Translate

Friday, April 13, 2018

Pendidikan dan Pengajaran Kepada Anak, oleh :Ust: Bendri Jaysurrahman


PENGAJIAN DHUHA MASJID BAITUSSALAM


   
                               


 Jum’at, 5 Rojab 1439H – 23 Maret 2018.


Assalamu’alaikum wr.wb.,

Muslimin dan muslimah yang dirahmati Allah subhanahu wata’ala,
Di zaman yang penuh Fitnah dan cobaan seperti sekarang ini, kita mencoba meng-evaluasi diri bagaimana kita menyikapi keadaan zaman saat ini.  Salah satunya kita lihat betapa banyak kejadian di sekitar kita, munculnya berbagai tindakan kekerasan.  Yang kita semakin sedih adalah kekerasan itu dilakukan oleh anak-anak dan lebih menyedihkan lagi kekeraan itu dilakukan kepada orang-orang yang seharusnya dihormati dan dimuliakan, seperti guru bahkan orangtua.

Fenomena perilaku anak-anak yang melakukan perbuatan  kurang-ajar  kepada gurunya, adalah merupakan indikasi kehancuran sebuah bangsa. Hal seperti ini yang disampaikan oleh Harun Al Rasyid dalam Kitab Riyadhul Aulia,diceritakan antara lain sebagai berikut :  

Khalifah Harun Al Rasyid mempunyai dua orang putera laki-laki bernama Al Amin dan Al Ma’mun.   Kedua putera itu diserahkan pendidikannya kepada seorang Ulama Ahli Hadits pada masa tersebut bernama Syaikh Al Qisya’i. 
Di saat belajar dengan gurunya, kedua anak tersebut bukan sekadar menuntut Ilmu dari gurunya, melainkan salah satu yang diterapkan adalah mencari metode bagaimana cara kedua muridnya itu melaksanakan semaksimal mungkin menghormati dan memuliakan gurunya.

Sampai pada suatu hari, pada saat gurunya selesai ceramah mengisi pelajaran, kedua putera Mahkota itu berebut untuk memasangkan sandal pada kaki gurunya.
Salah seorang putera Mahkota itu meyakinkan dirinya : “Sayalah yang lebih berhak memasangkan sandal Tuan Guru”.  Seorang lagi  menyatakan : “Saya yang lebih berhak”. 

Ketika mereka tidak bisa menyelesaikan perselisihan itu, akhirnya mereka mencari jalan tengah. Kata si kakak (Al Amin) : “Bagaimana kalau  saya memasangkan sandal pada kaki-kanan guru kita dan engkau, wahai adikku (Al Ma’mun) engkau memasangkan sandal pada kaki-kiri guru kita?”.  Maka mereka-pun sepakat.
Begitu guru mereka selesai mengajar, hendak keluar dari Majlisnya, segera kedua putera Mahkota menghadang sambil menundukkan badanyya dan berkata : “Maaf Tuan Guru, jangan beranjak dulu”.  Maka diambil sandal gurunya itu kemudian sandal kanan dipasangkan pada kaki-kanan gurunya dan sandal kiri dipasangkan pada kaki-kiri gurunya. Maka gurunya tersenyum.

Peristiwa tersebut dilihat oleh banyak orang dan sampailah beritanya sampai pada Khalifah Harus Al Rasyid.  Kemudian Khalifah memanggil guru kedua puteranya itu dan bertanya kepada guru (Al Qisya’i) : “Siapakah orang yang paling mulia di negeri ini?”.  Maka Al Qisya’i menjawab : “Ya Amirul Mu’min, tentu Tuanlah yang paling mulia di negeri ini, karena Tuan adalah pemimpin kami”.

Maka Khalifah Harun Al Rasyid menjawab : “Tidak, orang yang paling mulia di negeri ini adalah orang yang sampai dua putera Khalifah saja memasangkan sandal untuk dirinya”. Mendengar penuturan Khalifah itu, Al Qisya’i merasa itu sebagai sindiran untuk dirinya,  seakan-akan Khalifah Harun Al Rasyid tidak  ridho bahwa kedua puteranya memasangkan sandal kepada dirinya. Maka AlQisya’i mengatakan kepada Khalifah Harun Al Rasyid : “Wahai Amirul Mu’minin, setelah ini akan aku cegah puteramu berbuat seperti itu lagi, aku mohon maaf”. .

