benar : Anak
diberi pengertian, perhatian dan diajak bicara yang halus, dsb.
Orang tua atau
guru yang suka membentak, berkata keras (kasar) dan sejenisnya, berarti mengasah, men-stimulasi, mengisi
batang otak (Otak Reptil) kepada anak-didik kita.
Sehingga anak-anak
mudah marah, berkata kasar dan berbuat buruk kepada sekitarnya. Maka harus diperbaiki. Dan memperbaiki anak-anak
yang sudah terlanjur rusak tidak bisa dengan cara yang salah.
Misalnya ingin
membuat anak-anak menjadi tertib tidak
dengan dibentak atau dengan suara keras.
Maka Rasulullah saw tidak pernah mempraktekkan yang demikian. Beliau
tegas tetapi tidak kasar. Bahasanya santun. Itulah yang menjadi perhatian bagi
kita. Sementara di kita yang sering terjadi adalah komunikasi dengan cara
berteriak dan mengancam.
Ketiga,
mengapa anak suka melakukan tindakan kekerasan, adalah meniru. Yaitu meniru
lingkungan karena kita tidak selektif, mana lingkungan yang baik, mana yang
buruk. Karena sesungguhnya anak itu disebut anak-lingkungan. Anak
menjadi buruk perilakunya karena lingkungannya yang buruk. Dan lingkungan
terdekat bagi anak adalah orangtua. Dan
sifat anak adalah suka meniru, yaitu meniru apa yang sering dilihat, apa yang
di dengar. Apalagi ada orangtua berbicara baik tetapi prakteknya
berperilaku buruk, inilah yang berbahaya bagi pendidikan anak. Misalnya orang
tua mengatakan “Sabar”, tetapi dengan cara tidak sabar.
Ke-empat,
kenapa anak-anak suka melakukan kekerasan, karena beban psikologis di zaman
saat ini. Di zaman ini banyak sekali tuntutan.
Terutama bagi anak-anak kita.
Kalau kita perhatikan, berat rata-rata Tas-Sekolah anak SD sekitar 9
(Sembilan) Kg. Apalagi sekarang diberlakukan program Fullday School. Pulang dari Fullday School dituntut untuk mengikuti
Bimbel (Bimbingan Belajar), karena
pihak sekolah tidak bisa meng-Upgrade nilai-bilai pelajaran, maka orangtua
menganjurkan anaknya untuk ikut Bimbel.
Senin sampai
Jum’at pulangnya jam 15.00 dan pulang sekolah harus ikut Bimbel, pulang ke
rumah waktu Maghrib. Badan anak sudah kelelahan, selesai makan langsung tidur. Hari Sabtu-Ahad dipergunakan untuk Les ini
dan itu. Maka banyak anak-anak kita
terlalu banyak beban jiwanya, akhirnya tidak kuat. Sehingga timbul sifat Survival,
yaitu bertahan dengan cara sesukanya, kalau tidak suka lalu membanting apa yang
ada di sekitarnya. Orang (anak) yang stress
tidak bisa berfikir jernih. Ibarat orang yang sedang tenggelam di sungai, maka
apapun dipegangnya, yang penting selamat. Itulah yang terjadi pada anak-anak kita zaman
sekarang, akibat beban yang terlalu berat.
Ke-lima,
kenapa anak kita suka melakukan kekerasan, karena pola pendidikan di negeri
kita lebih menekankan pada Pendidikan Akademis
daripada Pendidikan Adab (Akhlak). Padahal kaidah pendidikan yang benar adalah :
Adab sebelum Ilmu.
Maka para Ulama
zaman dahulu mereka belajar ‘Adab (Etika) sampai lebih dari tigapuluh tahun.
Yaitu Adab kepada guru, kepada orangtua, kepada
orang yang lebih tua, misalnya bagaimana cara mereka berbicara yang
sopan, halus, tidak sembarangan. Sementara
sekarang : Yang penting anak kita berprestasi, yang diukur dari nilai Akademis.
Anak yang hebat kalau nilai pelajaran Matematika 9 atau 10. Anak hebat kalau
pandai Bahasa Inggris.