Bagaimana sikap Harun Al Rasyid ?.  Justru beliau marah, sambil mengatakan : “Jangan lakukan itu, justru aku akan menghukum engkau bila Tuan Guru mencegah anakku memuliaka engkau, wahai Tuan Guru.  Ketahuilah, bahwa kemuliaan negeri ini ditentukan dari bagaimana cara kita memuliakan gurunya dan kehinaan negeri ini ditandai dengan bagaimana kita menghinakan gurunya”.

Kata-kata Khalifah Harun Al Rasyid tersebut seharusnya menjadi renungan bagi kita semua orang Indonesia.  
Bila kita ingin melihat sejauh mana peradaban negeri ini diberkahi dan dimuliakan Allah subhanahun  wata’ala, lihatlah  sikap-sikap para murid kepada gurunya.  Dan hal ini bisa kita lihat bukan saja dari kajian Islam, bahkan riset (hasil riset) yang disampaikan oleh Prof. Thomas Likona, ketika ia memberitahu ada 10 tanda kehancuran sebuah negeri,  salah-satunya adalah tindakan kekerasan oleh orang muda kepada orang yang lebih tua. Di antaranya adalah tindakan kekerasan seorang murid kepada gurunya.

Maka bila kita lihat, hancurnya sebuah negeri (bangsa) dilihat juga bagaimana sikap dan perilaku murid kepada seorang guru. Anak-anak kita seharusnya kita ajarkan bagaimana adab dan sikap yang santun kepada guru.  Guru tidak boleh  disikapi sembarangan, meskipun tidak semua guru seperti yang kita harapkan. Tentu ada nasihat khusus buat seorang guru.  Sebab guru di zaman sekarang ada dua jenis :

1.     Guru Idiologis, yaitu guru yang men-dedikasikan waktunya untuk mengajar.  Seluruh hidupnya ditujukan bagaimana mendidik dan mengajar.  Tidak perduli apakah mendapat Sertifikasi atau tidak, diangkat menjadi PNS atau tidak,  tidak perduli, yang penting ia bisa mendidik dan mengajar. Ada anak tetangga yang tidak sekolah, ia ajar seperti anak sekolah. Cita-citanya mulia.
2.     Guru Tragis, yaitu guru yang menjadi guru, mau mengajar karena “kepepet”, mendaftar  ingin menjadi PNS ditolak, melamar kerja di mana-mana ditolak. Kebetulan ada tawaran untuk mengajar, maka langsung diterima dan menjadi guru. Ketika mengajar yang dilihat gajinya, yang dikejar Sertifikasi-nya.  Sehingga ketika mengajar, ruh-nya tidak jalan.  
Berpikirnya praktis:  Mendapat bayaran dari mengajar, ditabung, ketika sudah terkumpul uangnya untuk modal usaha.

Yang kita nilai bukan evaluasi gurunya, melainkan terlihat pada  anak-anak murid, kenapa mereka bisa melakukan perbuatan-perbuatan keji dan aib dalam pendidikan, hal yang terkait dengan kekerasan.  Anak-anak yang berbuat kekerasan dan kejahatan adalah merupakan buah pendidikan sejak masa kecil. Perbuatan kekerasan oleh anak-anak adalah bentuk imitasi mereka karena meniru. 
Lingkungan yang sering mempertontonkan kekerasan akan memberikan indikasi bagaimana anak-anak itupun tidak bisa bersikap santun kepada orang.

Demikian itu bisa kita lihat dari bahasa. Orang yang suka melakukan kekerasan dan kejahatan, umumnya bahasa mereka rusak (kasar). 
Bila marah sedikit-sedikit menyebut nama binatang. Maka salah satu model pendidikan Islam adalah mengajarkan bahasa (tutur-kata).

Misalnya dalam AlQur’an Surat Al Ahzab ayat 70 – 71 :

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوۡلُوۡا قَوۡلًا سَدِيۡدًا ۙ‏ ﴿۷۰﴾  يُّصۡلِحۡ لَـكُمۡ اَعۡمَالَـكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَـكُمۡ ذُنُوۡبَكُمۡؕ وَمَنۡ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوۡلَهٗ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيۡمًا‏ ﴿۷۱﴾  

70. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,(dan baik).

71.Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.

Ternyata Allah subhanahu wata’ala memberikan rumus dalam Bab Pengajaran dan Pendidikan. Yaitu dimulai dari bahasa. Maka salah satu rahasia Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sejak masih kecil diasuh oleh Ibu-Susu yang bernama Halimatussa’diyah, orang yang berasal dari Bani Sa’ad, diluar kot Mekkah yang mereka berbahasa Arab halus.

Menurut para Ahli Sejarah (Ulama Sirrah), ketika itu bahasa Arab di kota Mekkah sudah rusak. Masyarakatnya  berbahasa Arab kasar (bahasa ‘Amiyah) sebagaimana yang sering kita dengar saat ini sehari-hari di Mekkah.  Karena Rasulullah saw akan menjadi contoh yang baik bagi manusia (Uswatun Hasanah), maka yang dijaga oleh Allah subhanahu wata’ala, pertama-tama adalah bahasanya. Maka beliau sejak kecil di asuh di sebuah kampung Bani Sa’ad di luar kota Mekkah (sekarang dikenal dengan Ji’rona),  yang bahasa Arab-nya masih bagus dan halus.

Di asuh dan disusui oleh Halimatussa’diyah dari Bani Sa’ad selama dua tahun dan dilanjutkan sampai lima tahun atas permintaan Halimatussa’diyah kepada Aminah (Ibunda Nabi Muhammad saw) tanpa bayaran. Karena selama menyusui dan mengasuh Muhammad kecil, Halimatussa’diyah merasa lebih sehat dan air susunya semakin banyak. Padahal semula air-susunya sudah semakin mengering.   Kebun di sekitar rumahnya juga semakin subur, ternaknya juga semakin banyak dan gemuk-gemuk. Dan selama dalam pengasuhan di kalangan Bani Sa’ad itulah Nabi Muhammad saw sejak kecil di-didik dengan bahasa Arab halus.

Itulah yang menjadi pelajaran bagi kita, bahwa bagi anak-anak Masa - Balita adalah masa pengajaran bahasa.
Anak kita di masa-masa Balita bila sering mendengar kata-kata (kalimat) kasar di lingkungannya, akan terpengaruh jiwanya. Misalnya anak-anak kita sering nonton Sinetron (TV) yang di dalamnya sering keluar kata-kata kasar dan kotor.  Sehingga kadang-kadang seorang Ustad-pun ikut-ikutan berkata kasar/kotor, bahasa yang rusak.  Padahal bahasa merupakan indikasi akhlak seseorang.

Maka bila kita punya anak atau cucu, hendaklah bahasa kita jaga, bahasanya kita selamat-kan.  Hendaklah bahasa diperbaiki dengan cara : Ketika berada dalam rumah, kita berbicara dan bertutur antara anggota keluarga dengan bahasa yang baik. Dan  hindari tontonan TV yang merusak bahasa anak-anak. Bahkan kalau perlu belikan buku dongeng dengan cerita-cerita yang bahasanya bagus dan halus, lalu bacakan di hadapan anak-aanak kita,  dengan banyak kausa-kata baru.

Sehingga dengan banyak kausa-kata baru itu, bila seseorang marah tidak usah mengeluarkan sebutan nama binatang, dsb. Orang zaman sekarang bila marah lantas mengeluarkan kata-kata kasar dan keluarlah nama-nama bintang seperti : Anjing, babi, monyet dst. Karena  sejak kecil isi kepalanya tidak diisi dengan hal-hal yang positif.  Salah satu cara untuk mengisi otak anak kita dengan bahasa dan kausa-kata yang baik. Biasakan anak-anak membaca buku. Dengan demikian kepala mereka diisi dengaan hal-hal yang  positif. Sehingga hal-hal yang negatif tidak akan sampai di otak mereka. 

Sebagaimana kita saksikan saat ini, bahasa anak muda sekarang sudah rusak dan kasar. Menunjukkan bahwa pendidikan akhlak sungguh rendah sekali. Sehingga bila muncul kekerasan di kalangan anak-anak saat ini, salah satu penyebabnya karena orangtuanya tidak mendidik berbahasa (berbicara) yang baik.

Lihat AlQur’an Surat Huud ayat 114 :

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَىِ النَّهَارِ وَزُلَـفًا مِّنَ الَّيۡلِ‌ ؕ اِنَّ الۡحَسَنٰتِ يُذۡهِبۡنَ السَّيِّاٰتِ ‌ؕ ذٰ لِكَ ذِكۡرٰى لِلذّٰكِرِيۡنَ ‌ۚ‏ ﴿۱۱۴﴾  

Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.

Maksud ayat tersebut antara lain : Bahwa perbuatan baik (kebaikan) akan mengusir perilaku yang buruk.  Kalau kita ingin mengisi jiwa anak dengan hal-hal yang baik, isilah jiwa anak dengan perilaku dan bahasa yang baik.