Padahal dalam
Islam, seorang anak hebat kalau Akhlak-nya
baik. Ada seorang anak (usia 6 - 7
tahun) yang dianggap bodoh, idiot, dsb, tetapi suatu hari ia berbuat yang heroik,
yaitu ia milhat seekor anak kucing ditengah jalan, hendak menyeberang
jalan. Tetapi karena jalan itu ramai
dengan kendaraan, maka anak itu melindungi anak kucing dengan berdiri di tenah
jalan (dekat kucing) sambil menyetop semua kendaraan yang sedang ramai melaju
di jalanan, dengan mengangkat kedua tangannya, minta agar semua kendaraan
berhenti.
Para supir dengan
marah karena terganggu laju kendaraannya, menghentikan mobilnya, lalu turun
mendekati anak tersebut sambil marah.
Tetapi setelah ia tahu bahwa anak itu sedang melindungi dan menolong
anak kucing, maka orang itu lalu mengelus anak itu lalu ia tuntun anak itu
dengan halus sambil mengangkat anak kucing, dibawa ke pinggir jalan. Dan
lalu-lintas berjalan lagi dengan normal.
Di mata manusia, mungkin
anak itu dianggap biasa, tetapi justru ia anak hebat luar biasa. Akhlak-nya
demikian tinggi. Bandingkan dengan anak-anak lain zaman sekarang yang sikapnya
acuh-tak-acuh terhadap orangtuanya. Kadang-kadang masuk kamar bapak-ibunya
dengan “selonong” saja, tanpa
permisi atau ketuk pintu. Keluar rumah
tidak pamit, memanggil orangtua dengan panggilan yang tidak sopan, dst.
Demikian pula
kepada gurunya, banyak anak berperilaku tidak sopan, bahkan berani melawan, dst.
Padahal, sebagaimana disebutkan diatas bahwa Adab kepada guru menentukan keberkahan negeri ini. Ditambah lagi
ayah-ibunya ber-kontribusi membuat anaknya kurang-ajar kepada gurunya. Banyak
ayah-ibu yang menganggap bahwa guru adalah “buruh pendidikan”.
Banyak ayah-ibu
yang memberikan sesuatu sambil mengatakan kepada guru muridnya : “Bapak sudah kami gaji, ya!”. Padahal
orangtua murid sama-sekali tidak boleh mengatakan demikian.
Bandingkan dengan
zaman dahulu, dimana Ulama mengatakan bahwa yang benar adalah : “Ilmu itu didatangi, bukan didatangkan”. Sementara sekarang banyak guru privat, yang
tanpa sadar membuat guru dianggap sebagai buruh. Bahkan diatur oleh
anak-didik. Guru privatnya datang ke
rumah, lalu disuruh menunggu, karena anaknya sedang sibuk main Game, dsb.
Padahal seharusnya
orangtua mengajarkan kepada anak agar menghormati dan memuliakan guru. Anak
harus diberitahu, bila guru sudah datang, segera anak siap dan mengikuti apa yang diajarkan guru. Sampai guru itu selesai memberikan pelajarannya
dan ketika guru itu pamit pulang harus diantar sampai di halaman rumah.
Dermikian itu
penting diajarkan oleh orangtua kepada anaknya, supaya anaknya bukan sekedar
pandai/cerdas, tetapi ilmunya menjadi berkah. Karena banyak orang yang ilmunya
tinggi tetapi tidak berkah, akibat sejak belajar sudah tidak beradab kepada
guru. Pendidikan yang hanya didasarkan
pada nilai-nilai akademis, maka pendidikan demikian tidak sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Karena menurut Rasulullah saw, beliau ditugaskan oleh Allah subhanahu wata’ala adalah untuk menyempurnakan Akhlak (Adab).
Kesimpulan:
Mendidik anak
adalah mengajarkan dan memperbaiki Akhlak, bukan sekedar nilai Akademisnya.
Sekian bahasan,
mudah-mudahan bermnafaat.
SUBHANAKALLAHUMMA
WABIHAMDIKA, ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.
Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh.
____________
No comments:
Post a Comment