Dalam sejarah,  Imam An Nwawi (Seorang ulama penyusun Kitab Riyadhush-shalihin), beliau sejak kecil sudah hafal AlQur’an dan hafal Hadits.  
Kesehariannya sejak kecil sibuk membaca buku-buku, kitab-kitab Islam, sampai usia 19 tahun beliau menghafal Kitab Fiqih. Sampai wafatnya beliau tidak menikah.  Zaman ketika itu dalam tradisi ulama sholih,  Kitab Fiqih bukan hanya dibaca melainkan dihafalkan. Maksudnya, kalau Kitab-nya hilang, ilmunya masih menempel di kepala.

Maka Imam An Nawawi mengandalkan membahas Sarrah Kitab Hadits Imam Muslim melalui hafalannya.  Karena waktunya sibuk untuk membaca dan menghafal Kitab-Kitab Fiqih yang ditulis oleh Imam As Sirozi, judul Kitabnya : At Tanbih, yang membahas hukum Fiqih amal manusia dalam keseharian, pada saat itu beliau membaca sebuah keterangan tentang Mandi Junub. 

Selama ini Imam An Nawawi tahunya Mandi Junub adalah karena Mimpi  Basah, lalu  wajib mandi Junub. Dalam keterangan kitab itu, tertulis : Wajib Mandi Junub dikarena  masuknya Hasafah ke dalam Farji. (Masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam kelamin perempuan).  Yang dimaksudkan adalah : Bila terjadi persetubuhan, maka wajib Mandi Junub. Tetapi karena Imam An Nawawi ketika itu belum pernah menikah, (memang selamanya beliau tidak menikah), beliau membaca keterangan tentang Mandi Junub menjadi bingung, apa maksud  masuknya Hasafah ke dalam Farji, maka ia memahaminya bahwa : Seseorang wajib mandi junub bila di pagi hari perutnya berbunyi.

Maka ketika Imam An Nawawi perutnya berbunyi “kruyuk-kruyuk” , beliau segera mandi Junub, sampai selama dua bulan, karena selama itu perutnya setiap pagi berbunyi. Sampai temannya heran kenapa setiap hari Mandi Junub, padahal belum menikah. Maka temannya bertanya : “Kenapa setiap hari anda Mandi Junub?”. Maka jawab Imam An Nawawi : “Itu kewajiban,  Aku membaca sebuah Kitab yang menyatakan bahwa wajib Mandi Junub bukan hanya karena Mimpi Basah, melainkan juga  karena masuknya Hasafah ke dalam Farji. Bukankah itu artinya Perut berbunyi?”.

Maka temannya itu menjelaskan bahwa yang dimaksud masuknya Hasafah ke dalam Farji adalah bersetubuh, antara laki-laki dan permpuan yang sudah  menikah. Barulah Imam An Nawawi paham. Beliau dianggap “bodoh” karena isi kapala beliau adalah segala yang baik-baik, yang positif. Maka tidak ada ruang bagi beliau memikirkan segala yang buruk (negatif).


Bila sekarang kita temui banyak anak-anak yang berkata kasar, menyakiti hati temannya, karena mereka jarang “di Install” oleh gurunya atau orangtuanya. Anak tidak pernah disuruh membaca buku-buku yang baik, yang memuat berbagai kausa-kata yang baik-baik. Maka marilah kita sebagai orang tua, menyuruh  anak-anak kita membiasakan membaca buku-buku cerita yang baik. Jangan sampai anak-anak kita mendengar kata-kata kasar di lingkungan kita.


Solusi.
Pertama, bila kita ingin mencegah anak-anak berbuat kasar, apalagi sampai berani berperilaku yang tidak sopan kepada  gurunya,  perbaikilah bahasanya.

Kedua, apa sebab anak-anak kita mudah marah, emosi, karena terbiasa mendengar dari orangtuanya kata-kata memerintah, mengancam dan membentak.
Pola asuh yang demikian adalah salah. Bila anak-anak sering mendengar kata-kata seperti tersebut, maka dalam batang otaknya (otak bagian bawah) yang disebut Otak Reptil, yaitu otak reflex, bagian otak yang diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk membuat kita mempunyai perilaku yang dibutuhkan mendadak (segera).

Misalnya, seseorang sedang menjalankan mobil tiba-tiba melihat ada hewan atau orang yang menyeberang jalan di depan mobil, maka secara reflex orang itu akan menginjak rem. Misalnya, seseorang sedang berjalan dijalan yang licin, tiba-tiba terpeleset, maka secara reflex ia akan berpegangan pagar atau pohon atau  apa saja yang ada di dekatnya.  Kalau tidak ada Otak Reptil, maka orang akan lama berfikir, tidak punya gaya-reflex. .

Tetapi muatan untuk Otak Reptil tidak boleh terlalu besar (banyak) bagi anak-anak kita. Karena menyebabkan anak-anak tidak banyak berfikir, akhirnya perbuatannya adalah hasil reflex semua.  Tersinggung sedikit saja lalu marah, mengucapkan kata-kata kasar, atau memukul, dsb.   Otak Reptil itulah yang sangat besar (dominan)  pada otak anak-anak zaman sekarang.  Otak Mamalia-nya mengecil, otak Reptil-nya membesar.  Akibat pola asuh yang salah, yaitu  dengan banyak memerintah, membentak, mengancam, dst. Padahl pola asuh yang benar : Anak diberi pengertian, perhatian dan diajak bicara yang halus, dsb.

Orang tua atau guru yang suka membentak, berkata keras (kasar) dan sejenisnya,  berarti mengasah, men-stimulasi, mengisi batang otak (Otak Reptil) kepada anak-didik kita.  
Sehingga anak-anak mudah marah, berkata kasar dan berbuat buruk kepada sekitarnya.  Maka harus diperbaiki. Dan memperbaiki anak-anak yang sudah terlanjur rusak tidak bisa dengan cara yang salah. 

Misalnya ingin membuat anak-anak  menjadi tertib tidak dengan dibentak atau dengan suara keras.  Maka Rasulullah saw tidak pernah mempraktekkan yang demikian. Beliau tegas tetapi tidak kasar. Bahasanya santun. Itulah yang menjadi perhatian bagi kita. Sementara di kita yang sering terjadi adalah komunikasi dengan cara berteriak dan mengancam.

Ketiga, mengapa anak suka melakukan tindakan kekerasan, adalah meniru. Yaitu meniru lingkungan karena kita tidak selektif, mana lingkungan yang baik, mana yang buruk. Karena sesungguhnya anak itu disebut anak-lingkungan.  Anak menjadi buruk perilakunya karena lingkungannya yang buruk. Dan lingkungan terdekat bagi anak adalah orangtua.  Dan sifat anak adalah suka meniru, yaitu meniru apa yang sering dilihat, apa yang di dengar.  Apalagi  ada orangtua berbicara baik tetapi prakteknya berperilaku buruk, inilah yang berbahaya bagi pendidikan anak. Misalnya orang tua mengatakan “Sabar”, tetapi dengan cara tidak sabar.

Ke-empat, kenapa anak-anak suka melakukan kekerasan, karena beban psikologis di zaman saat ini. Di zaman ini banyak sekali tuntutan.  Terutama bagi anak-anak kita.  Kalau kita perhatikan, berat rata-rata Tas-Sekolah anak SD sekitar 9 (Sembilan) Kg. Apalagi sekarang diberlakukan program Fullday School. Pulang dari Fullday School dituntut untuk mengikuti Bimbel (Bimbingan Belajar), karena pihak sekolah tidak bisa meng-Upgrade nilai-bilai pelajaran, maka orangtua menganjurkan anaknya untuk ikut Bimbel.

Senin sampai Jum’at pulangnya jam 15.00 dan pulang sekolah harus ikut Bimbel, pulang ke rumah waktu Maghrib. Badan anak sudah kelelahan, selesai makan langsung tidur.  Hari Sabtu-Ahad dipergunakan untuk Les ini dan itu.  Maka banyak anak-anak kita terlalu banyak beban jiwanya, akhirnya tidak kuat. Sehingga timbul sifat Survival, yaitu bertahan dengan cara sesukanya, kalau tidak suka lalu membanting apa yang ada di sekitarnya.  Orang (anak) yang stress tidak bisa berfikir jernih. Ibarat orang yang sedang tenggelam di sungai, maka apapun dipegangnya, yang penting selamat. Itulah  yang terjadi pada anak-anak kita zaman sekarang, akibat beban yang terlalu berat.


Ke-lima, kenapa anak kita suka melakukan kekerasan, karena pola pendidikan di negeri kita lebih menekankan pada Pendidikan Akademis daripada Pendidikan Adab (Akhlak).   Padahal kaidah pendidikan yang benar adalah : Adab sebelum Ilmu.

Maka para Ulama zaman dahulu mereka belajar ‘Adab (Etika) sampai lebih dari tigapuluh tahun. Yaitu Adab kepada guru, kepada orangtua, kepada  orang yang lebih tua, misalnya bagaimana cara mereka berbicara yang sopan, halus, tidak sembarangan.  Sementara sekarang : Yang penting anak kita berprestasi, yang diukur dari nilai Akademis. Anak yang hebat kalau nilai pelajaran Matematika 9 atau 10. Anak hebat kalau pandai Bahasa Inggris.

Padahal dalam Islam, seorang anak hebat kalau Akhlak-nya baik.  Ada seorang anak (usia 6 - 7 tahun) yang dianggap bodoh, idiot, dsb, tetapi suatu hari ia berbuat yang heroik, yaitu ia milhat seekor anak kucing ditengah jalan, hendak menyeberang jalan.  Tetapi karena jalan itu ramai dengan kendaraan, maka anak itu melindungi anak kucing dengan berdiri di tenah jalan (dekat kucing) sambil menyetop semua kendaraan yang sedang ramai melaju di jalanan, dengan mengangkat kedua tangannya, minta agar semua kendaraan berhenti.

Para supir dengan marah karena terganggu laju kendaraannya, menghentikan mobilnya, lalu turun mendekati anak tersebut sambil marah.  Tetapi setelah ia tahu bahwa anak itu sedang melindungi dan menolong anak kucing, maka orang itu lalu mengelus anak itu lalu ia tuntun anak itu dengan halus sambil mengangkat anak kucing, dibawa ke pinggir jalan. Dan lalu-lintas berjalan lagi dengan normal.

Di mata manusia, mungkin anak itu dianggap biasa, tetapi justru ia anak hebat luar biasa. Akhlak-nya demikian tinggi. Bandingkan dengan anak-anak lain zaman sekarang yang sikapnya acuh-tak-acuh terhadap orangtuanya. Kadang-kadang masuk kamar bapak-ibunya dengan “selonong” saja, tanpa permisi  atau ketuk pintu. Keluar rumah tidak pamit, memanggil orangtua dengan panggilan yang tidak  sopan, dst.

Demikian pula kepada gurunya, banyak anak berperilaku  tidak sopan, bahkan berani melawan, dst. Padahal, sebagaimana disebutkan diatas bahwa Adab kepada guru menentukan keberkahan negeri ini. Ditambah lagi ayah-ibunya ber-kontribusi membuat anaknya kurang-ajar kepada gurunya. Banyak ayah-ibu yang menganggap bahwa guru adalah “buruh pendidikan”.
Banyak ayah-ibu yang memberikan sesuatu sambil mengatakan kepada guru muridnya : “Bapak sudah kami gaji, ya!”. Padahal orangtua murid sama-sekali tidak boleh mengatakan demikian.

Bandingkan dengan zaman dahulu, dimana Ulama mengatakan bahwa yang benar adalah : “Ilmu itu didatangi, bukan didatangkan”.  Sementara sekarang banyak guru privat, yang tanpa sadar membuat guru dianggap sebagai buruh. Bahkan diatur oleh anak-didik.  Guru privatnya datang ke rumah, lalu disuruh menunggu, karena anaknya sedang sibuk main Game, dsb.

Padahal seharusnya orangtua mengajarkan kepada anak agar menghormati dan memuliakan guru. Anak harus diberitahu, bila guru sudah datang, segera anak siap dan   mengikuti apa yang diajarkan guru.  Sampai guru itu selesai memberikan pelajarannya dan ketika guru itu pamit pulang harus diantar sampai di halaman rumah.

Dermikian itu penting diajarkan oleh orangtua kepada anaknya, supaya anaknya bukan sekedar pandai/cerdas, tetapi ilmunya menjadi berkah. Karena banyak orang yang ilmunya tinggi tetapi tidak berkah, akibat sejak belajar sudah tidak beradab kepada guru.  Pendidikan yang hanya didasarkan pada nilai-nilai akademis, maka pendidikan demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karena menurut Rasulullah saw, beliau ditugaskan oleh Allah subhanahu wata’ala adalah untuk menyempurnakan Akhlak (Adab).

Kesimpulan:
Mendidik anak adalah mengajarkan dan memperbaiki Akhlak, bukan sekedar nilai Akademisnya.

Sekian bahasan, mudah-mudahan bermnafaat.
SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA, ASYHADU AN LAILAHA ILLA ANTA, ASTAGHFIRUKA WA ATUBU ILAIK.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
                                                         ____________

No comments:

Post a Comment